Sabtu, 02 Januari 2010

Ulumul Quran (awal)


I. ULUMUL QUR’AN

Di kalangan ulama, ada beberapa pendapat tentang kapan mulai lahir istilah ulum al-Quran. Dikalangan para penulis sejarah Ulum al-Quran, pada umumnya berpendapat bahwa lahirnya istilah ulumul Quran sebagai suatu ilmu adalah pada abad VII H. Sedang menurut al-Zarqani, bahwa istilah ulumul Qur’an sebagai suatu ilmu sudah dimulai pada abad V H. Oleh al-Hufi dalam kitabnya al-Burhan fi Ulumil Qur’an. Kemudian pendapat tersebut masih dikoreksi oleh Dr. Subhi al-Shalih, bahwa istilah ulumul Qur’an sebagai suatu ilmu sudah ada pada abad III H. Oleh Ibnu Marzuban dalam kitabnya al-Hawi fi Ulumil Qur’an. Dapat ditambahkan, bahwa Prof. T.M. Hasbi al-Shiddiqi dalam bukunya sejarah dan pengantar Ilmu Tafsir menerangkan, bahwa menurut hasil sejarah, al-Kafiyaji (wafat tahun 879 H) adalah ulama yang pertama kali membukukan Ulumul Qur’an. Menurut kami (penulis), bahwa pendapat Dr. Subhi al-Shalih adalah yang paling tepat, sebab sejarah perkembangan ilmu-ilmu al-Qur’an menunjukkan denagn jelas, bahwa Ibnu Marzuban (wafat tahun 309 H) adalah ulama yang pertama kali mengemukakan istilah Ulumul Qur’an secara jelas di dalam bukunya al-Hawi fi Ulumil Qur’an.
Jadi dapat ditarik kesimpulan, bahwa Ulumul Quran sebagai suatu ilmu telah dirintis oleh Ibnu Marzuban (wafat tahun 309 H) pada abad III H. kemudian diikuti oleh al-Hufi (wafat tahun 430 H) pada abad V H. kemudian dikembangkan oleh Ibnul Jauzi (wafat tahun 597 H) pada abad VI H. kemudian diteruskan oleh al-Sakhwani (643 H) pada abad VII H. kemudian ditingkatkan lagi oleh al-Buiqini (wafat tahun 824 H) dan al-Kafiyaji (wafat tahun 879 H) pada abad IX H. Pada akhirnya, ilmu ini disempurnakan lagi oleh al-Suyuti pada akhir abad IX dan awal abad X H.

II. WAHYU

“Wahyu” (dalam bahasa Arab: al-wahy) secara harafiyah (semantis) berarti “isyarat secara cepat”. Ada pula yang menyatakan “menyampaikan pemahaman secara cepat”. Kedua pengertian itu sebenarnya tidak berbeda, tetapi saling mengisi. Memberikan “isyarat” itu adalah proses, sedangkan “pemahaman” adalah tujuannya.

Pemberian isyarat supaya dipahami secara cepat oleh yang diberi isyarat, misalnya kode. Bila seorang guru menempelkan telunjuknya ke bibirnya sedang ujian berlangsung, misalnya, itu adalah isyarat yang cepat ditangkap artinya, yaitu “jangan bicara sedang ujian berlangsung!” Isyarat itu adalah “wahyu” dalam arti harfiyahnya. Begitu juga lampu merah lalu lintas misalnya. Itu adalah isyarat yang cepat dimengerti, yang maknanya adalah “Berhenti!” Itu adalah wahyu dari segi makna harfiyah kata “wahyu” itu.

“Mewahyukan” (dalam bahasa Arab: awha) tentunya adalah menyampaikan wahyu. Jadi “mewahyukan” menurut pengertian bahasanya adalah suatu proses yang dimulai dari isyarat yang disampaikan pemberi, lalu isyarat itu diterjemahkan oleh penerima, kemudian penerima menangkap pesan (massage) isyarat itu, dan proses itu berlangsung dengan cepat.

“Mewahyukan” menurut pengertian harfiyahnya itu digunakan di dalam Al-Qur’an. Antara lain:

  1. Nabi Zakariya a.s. mewahyukan, yaitu menyampaikan isyarat-isyarat kepada kepada kaumnya, agar mereka bertasbih memuji Allah pada pagi hari dan petang. Penyampaian pesan dalam bentuk isyarat-isyarat itu dilakukannya karena ia dibuat tidak bisa bicara oleh Allah selama tiga hari sebagai tanda bahwa ia akan memperoleh seorang putra (S. Maryam/20:11).
  2. Allah mewahyukan kepada ibu Nabi Musa a.s. agar menyusukan anaknya itu (Al-Qasas/28:7). “Mewahyukan” di sini maksudnya memberikan ilham, yaitu inspirasi, agar ia menyusukan anaknya yang berada di bawah asuhan Firaun.
  3. Allah mewahyukan kepada lebah untuk bersarang di gunung-gunung, pohon-pohon, dan gedung-gedung tinggi yang dibangun manusia (S. al-Nahl/16:68). “Mewahyukan” di sini maksudnya memberikan instink.
  4. Syaitan-syaitan, dari kalangan manusia dan jin, juga mewahyukan kata-kata yang menarik perhatian satu sama lainnya (S. al-An’am/6:112). “Mewahyukan” di sini maksudnya saling menyatukan hati dengan alatnya adalah bahasa yang indah dan menggugah. Begitu menyihirnya ungkapan-ungkapan yang digunakan sehingga masing-masing dapat memahaminya dengan cepat dan sikap mereka menjadi bulat dalam kebatilan.

Berdasar contoh-contoh di atas disimpulkan bahwa wahyu itu dapat berbentuk isyarat, ilham, instink, dan kata-kata.

Pengertian dari Segi Terminologis

Makna terminologis adalah makna yang harus diimani. Wahyu dalam makna istilah (terminologis) Islam adalah “firman (kalam) Allah kepada nabi-Nya”. Firman maksudnya kalam, atau ucapan yang ada suaranya berasal dari Allah swt., bukan isyarat, ilham, atau instink. Dan firman itu hanya disampaikan kepada nabi-Nya. Yang disampaikan Allah kepada ibu Musa a.s. dalam contoh di atas, bukanlah wahyu dalam arti terminologisnya, karena ibu Musa bukanlah nabi. Itu adalah ilham. Ilham berbeda dengan wahyu. Ilham diusahakan datangnya dengan berpikir, sedangkan wahyu datang dengan sendirinya dari Allah. Begitu juga yang disampaikan Allah kepada lebah, itu bukan wahyu. Itu adalah instink.

CARA-CARA WAHYU TURUN :

Dengan cara pemberitahuan langsung ke dalam hati Nabi

Dengan cara penyampaian dari balik tabir

Dengan cara melalui perantara Malaikat Jibrîl a.s. sebagai pembawa wahyu

PENGERTIAN AL QUR’AN

  1. Pengertian Al-Qur’an dari Segi Terminologis

Pengertian terminologis Al-Qur’an maksudnya definisi Kitab itu yang harus diimani. Para ulama dari disiplin-disiplin ilmu agama Islam (kalam, fiqih, bahasa Arab) berbeda-beda dalam merumuskan definisi Al-Qur’an. Definisi berikut ini, menurut Shubhi al-Shalih (1988:21) disepakati oleh ulama dari disiplin-disiplin ilmu itu. Walaupun demikian dipandang perlu menambah kata “Allah” dalam definisi ini:

“Firman Allah yang mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., yang tertulis di dalam mushaf-mushaf, yang disampaikan secara mutawatir, yang beribadat membacanya.”

“Kalam” adalah ucapan yang terdengar telinga dan merupakan kalimat sempurna. “Kalam” itu dikaitkan dengan “Allah”, yang berarti adalah “firman” dan ucapan yang bukan dari Allah bukanlah Al-Qur’an. Firman itu merupakan mukjizat, artinya tidak ada yang akan mampu menandinginya. “Diturunkan” berarti tidak termasuk firman-firman Allah yang lain yang tidak diturunkan kepada Nabi Muhammad yang banyak sekali sehingga bila lautan di bumi ini dijadikan tinta dan semua pohon dijadikan penanya, serta ditambah lagi lautan sebanyak itu, maka semua lautan itu tidak akan cukup untuk menuliskan firman-firman Allah tsb. (S. al-Kahf/18:109). “Kepada Muhammad saw.” berarti bahwa wahyu-wahyu yang diturunkan kepada nabi-nabi sebelumnya tidak termasuk Al-Qur’an. “Tertulis di dalam mushaf-mushaf” berarti yang tertulis di dalam mushaf-mushaf Usmani ketika Al-Qur’an itu dibukukan, sehingga teks yang di luar itu bukanlah Al-Qur’an. “Disampaikan secara mutawatir” artinya tidak termasuk hadis-hadis yang walaupun ada yang disampaikan secara mutawatir pula, tetapi kemutawatirannya tidak semutawatir Al-Qur’an. Dan “beribadat membacanya” misalnya sebagaimana sabda Nabi bahwa membaca Al-Qur’an itu untuk setiap huruf diberi pahala sepuluh kebaikan, dan bisa ditambah sebanyak itu lagi bila Allah kehendaki. Tetapi membaca hadis tidak diberi pahala seperti itu. Membaca hadis diberi pahala mempelajarinya, sedangkan membaca Al-Qur’an tetap diberi pahala walaupun tidak dalam rangka mempelajarinya.

B. Perbedaan antara Al-Qur’an, Hadis, dan hadis Qudsi

  1. Hadis adalah segala yang dihubungkan kepada Nabi Muhammad saw. dalam bentuk ucapan, perbuatan, persetujuan (taqrir), atau lukisan sifatnya.

1) Dalam bentuk ucapan misalnya, sabda beliau:

“Pekerjaan-pekerjaan itu dengan niatnya…”

2) Dalam bentuk perbuatan misalnya cara pelaksanaan salat lima waktu.

3) Dalam bentuk persetujuan misalnya dibiarkannya oleh Nabi saw. tokek memakan makanannya, setelah itu makanan itu ia makan.

4) Dan dalam bentuk lukisan sifatnya misalnya diinformasikan bahwa Nabi itu selalu berseri-seri, mudah dipergauli, lembut, tidak judes, tidak kasar, tidak suka bertengkar, tidak berbuat keji, tidak suka mencacat, dsb.

Segala ucapan dan tingkah laku Nabi saw. bersumber dari wahyu, sebagaimana dinyatakan dalam S. al-Najm/5:-4:

“Ia tidak berucap karena hawa nafsunya. Semuanya tiada lain adalah wahyu yang diwahyukan.”

Kecuali bila ucapan atau prilaku Nabi saw. itu merupakan pendapat atau sifat pribadinya sebagai manusia, itu bukanlah wahyu dan karena itu bisa salah. Misalnya, pendapat beliau mengenai penyerbukan buatan, beliau menyatakan hal itu tidak ada gunanya. Pendapat itu adalah pribadi yang tidak berkaitan dengan agama. Pendapat itu ternyata salah. Oleh karena itulah ketika beliau mengetahui bahwa orang menghentikan penyerbukan buatan itu, beliau bersabda, “Bila itu berguna, silahkan kerjakan. Saya hanya menduga, karena itu jangan salahkan saya karena dugaan saya. Tapi jika saya menyampaikan sesuatu mengenai Allah (agama), ambillah, karena saya tidak akan pernah salah berkenaan dengan Allah swt.”

Hadis Qudsi

Hadis Qudsi adalah firman Allah yang diungkapkan Nabi saw. dengan bahasanya sendiri dan ungkapannya itu disandarkannya kepada Allah dengan kata-kata “Allah swt. berfirman…”.

“Allah swt berfirman, ‘Saya sebagaimana persangkaan hamba Saya kepada Saya. Dan Saya bersama dia bila ia mengingat Saya. Bila ia mengingat Saya dalam dirinya, Saya akan ingat dia dalam diri Saya. Dan bila ia ingat saya di tengah orang ramai, Saya akan mengingat dia pula di kalangan yang lebih ramai lagi.”

Dalam hadis itu Nabi saw. menyatakan “Allah berfirman,” ( ) sedangkan teks firman itu bukan dari Allah, tetapi dari Nabi saw. sendiri. Dalam hal itu Nabi saw. berkedudukan sebagai penyempai ucapan Allah langsung kepadanya tetapi diungkapkannya dengan bahasanya sendiri.

Semua segi perbedaan Hadis dengan Al-Qur’an di atas berlaku pada perbedaan Hadis Qudsi dengan Al-Qur’an. Kecuali bahwa teks Hadis Qudsi berasal dari Nabi saw. dengan mengatasnamakan Allah swt., sedangkan teks Al-Qur’an berasal dari Allah.

III. NUZULUL QUR’AN

¢ Pertama al-Qur’an turun secara sekaligus dari Allah ke lauh al-mahfuzh, yaitu suatu tempat yang merupakan catatan tentang segala ketentuan dan kepastian Allah.

¢ Tahap kedua, al-Qur’an diturunkan dari lauh al-mahfuzh itu ke bait al-izzah (tempat yang berada di langit dunia).

¢ Tahap ketiga, al-Qur’an diturunkan dari bait al-izzah ke dalam hati Nabi dengan jalan berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan. Adakalanya satu ayat, dua ayat dan bahkan kadang-kadang satu surat.

nuzulul itu dari atas sehingga orang mengartikannya turun dari atas maka orang-orang menganggap allah itu ada di atas. Maka segalanya dalam mempelajari alquran harus menggunakan akal.

TURUNNYA AL QUR’AN

Secara ibtida’i, yaitu ayat yang turun tanpa sebab dab latar belakang

Secara sababi, yaitu ayat yang diturunkan oleh sebab yang melatarbelakanginya

HIKMAH AL QUR’AN DITURUNKAN SECARA BERANGSUR-ANGSUR

· MEMANTAPKAN HATI

· MENENTANG DAN MELEMAHKAN PARA PENENTANG AL QURAN

· MEMUDAHKAN UNTUK DIHAPAL DAN DIPAHAMI

· MEMBUKTIKAN KEPASTIAN BAHWA AL QUR’AN TURUNNYA DARI ALLAH SWT

IV. MUSHAF AL QUR’AN PADA MASA UTSMANI DAN SESUDAHNYA

Pada masa pemerintahan Usman bin ‘Affan terjadi perluasan wilayah islam di luar Jazirah arab sehingga menyebabkan umat islam bukan hanya terdiri dari bangsa arab saja (’Ajamy).

Kondisi ini tentunya memiliki dampak positif dan negatif. Salah satu dampaknya adalah ketika mereka membaca Al Quran, karena bahasa asli mereka bukan bahasa arab.

Fenomena ini di tangkap dan ditanggapi secara cerdas oleh salah seorang sahabat yang juga sebagai panglima perang pasukan muslim yang bernama Hudzaifah bin al-yaman.

Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas r.a. bahwa suatu saat Hudzaifah yang pada waktu itu memimpin pasukan muslim untuk wilayah Syam (sekarang syiria) mendapat misi untuk menaklukkan Armenia, Azerbaijan (dulu termasuk soviet) dan Iraq menghadap Usman dan menyampaikan kepadanya atas realitas yang terjadi dimana terdapat perbedaan bacaan Al Quran yang mengarah kepada perselisihan.
Ia berkata, “Wahai usman, cobalah lihat rakyatmu, mereka berselisih gara-gara bacaan Al Quran, jangan sampai mereka terus menerus berselisih sehingga menyerupai kaum Yahudi dan Nasrani“.

Lalu Usman meminta Hafsah meminjamkan Mushaf yang di pegangnya untuk disalin oleh panitia yang telah dibentuk oleh Usman yang anggotanya terdiri dari para sahabat diantaranya Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin al’Ash, Abdurrahman bin al-Haris dan lain-lain.

Kodifikasi dan penyalinan kembali Mushaf Al Quran ini terjadi pada tahun 25 H, Usman berpesan apabila terjadi perbedaan dalam pelafalan agar mengacu pada Logat bahasa suku Quraisy karena Al Quran diturunkan dengangaya bahasa mereka.

Untuk pertama kali Al Qur'an ditulis dalam satu mushaf. Penulisan ini disesuaikan dengan tulisan aslinya yang terdapat pada Hafshah bt. Umar. (hasil usaha pengumpulan di masa Abu Bakar ra.). Dalam penulisan ini sangat diperhatikan sekali perbedaan
bacaan (untuk menghindari perselisihan di antara umat). Usman ra. memberikan tanggung jawab penulisan ini kepada Zaid Bin Tsabit, Abdullah Bin Zubair, Sa'id bin 'Ash dan Abdur-Rahman bin Al Haris bin Hisyam. Mushaf tersebut ditulis tanpa titik dan baris.
Hasil penulisan tersebut satu disimpan Usman ra. dan sisanya disebar ke berbagai penjuru negara Islam.

Keempat: Pemberian titik dan baris, terdiri dari tiga fase;
Pertama: Mu'awiyah bin Abi Sofyan menugaskan Abul Asad Ad-dualy untuk meletakkan tanda bacaan (ikrab) pada tiap kalimat dalam bentuk titik untuk menghindari kesalahan dalam membaca.
Kedua: Abdul Malik bin Marwan menugaskan Al Hajjaj bin Yusuf untuk memberikan titik sebagai pembeda antara satu huruf dengan lainnya (Baa'; dengan satu titik di bawah, Ta; dengan dua titik di atas, Tsa; dengan tiga titik di atas). Pada masa itu Al Hajjaj minta bantuan kepada Nashr bin 'Ashim dan Hay bin Ya'mar.
Ketiga: Peletakan baris atau tanda baca (i'rab) seperti: Dhammah, Fathah, Kasrah dan Sukun, mengikuti cara pemberian baris yang telah dilakukan oleh Khalil bin Ahmad Al Farahidy
.

sampai kepada saat ini al quran nya pun telah berbeda dengan al quran yang diatas tadi al quran mengalami perubahan bentuk mengikuti perkembangan zaman dalam hal penulisan dan penyajian, akan tetapi makna al quran tetap sama seperti janji allah didalam al quran yang akan menjaganya sampai hari akhir. Cetakan Al Quran yang banyak dipergunakan di dunia islam dewasa ini adalah cetakan Mesir yang juga dikenal dengan edisi Raja Fuad karena dialah yang memprakarsainya. Edisi ini ditulis berdasarkan Qiraat Ashim riwayat Hafs dan pertama kali diterbitkan di Kairo pada tahun 1344 H/ 1925 M. Selanjutnya, pada tahun 1947 M untuk pertama kalinya Al Quran dicetak dengan tekhnik cetak offset yang canggih dan dengan memakaihuruf-huruf yang indah. Pencetakan ini dilakukan di Turki atas prakarsa seorang ahli kaligrafi turki yang terkemuka Said Nursi.

0 komentar to “Ulumul Quran (awal)”

Posting Komentar

Five-Star Ratings Control

 

Levi Yamani Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger