Riwayat Hidup Nurcholis Madjid
Nurcholis Madjid lahir pada tanggal 17 Maret 1939 bertepatan dengan 26 Muharram 1358 H. di Jombang, Jawa Timur, dari keluarga kalangan pesantren yang taat menjalankan agama. Pendidikannya dimulai dari sekolah rakyat di Mojoanyar pada pagi hari, sedangkan sore hari ia sekolah di Madrasah Ibtidaiyah di Mojoanyar. Setelah menamatkan pendidikan dasar dan Ibtidaiyah, ia melanjutkan belajar di pesantren Darul Ulum di Rejoso, Jombang. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya di Kulliyatul Muallimin al-Islamiyah (KMI) Pesantren Darussalam di Gontor Ponorogo.
Setamat dari Gontor ia melanjutkan studi pada institut agama Islam kini Universitas Negri Islam (UIN) Syaraf Hidayatullah Jakarta, pada Fakultas Adab, Jurusan Sastra Arab dan tamat pada tahun 1968. pendidikan selanjutnya ia lakukan di Universitas Cicago, Illinois, Amerika Serikat dan berhasil meraih gelar doktor dalam bidang Islamic Though (Pemikiran Islam) pada tahun 1984.
Semasa jadi mahasiswa, Nurcholis Madjid banyak melakukan kegiatan di berbagai organisasi. Ia pernah menjadi ketua umum Himpunan mahasiswa Islam (HMI) Cabang Ciputat pada tahun 60-an. Kemudian menjadi Ketua Umum Pengurus Besar HMI selama pereode 1966-1969 dan 1969-1971. selain itu, ia juga pernah menjadi Presiden pertama Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara (PEMIAT) tahun 1967-1969, sebagai Wakil Sekretaris Jendral Internasional Islamic Federation of Student Organization (IIFSO) pada tahun 1969-1971.
Setamat dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Nurcholis Madjid bekerja sebagai dosen di almamaternya, mulai tahun 1972 sampai 1976. setelah berhasil meraih gelar Doktor pada tahun 1985, ia diotugaskan memberikan kuliah tentang filsafat di Fakultas Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu, sejak tahun 1978 ia bekerja sebagai peneliti pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Bersama tugas-tugasnya itu, ia pernah berkesempatan menjadi dosen tamu pada Universitas McGill, Montreal, Canada. Pada tahun 1990 di dampingi oleh istrinya yang mengikuti program Eisenhower Fellowship.
Pemikiran Nurcholis Madjid
Nurcholis Madjid atau yang akrab disapa Cak Nur merupakan salah seorang pemikir pembaruan Islam di Indonesia. Gagasan utama yang diusung oleh Cak Nur adalah mengenai Modernisasi, Sekularisasi dan sikap Pluralis dalam memandang berbagai agama atau pemahaman. Secara gamblang sekali Cak Nur mengungkapkan bahwa Modernisasi adalah Rasionalisasi bukan Westernisasi. Pendapat Cak Nur tentang Modernisasi tertuang dalam kesimpulan dari tulisannya yang berjudul “Modernisasi ialah Rasionalisasi, Bukan Westernisasi”:
Kita sepenuhnya berpendapat bahwa modernisasi ialah rasionalisasi yang ditopang oleh dimensi-dimensi moral dengan berpijak pada prinsip iman kepada Tuhan Yang Maha Esa. Akan tetapi, kita juga sepenuhnya menolak pengertian yang mengatakan bahwa modernisasi ialah westernisasi, sebab kita menolak westernisme. Dan westernisme yang kita maksudkan adalah total way of life, dimana faktor paling menonjol ialah sekularisme dnegan segala percabangannya, sebagai mana telah diterangkan di atas. [1]
Dari pembahasan tersebut, Cak Nur berpendapat bahwa modernisasi berarti rasionalisasi untuk memperoleh daya guna dalam berpikir dan bekerja maksimal guna kebahagiaan manusia, adalah perintah Tuhan yang mendasar. Menurut Cak Nur, modernisasi berarti berpikir dan bekerja menurut fitrah atau sunatullah yang haq. Modernitas menurut Cak Nur berada dalam suatu proses, yaitu proses penemuan Kebenaran-Kebenaran Yang Mutlak yaitu Allah.
Akan tetapi Cak Nur bukan seseorang yang mendukung paham rasionalisme,
Rasionalisme adalah suatu paham yang mengakui kemutlakan rasio, sebagaimana yang dianut oleh kaum komunis. Maka, seorang rasinalis adalah yang menggunakan akal pikirannya dengan sebaik-baiknya, ditambah dengan keyakinan bahwa akal pikirannya itu sanggup menemukan kebenaran, sampai merupakan kebenaran terakhir sekalipun. Sedangkan islam hanya membenarkan rasionalitas, yaitu dibenarkannya menggunakan akal pikiran oleh manusia dalam menemukan kebenaran-kebenaran. Akan tetapi, kebenaran-kebenaran yang ditemukannya itu adalah kebenaran insan, dan karena itu terkena sifat relatifnya manusia. Maka menurut Islam, sekalipun rasio dapat menemukan kebenaran-kebenaran, namun kebenaran-kebenaran yang relatif, sedangkan yang mutlak hanya dapat diketahui oleh manusia melalui sesuatu yang lain yang lebih tinggi dari rasio, yaitu wahyu (revelation) yang melahirkan agama-agama Tuhan melalui nabi-nabi. [2]
Dukungan Cak Nur terhadap rasionalitas tidak berarti dukungannya terhadap Rasionalisme. Sikap rasionalis dipandang perlu dalam menghadapi modernisasi mengingat masyarakat Indonesia yang salah dalam menerjemahkan warisan leluhurnya. Masyarakat muslim Indonesia lebih banyak disibukkan membenarkan atau menyalahkan pemahaman orang lain tanpa mempelajari terlebih dahulu pemahaman itu. Mereka kebanyakan terpenjara dalam pemikiran mereka yang telah mereka anggap paling benar dan dapat mengantarkan mereka ke surga Tuhan.
Cak Nur menuai protes dan kritikan keras dari berbagai kalangan berkaitan dengan gagasan sekularisasi yang diusungnya. Menurut Cak Nur sekularisasi yang dimaksudkan adalah pemisahan yang duniawi dan ukhrawi sehingga kita tidak terjebak pada pensakralan urusan duniawi dan melupakan urusan ukhrawi yang pada dasarnya merupakan tujuan dari ajaran Islam. dalam hal ini, yang setiap bentuk ‘perkembangan yang membebaskan’. Proses pembebasan ini diperlukan karena umat Islam, akibat perjalanan sejarahnya sendiri, tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang disangkanya islamis itu, mana yang transcendental mana yang temporal. [3]
Yang seharusnya diperlukan oleh umat Islam adalah kesediaan untuk senantiasa menguji kembali kebenaran setiap nilai di hadapan kenyataan-kenyataan material, moral maupun historis, agar menjadi sifat kaum muslimin. Lebih jauh lagi, sekularisasi Cak Nur dimaksudkan sebagai pemantapan terhadap fungsi manusia sebagai Khalifatullah fi al-ardh. Sebagai khalifah di muka bumi, manusia memiliki kebebasan penuh untuk menetapkan pilihan dalam rangka perbaikan kehidupan di atas bumi itu sendiri.
Nurcholis Madjid memiliki keterbukaan sikap yang ditunjukkan peradaban Islam yang di puncak kejayaannya sekitar sepuluh abad yang lalu. Keterbukaan Islam yang mampu menyerap yang terbaik, dari manapun datangnya. Proses penyerapan itu, menjadikan agama Islam menjadikan agama yang sarat dengan nilai universal yang dianut manusia secara tidak berkeputusan.
Karena itu, Nurcholis Madjid selalu menekankan pentingnya mencari persamaan diantara semua agama. Sikap memisahkan diri dari universalitas peradaban manusia hanya akan menyempitkan Islam sendiri, sebagai cara hidup bagian cukup besar dari ummat manusia. Inklusivitas Islam haruslah dipertahankan kalau vitalitas agama terakhir itu ingin dapat dilestarikan. Sebab, keharusan mengembangkan inklusivitas Islam itu, dalam pandangan Nurcholis Madjid hanya dapat terwujud dalam lembaga politik Islam. Terkenal sekali semboyan Nurcholis: “Islam Yes Partai Politik Islam No”.
Berkaitan dengan sikap pluralisme yang dianutnya, Cak Nur berangkat dari pemikiran tentang Prinsip Iman dan Prinsip Amal Saleh. Bagi Cak Nur, Islam merupakan sebuah agama yang berarti berkaitan erat dengan keyakinan yang ada dalam diri manusia. Cak Nur mengungkapkan bahwa Iman sebagai keyakinan yang amat besar dari seseorang yang menyatakan beriman kepada yang diyakininya. Oleh karena itu, iman merupakan sesuatu yang sangat individualis, sehingga keimanan ini seharusnya tercermin dalam sikapnya menghadapi berbagai perbedaan yang ada. Prinsip kedua adalah prinsip amal saleh; dalam hal ini berkaitan erat dengan taqwa yang diartikan oleh Cak Nur sebagai rasa ketuhanan. Jika seseorang memiliki sikap taqwa yang menguasai batin serta sikap-sikapnya, maka dalam suatu kesucian dan kemurnian ruhani, ia akan menentukan bentuk dan nilai dorongan batin atau motivasi, bagi seluruh kegiatan hidup atau budayanya. Amal shaleh merupakan tindakan yang didasari oleh keberadaan taqwa ini. amal shaleh diartikan Cak Nur sebagai perbuatan yang serasi dan harmonis dalam hubungannya dengan lingkungan hidup di sekitarnya, secara menyeluruh, khususnya dalam hubungan dengan sesama manusia itu sendiri.
Sikap pluralis dalam memandang keragaman manusia tadi mengandung satu cita-cita universal dalam kehidupan manusia, yaitu cita-cita untuk mewujudkan sebuah keadilan sosial. Kehidupan yang serasi atau saleh antarmanusia itu ialah kehidupan yang diliputi kedamaian, kesejahteraan, keselamatan dan seterusnya, singkatnya adalah kehidupan yang diliputi oleh salam, yang juga merupakan akar kata Islam.
K.H. AHMAD DAHLAN
Riwayat Hidup
KH. Ahmad Dahlan dilahirkan di Kauman Yogyakarta, pada tahun 1868. Nama kecil beliau adalah Muhammad Darwis. Keluarga beliau dikenal sebagai keluarga ulama, ayahnya bernama KH Abu Bakar. Seorang khatib Masjid besar Keraton Yogyakarta; sementara ibunya bernama Siti Aminah Putri dari KH Ibrahim yang pernah menjabat sebagai penghulu di Keraton Yogyakarta.
Sejak kecil beliau dididik oleh K.H. Abu Bakar; dimulai dengan belajar membaca dan menulis, mengaji Al-Qur an dan kitab-kitab agama. Kemudian, beliau juga belajar dengan K.H. Muhammad Saleh (Fiqh), K.H. Muhsin (Nahwu), KH. R. Dahlan (falak), K.H. Mahfuz dan Syekh Khayyat Sattokh (hadis), Syekh Amin dan Sayyid Bakri (qiraat al-Qur an) serta beberapa guru lainnya.
Pada tahun 1890 melakukan ibadah haji yang pertama kali ke tanah suci dan menetap di sana selama satu tahun. Karena kerinduannya, pada tahun 1903 ia berangkat lagi ke Mekkah untuk menetap di sana selama dua tahun. Saat itulah ia mulai berkenalan dengan pemikir kontemporer Islam seperti Ibn Taimiyyah, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Qoyyim al-Jauziyah dan lain sebagainya. Dipenaruhi oleh wawasan barunya tentang Islam, pada tanggal 18 November 1912, Dahlan mendirikan Muhammadiyyah, juga organisasi wanita yang kemudian diberi nama ‘Aisyiyyah pada tahun 1917.
Kemudian, pada tahun-tahun berikut, Muhammadiyah mengembangkan sayap operasi, bahkan pada tahun 1921 telah meliputi seluruh Indonesia, Cabang utama dan pertama yang berdiri di luar pulau Jawa adalah Minangkabau sekitar tahun 1923, Bengkulu, Banjarmasin dan Amuntai sekitar tahun 1927 dan Aceh bersamaan dengan Makasar sekitar tahun 1929.
Dalam melaksanakan roda organisasi K.H. Ahmad Dahlan tidak bekerja sendirian, ia dibantu oleh kawan-kawannya dari Kauman, seperti H. Sijak, H. Fakhruddin, H. Tamim, H. Syarkawi, dan H. Abdul Gani. Sedangkan anggota Budi Utomo yang keras mendukung segera mendirikan sekolah agama yang bersifat moderen adalah Mas Rasyidi dan R. Sosrosugondo. Kemudian, setelah organisasi Muhammadiyah didirikan dan melaksanakan amal usahanya di bidang pendidikan, dan sosial sampai tahun meninggalnya K.H. Ahmad Dahlan yaitu tanggal 23 Februari 1923.
Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan
Menurut Ramayulis dan Samsul Nizar, hampir seluruh pemikiran Dahlan berangkat dari keprihatinannya terhadap situasi dan kondisi global umat Islam waktu itu yang tenggelam dalam kejumudan(stagnasi), kebodohan, serta keterbelakangan. Kondisi ini sangat merugikan bangsa Indonesia. Latar belakang situasi dan kondisi tersebut telah mengilhami munculnya ide pembaharuan Dahlan. Ide ini sesungguhnya telah muncul sejak kunjungannya pertama ke Mekkah. Kemudian ide itu lebih dimantapkan setelah kunjungannya yang kedua. Hal ini berarti, bahwa kedua kunjungannya merupakan proses awal terjadinya kontak intelektualnya baik secara langsung maupun tak langsung dengan ide-ide pembaharuan yang terjadi di Timur Tengah pada awal abad XX.
Secara umum, ide-ide pembaharuan Ahmad Dahlan menurut Ramayulis dan Samsul Nizar dapat diklasifikasikan kepada dua dimensi, yaitu; Pertama, berupaya memurnikan (purifikasi) ajaran Islam dari khurafat, tahayul, dan bid’ah yang selama ini telah bercampur dalam akidah dan ibadah umat Islam. Kedua, mengajak umat Islam untuk keluar dari jaring pemikiran tradisional melalui reinterpretasi terhadap doktrin Islam dalam rumusan dan penjelasan yang dapat diterima oleh rasio.
Ide-ide pembaharuan tersebut hanya dapat dilaksanakan melalui pendidikan. Menurut Ahmad Dahlan pendidikan juga merupakan upaya strategis untuk menyelamatkan umat Islam dari pola berpikir yang statis menuju pemikiran yang dinamis adalah melalui pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan hendaknya ditempatkan pada skala prioritas utama dalam proses pembangunan umat. Mereka hendaknya didik agar cerdas, kritis, dan memiliki daya analisis yang tajam dalam memetakan dinamika kehidupan pada masa depan. Adapun kunci untuk meningkatkan kemajukan umat Islam adalah kembali kepada al-Qur`an dan hadis, mengarahkan umat pada pemahaman ajaran Islam secara komprehensif, dan menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Upaya ini secara strategis dapat dilakukan melalui pendidikan.
Tetapi pendidikan yang dimaksud oleh K.H. Ahmad Dahlan adalah pendidikan yang berorientasi pada pendidikan moderen, yaitu dengan menggunakan sistem klasikal. Apa yang dilakukannya merupakan sesuatu yang masih cukup langka dilakukan oleh lembaga pendidikan Islam pada waktu itu. Di sini, ia menggabungkan sistem pendidikan Belanda dengan sistem pendidikan tradisonal secara integral.
Menurut Abuddin Nata, untuk mewujudkan cita-citanya itu, pada tahun 1911 Ahmad Dahlan membuat proyek unggulan yaitu mendirikan sebuah madrasah yang diharapkan bisa memenuhi kebutuhan kaum muslimin. Di sekolah inilah pendidikan agama diberikan oleh Ahmad Dahlan disamping pengetahuan umum diajarkan oleh salah seorang anggota Budi Utomo yang juga menjadi guru di sekolah pemerintah. Kemudian, setelah Muhammadiyah berdiri tahun 1912 madrasah tersebut resmi menjadi amal usaha Muhammadiyah.
Dari paparan di atas dapat dipahami, bahwa K.H. Ahmad Dahlan dalam menyusun ide-ide pembaharuannya bertolak dari kondisi sosial umat Islam pada waktu itu atau dalam ungkapan lain disebut berdasarkan kepada kajian lapangan. Kemudian, ditambah dengan rihlah ilmiahnya ke Timur Tengah Jadi, pada awal abad ke-20 Ahmad Dahlan telah berfikir secara sistematis, terencana dan manajerial sesuai dengan konsep pengembangan pendidikan moderen. Selanjutnya, untuk menyelamatkan umat dari penjajahan fisik kolonial Belanda dan penajajahan syirik, takhyul bid’ah dan khurafat dan kemiskinan dan kebodohan adalah melalui sarana pendidikan.
Islam menekankan kepada umatnya untuk mendayagunakan semua kemampuan yang ada pada dirinya dalam rangka memahami fenomena alam semesata, baik alam makro maupun mikro. Meskipun dalam banyak tempat al-Qur`an senantiasa menekankan pentingnya menggunakan akal, akan tetapi al-Qur`an juga juga mengakui akan keterbatasan kemampuan akal. Ada fenomena yang tak dapat dijangkau oleh indera dan akal manusia (Q.S 13:2; 31:10; 63:3). Hala in disebabkan, karena wujud yang ada di alam ini memiliki dua dimensi, yaitu pisika dan metapisika. Manusia merupakan integrasi dari kedua dimensi tersebut, yaitu dimensi ruh dan jasad.
Batasan di atas memberikan arti, bahwa dalam epistemologi pendidikan Islam, ilmu pengetahuan dapat diperoleh apabila peserta didik (manusia) mendayagunakan berbagai media, baik yang diperoleh melalui persepsi inderawi, akal, kalbu, wahyu maupun ilham. Oleh karena itu, aktivitas pendidikan dalam Islam hendaknya memberikan kemungkinan yang sebesar-besarnya bagi pengembangan ke semua dimensi tersebut. Menurut Dahlan, pengemabangan tersebut merupakan proses integrasi ruh dan jasad. Konsep ini diketengahkannya dengan menggariskan perlunya pengkajian ilmu pengtahuan secara langsung, sesuai prinsip-prinsip al-Qur`an dan sunnah, bukan semata-mata dari kitab tertentu.
Dari sumber-sumber di atas, dapat dipahami bahwa landasan pendidikan Islam menurut Ahmad Dahlan adalah Al-Qur an dan hadis, maka dalam menetapkan tujuan pendidikan Islam juga sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Al-Qur an yaitu sesuai dengan tujuan penciptaan manusia yaitu sebagai hamba Allah dan khalifah Allah di muka bumi, dalam ungkapan lain disebut dengan rehumanisasi yaitu mengembalikan kedudukan manusia kepada kedudukan yang sebenarnya yaitu sebagai hamba Allah dan Khalifah Allah di muka bumi. Untuk tercapainya tujuan pendidikan Islam tersebut, manusia harus mengembangkan potenmsi dirinya melalui pendidikan. Potensi diri itu sebagaimana yang dianugerahkan oleh Allah antara lain; fitrah beragama, potensi akal, roh, qalbu dan nafs.
Untuk tercapainya tujuan pendidikan Islam, maka materi pendidikan menurut Dahlan, adalah pengajaran al-Qur`an dan Hadis, membaca, menulis, berhitung, ilmu bumi dan menggambar. Materi al-Qur`an dan Hadis meliputi; ibadah, persamaan derajat, fungsi perbuatan manusia dalam menentukan nasibnya, musyawarah, pembuktian kebenaran al-Qur`an dan Hadis menurut akal, kerjasama antara agama-kebudayaan-kemajuan peradaban, hukum kausalitas perubahan, nafsu dan kehendak, demokratisasi dan liberalisasi, kemerdekaan berpikir, dinamika kehidupan dan peranan manusia di dalamnya, dan akhlak (budi pekerti).
Di samping itu, menurut Abuddin Nata, bahwa pendidikan harus membekali siswa dengan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk mencapai kemajuan materiil. Oleh karena itu, pendidikan yang baik adalah pendidikan yang sesuai dengan tuntutan masyarakat di mana siswa itu hidup. Dengan pendapatnya itu, sesungguhnya Ahmad Dahlan mengkritik kaum tradisionalis yang menjalankan model pendidikan yang diwarisi secara turun temurun tanpa melihat relevansinya dengan perkembangan zaman.
MUHAMMAD NATSIR
Riwayat Hidup
M. Natsir lahir di Jembatan Berukir. Alahan Panjang, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, pada hari Jumat, 17 Jumadil Akhir 1326 H bertepatan dengan 17 Juli 1908 M. Ibunya bernama Khadijah. Ayahnya bernama Mohammad Idris Sutan Saripado. Di desa kelahirannya itu, Natsir kecil melewati masa-masa sosialisasi keagamaan dan intelektualnya.
Riwayat pendidikan M. Natsir dimulai dari Sekolah Rakyat (SR) di Maninjau Sumatera Barat hingga kelas dua. Setelah itu pindah ke Holland Inlandse School (HIS) Adabiyah Padang Panjang. Natsir melewati masa kehidupannya dengan penuh perjuangan berat. Sejak kecil ia memasak, mencari kayu bakar, menimba air, mencuci pakaian, menyapu halamanb, dan lain-lain. Di usia sangat muda, Natsir berpisah dengan orang tuanya dan menempuh hidup sebagai orang dewasa, Mulailah ia tidur di surau bersama-sama kawan-kawannya sesama laki-laki. Hanya pada waktu siang dan saat tertentu saja, Natsir berada di rumah.
Setelah lulus dari HIS, Natsir diterima beasiswa di MULO (Meer Uitgebreid Lager Orderwijs). Di MULO tersebut ia mulai aktif berorganisasi dengan masuk dalam Jong Sumatranen Bond yang diketuai Sanusi Pane. Selanjutnya bergabung dalam Jong Islamieten Bond. Menurut Natsir, organisasi merupakan pelengkap selain yang didapatkannya di sekolah dan memiliki andil yang cukup besar dalam kehidupan bangsa. Dari kegiatan berbagai organisasi inilah mulai tumbuh bibit sebagai pemimpin bangsa pada Muhammad Natsir.
Selanjutnya, tahun-tahun penting yang dijalani oleh M. Natsir yang membuatnya terkenal karena sepak terjang pemikiran dan tindakannya.
1887-1958: berinteraksi dengan A. Hasan, seorang pemikir radikal dan pendiri Persatuan Islam (persis) yang mempengaruhi alam pikirannya
1927: Aktif dalam bidang pendidikan secara meluas melalui pelibatan langsung dalam kegiatan studi yang dilaksanakan oleh Persis di Bandung di bawah pimpinan A. Hasan
1938: Mulai melibatkan diri dan aktif di bidang politik sebagai anggota Persatuan Islam Indonesia (PII) cabang Bandung
1940-1942: Natsir menjabat Ketua PII
1942-1945: Merangkap jabatan sebagai Kepala Biro Pendidikan Kotamadya Bandung dan sebagai Sekretaris Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta yang merupakan Perguruan TInggi Islam pertama pasca kemerdekaan.
1945-1946: Anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNPI), Menteri Penerangan RI pada Kabinet Syahrier 1 dan 2 serta kabinat Hatta ke-1
1949-1958: sebagai Ketua Masyumi hingga partai ini dibubarkan
1950-1951: Perdana Menteri RI
1955: Pemilu 1 Natsir terpilih sebagai anggota DPR
1956-1957: Natsir diangkat sebagai anggota Konstituante RI
Hasrat, cita-cita dan keinginan yang kuat dari M. Natsir untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara dan pemahamnnya t\yang berbeda tentang Islam dengan Soekarno menyebabkan timbulnya konflik di antara keduanya ingá ia termasuk dalam
oposisi pemerintah dan bergabung dengan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatra. Keterlibatannya ini mengakhiri karier politiknya di zaman orde lama. Di masa Orde Baru, Natsir tetap tersingkir dari pemerintahan bukan karenakeraguan orang terhadap kredibilitas dan kemampuannya sebagai seorang birokrat dan negarawan, melainkan karena perbedaan ideology. Pemerintah orba, tetap tidak mengabulkan rehabilitasi dam hidupnya kembali Masyumi yang dibubarkan oleh Soekarno.
Dalam keadaan yang demikian, M. Natsir meneruskan perjuangannya dengan menggunakan media dakwah melalui Yayasan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang didirikannya bersama mantan aktivis masyumi lainnya.
Kepiawaian, kredibilitas, dan kemampuan Natsir dalam bidang kenegaraan, keislaman, dan perjuangan tidak hanya diakui oleh kalangan nasional, bahkan internasional. Kiprah M. Natsir secara internasional sebagai berikut.
1956: memimpin Sidang Muktamar Alam Islamy di Damaskus, Wakil Presiden Kongres Islam Se-Dunia yang berpusat di Pakistan dan Muktamar Alam Al Islami yang berpusat di Arab Saudi
1957: menerima penghargaan internasional berupa bintang Nicham Istikhar (Grand Gordon) dari Presiden Tunisia, Lamine Bay, atas jasa-jasanya dalam membantu perjuangan kemerdekaan rakyat Afrika Utara
1980: Februari 1980 memperoleh penghargaan internasional Jaizatul malik Faisal al Alamiyah dari Lembaga Hadiah Internasional Malik Faisal Arab Saudi
Dalam dunia akademik, Natsir memperoleh doctor honoris causa dari Universitas Islam Libanon tahun 1967 di bidang sastra. Gelar yang sama diperoleh juga tahun 1991 dari Universitas Kebangsaan Malaysia dan Universitas Saint Teknologi Malaysia dalam bidang pemikiran Islam.
Natsir juga termasuk tokoh intelektual muslim yang produktif. Menurut Yusuf Abdullah Puar, Natsir, telah menulis lebih dari 52 judul buku yang ditulis sejak tahun 1930. Diantaranya :
1. Islam sebagai Ideologi ( Jakarta : Pustaka Aida, 1951)
2. Agama dan Negara, Falsafah Perjuangan Islam ( Medan, 1951)
3. Kapita Selekta 1 (Jakarta : Bulan Bintang, 1954)
4. Islam sebagai Dasar Negara (Bandung, 1954)
5. Some Observation, Concerning the Rule of Islam in National and International Affair (Ithaca: Departemen of Eastern Studies, Cornel University, 1954)
6. Fiqh Da’wah ( Solo: CV Ramadhan, 1965)
Dari beberapa buku tersebut, nampak jelas bahwa Natsir memiliki perhatian terhadap perlunya pelaksanaan ajaran Islam dalam lehidupan berbangsa dan bernegara, juga perlunya peningkatan dan pengembangan pendidikan umat. Bagaimana pokok-pokok pemikiran Natsir dalam bidang pendidikan secara lebih mendalam?
Natsir wafat pada 6 Februari 1993 bertepatan dengan 14 Sya’ban 1413 H di RSCM dalam usia 85 tahun. PM Jepang saat itu, mengatakan bahwa : Berita wafatnya Pak Mohammad Natsir terasa lebih dahsyat dari jatuhnya bom atom di Hiroshima.
Pokok-Pokok Pemikiran Pendidikan M. Natsir
Ketika Belanda hendak menjadikan Indonesia negera serikat, Muhammad Natsir menentangnya dan mengajukan pembentukan negara Kesatuan Republik Indonesia. Usulan ini disetujui 90% anggota Masyumi. Tahun 1950, ia diminta membentuk kabinet sekaligus menjadi perdana Menterinya. Tapi belum genap setahun ia dipecat karena bersebrangan dengan presiden Soekarno. Ia tetap memimpin Masyumi dan menjadi angota parlemen hingga tahun 1957. Pidatonya yang berjudul “Pilihlah salah satu dari dua jalan, Islam atau Atheis.” yang disampaikan di parlemen Indonesia dan dipublikasikan majalah “Al Muslimin”, punya pengaruh besar pada anggota parlemen dan masyaakat muslim Indonesia.
Dalam pidatonya di depan Sidang Majlis Konstituante, 13 November 1957, M. Natsir berkata, ”Seorang sekularis tidak mengakui adanya wahyu sebagai salah satu sumber kepercayaan dan pengetahuan. Ia menganggap bahwa kepercayaan dan nilai-nilai itu ditimbulkan oleh sejarah atau pun oleh bekas-bekas kehewanan manusia semata-mata dan dipusatkan kepada kebahagiaan manusia dalam kehidupan sekarang ini belaka… Jika dibandingkan dengan sekularisme yang sebaik-baiknya pun, maka adalah agama masih lebih dalam dan lebih dapat diterima oleh akal. Setinggi-tinggi tujuan hidup bagi masyarakat dan perseorangan yang dapat diberikan oleh sekularisme, tidak melebihi konsep dari apa yang disebut humanity (perikemanusiaan). Yang menjadi soal adalah pertanyaan, ”Dimana sumber perikemanusiaan itu?” Natsir menjawabnya sendiri, “Islam-lah sumber segala kehidupan dan keteraturan di dunia ini.”
Apa yang ditegaskan Natsir dahulu, di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sekarang ini sama sekali tidak diperhatikan oleh mereka yang mengklaim sebagai “tokoh-tokoh Islam”, baik yang duduk di parlemen, di partai politik, maupun di kabinet.
Malah sebagian tokoh-tokoh itu malah mulai teracuni oleh pemikiran-pemikiran sekuler dengan menempatkan pluralitas—dengan konsekuensi juga paham pluralismenya—berada di atas dan menempatkan perintah Allah SWT di bawahnya.
Bahkan untuk membohongi suara hati nuraninya sendiri, untuk menipu fitrah kemanusiaannya sendiri, ada yang memakai dalil jika Islam adalah “Rahmatan lil’alamin”. Maka tanpa malu sedikit pun mereka mulai memberikan loyalitasnya kepada kaum kufar, seolah mereka tidak pernah mendapat materi pengajian Wala wal Barra.
Padahal tidak pernah sekali pun Rasulullah SAW memberikan loyalitasnya kepada kaum kuffar. Keluarga merupakan bentuk paling kecil dari pemerintahan, bukankah Islam mengatakan bahwa pernikahan otomatis batal jika seorang perempuan Muslim ternyata menikah dengan lelaki kafir?. Demikian juga dalam kehidupan bernegara.
Saat menerjuni bidang politik, Muhammad Natsir adalah sorang politikus piawai. Saat menerjuni medan perang, ia menjadi panglima yang gagah berani, dan saat berdebat dengan musuh, ia tampil sebagai pakar ilmu dan dakwah. Muhammad Natsir menentang serangan membabi buta yang dilancarkan para misionaris Kristen, antek-antek penjajah dan para kaki tangan Barat maupun Timur, dengan menerbitkan majalah Pembela Islam. Ia juga menyerukan Islam sebagai titik tolak kemerdekaan dan kedaulatan, pada saat Soekarno dan antek-anteknya menyerukan nasionalisme Indonesia sebagai titik tolak kemerdekaan. Saat itu Soekarno bersekutu dengan Komunis yang terhimpun dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk melawan Muhammad Natsir dan Partai Masyumi. Pertarungan ini berlangsung hingga tahun 1961, Soekarno membubarkan Partai Masyumi dan menahan pemimpinnya, terutama Muhmmad Natsir.Namun perlawan kaum muslimin Indonesia tidak padam, terus berlanjut hingga terjadi revolusi militer yang berhasil menggulingkan Soekarno pada tahun 1965.
Manhaj Dakwah Muhammad Natsir
Keluar dari penjara, Muhammad Natsir dan rekan-rekannya mendirikan Dewan Dakwah Islam Indonesia yang memusatkan aktivitasnya untuk membina masyarakat, mengerahkan para pemuda, dan menyiapkan dai. Kemudian cabang-cabang DDI terbentuk di seluruh Indonesia, dan generasi muda dapat mengenyam fikrah Islam yang benar, memberi pengarahan kepada masyarakat, mendirikan pusat-pusat kegiatan Islam (Islamic Center) dan masjid, menyebarkan buku-buku Islam, membentuk ikatan-ikatan pelajar Islam, serta mendirikan beberapa asosiasi profesional: para insinyur, petani, pekerja dan lain-lain. Ia juga menjalin hubungan dengan gerakan-geraka Islam Internasional, untuk saling tukar pengalaman dan saling mengokohkan persatuan. tahun 1967, Muhammad Natsir dipilih menjadi Wakil Ketua Muktmaar Islam Internasiomal di Pakistan.
KESIMPULAN
Terlepas dari pemikiran Nurcholis Madjid yang menuai kontroversi di berbagai kalangan umat muslim, Cak Nur telah memberikan kontribusi yang besar bagi warna baru pemahaman Islam di Indonesia. Tak hanya itu, hingga ajal menjemputnya, masih banyak orang yang mengakui bahwa pemikiran beliau layak dipertahankan dan diikuti. Warna yang telah ditorehkan Cak Nur paling tidak membuka cakrawala generasi berikutnya untuk berpemikiran, setidaknya seperti beliau.
KH. A. Dahlan dengan niat tulusnya memurnikan ajaran Islam dari segala bentuk takhayul, bid’ah dan khurafat, juga pemikiran Islam modern yang diusungnya telah berhasil mendirikan sebuah organisasi massa yang besar hingga hari ini. terlebih kontribusi yang telah beliau berikan dalam bidang pendidikan, turut membantu masyarakat Indonesia dalam memperoleh pendidikan di bangku sekolah disamping pendidikan yang telah disediakan pemerintah, terutama dalam bidang pendidikan Islam yang tidak ditunjang dengan cukup oleh pemerintah.
Keberadaan Islam di Indonesia tak lepas dari kontribusi pemikiran M. Natsir. Hal ini terlihat dari teguhnya pemahaman Natsir tentang Keislaman dan penolakan yang keras dan tegas terhadap sekularisme.
DAFTAR PUSTAKA
Madjid, Nurcholis. 2008. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan
Nata, Abuddin. 2003. Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta : Grafindo Persada
Ramayulis dan Samsul Nizar. 2005. Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam: Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan Indonesia. Jakarta: Quantum Teaching
http://badrislam.blogspot.com/2009/05/muhammad-natsir-pilih-islam-atau-atheis.html
http://lppbi-fiba.blogspot.com/2009/03/filosofi-dasar-pemikiran-kh-ahmad.html