Para sejarahwan, penafsir Al-Qur’ân dan perawi terkenal sering membuat kesalahan dalam melaporkan suatu peristiwa. Mereka menerima berita-berita sebagaimana disampaikan kepada mereka tanpa menilai mutunya. Mereka tidak... membandingkannya dengan laporan-laporan lain yang serupa. Mereka tidak mengukur laporan-laporan tersebut dengan ukuran-ukuran filsafat, dengan bantuan pengetahuan hukum alam, tidak juga dengan bantuan renungan dan wawasan sejarah. Mereka lalu tersesat dari kebenaran dan hilang dalam padang pasir perkiraan dan kesalahan-kesalahan yang tak dapat dipertahankan.
pembaiatan Abû Bakar sebagai khalîfah pertama di Saqîfah Banî Sâ’idah, adalah peristiwa yang berekor panjang. Abû Bakar dan ‘Umar sendiri kemudian mengakuinya sebagai tindakan keliru yang dilakukan secara tergesa-gesa.
Peristiwa ini telah menimbulkan perpecahan pertama dan terbesar yang kelanjutannya terasa sampai di zaman ini.
Naskah-naskah sejarah tradisional, târikh an-naqlî, yang tertera dalam buku-buku sejarah lama, yang beredar dan tersebar luas, telah memungkinkan para ahli membuat rekonstruksi peristiwa besar itu.
Penulis membuat rekonstruksi peristiwa Saqîfah berdasarkan pidato ‘Umar bin Khaththâb dalam khotbah Jum’atn¬ya yang terakhir. Khotbah ini didengar banyak orang dan dicatat oleh hampir seluruh penulis sejarah lama dengan isnâd yang leng¬kap dan melalui banyak jalur, sehingga pidato ‘Umar ini diterima oleh semua ahli sebagai sumber yang patut dipercaya.
Naskah tertua yang mencatat pidato ‘Umar ini ialah as-Sîrah an Nabawiyah, yakni riwayat hidup Nabî Muhammad saw. karya Ibnu Ishâq, yang sampai kepada kita melalui “revisi” Ibnu Hisyâm. “Celah-celah” pidato ‘Umar ini kemudian diisi dengan sumber lama lainnya, sehingga pembaca dapat mengikuti peristiwa itu dalam satu rangkaian yang terpadu.
Bagi yang dapat membaca dalam bahasa Arab, tersedia banyak buku mengenai peristiwa itu, baik yang ditulis secara khusus, maupun yang terselip dalam rangkaian tulisan lain. Dua buku semacam itu adalah as-Saqîfah oleh Syaikh Muhammad
Ridhâ al-Muzhaffar dan As-Saqîfah wa’l-Khilâfah oleh ‘Abdul Fattâh ‘Abdul Maqshûd..
Bagi pembaca awam perlu diingatkan, bahwa menulis sejarah tidak sama dengan menulis buku dakwah untuk memperkuat keyakinan yang telah lama dianut.
Penulis sejarah menulis apa adanya; tulisannya dapat berbeda dengan hipotesa atau keyakinannya semula. Dalam menulis suatu peristiwa sejarah ia harus mengumpulkan semua laporan tentang peristiwa tersebut dan harus bertindak sebagai hakim di pengadi¬lan yang mengambil keputusan dari keterangan-keterangan para saksi. Hal ini disebabkan karena para penulis sejarah zaman dahulu, terutama pada zaman para sahabat dan tâbi’în sering menyampaikan laporan-laporan yang banyak tentang suatu peristiwa.
Laporan-laporan ini demikian rumit dan kadang-kadang saling bertentangan. Oleh karena itu di beberapa bagian penulis terpaksa memuat laporan itu selengkap-lengkapnya. Sebagai contoh pembaca dapat melihat catatan pada bab ‘Pengepungan Rumah Fâthimah’.
Penulis sejarah menyadari adanya prasangka dari saksi pelapor suatu peristiwa dan para penyalur yang membentuk rangkaian isnâd. Ia juga harus menyadari kemungkinan adanya kesalahan dan kekelir¬uan mereka karena kelemahan-kelemahan manusiawi seperti lupa, salah tanggap, salah tafsir, pengaruh penguasa terhadap dirinya, serta latar belakang keyakinan pribadinya.
Sejak permulaan abad kedua puluh ini, telah muncul para peneliti dan penulis yang sangat tekun, antara lain yang namanya disebut di atas; namun tulisan-tulisan mereka, dalam bahasa Arab, tidak berkembang dengan baik. Hal ini disebabkan karena buku-buku sejarah lama telah terlanjur tersebar luas dan melembaga dalam rumusan akidah. Sebuah laporan yang diriwayatkan dalam buku sejarah dikutip ke dalam buku-buku dakwah, seperti mengutip hadis, kemudian dikhotbahkan di masjid-masjid tanpa membanding¬kannya dengan laporan-laporan serupa yang lain, dan tidak juga diteliti dengan dasar-dasar metode sejarah.
Pada zaman dulu, ulama adalah manusia dua dimensi. Ia adalah ilmuwan dan sekaligus juga juru dakwah yang mengajak kaum awam mendekati agama; ia meneliti dan mengajar. Lama kelamaan, kedudu¬kan seorang ulama makin beralih ke tugas dakwah, dan mengabaikan segi penelitian. Penelitian sejarah di zaman sahabat pun dilupa¬kan.
Maka timbullah semboyan yang terkenal: ‘Kita harus membisu terhadap segala yang terjadi di antara sahabat’ . Para ulama telah menjadi juru dakwah semata-mata, yang pekerjaannya ialah berdakwah dan mengajarkan agama.
Ditutupnya pintu ijtihâd, telah menambah parahnya perkembangan penelitian sejarah zaman para Sahabat serta tâbi’în generasi pertama dan kedua. Dan para ulama terus bertaklid pada ijtihâd para imam yang hidup seribu tahun lalu.
Para pembaharu cenderung membangun pikirannya di atas permu¬kaan, dan tidak menelusuri khazanah kebudayaan Islam yang kaya, yang merentang dalam kurun waktu yang panjang. Dimensi-dimensi luas yang terkandung dalam Al-Qur’ân, telah
dibiarkan membeku dan tidak mendapatkan kesempatan untuk berkembang.
Itulah sebabnya, buku-buku yang mengandung hasil studi yang kritis, tidak lagi mendapatkan pasaran. Membaca buku-buku ini dianggap tidak memberi manfaat, karena pikiran-pikiran baru ini akan membuat dirinya terasing dalam kalan¬gannya sendiri dan dari masyarakat yang telah ‘mantap’ dalam keyakinan.
Pada sisi lain, kelemahan dalam segi kepemimpinan membuat para ulama sukar memasarkan ‘pikiran-pikiran baru’-nya. Hal ini dise¬babkan tidak adanya lagi kewajiban untuk menaati para ulama mujtahid yang kompeten, yang masih hidup, sebagai Imâm.
Buku kecil ini sebenarnya hanyalah kumpulan kutipan dari para sejarahwan awal dan bukanlah ‘barang baru’, kecuali bagi yang tidak membaca buku-buku sejenis dalam bahasa Arab. Bagi mereka, membaca buku ini akan menimbulkan unek-unek, karena mungkin melihat adanya sumber lain yang tidak dikutip penulis.
Misalnya, penulis sangat kritis terhadap hadis ramalan politik, hadis dan riwayat dari Saif bin ‘Umar Tamimi dengan cerita ‘Abdullâh bin Saba’-nya, hadis dari Abû Hurairah serta hadis keutamaan, fadhâ’il, yang berhubungan langsung atau tidak langsung dengan peristiwa Saqî¬fah. Karena itu penulis perlu membicarakan,walaupun sepintas lalu,dalam pengantar ini, satu demi satu.
Hadis Sebagai Sumber Sejarah
Hadis Shahîh Belum Tentu Shahîh
Sumber sejarah kita adalah Al-Qur’ân, hadis dan naskah sejarah lainnya. Mengenai Al-Qur’ân, tidak ada beda pendapat. Al-Qur’ân hanya satu. Tetapi mengenai hadis kita harus memilih hadis shahîh. Namun haruslah diingat bahwa hadis yang ‘shahîh’ belum tentu shahîh bila dihubungkan dengan sejarah atau ayat Al-Qur’ân. Misalnya hadis Abû Hurairah mengenai mizwâd, kantong mukjizat yang diikatkan di pinggangnya dan memberi makan pasukan-pasukan dan dirinya sendiri selama dua puluh tahun. Atau hadis Abû Hurairah tentang Âdam yang diciptakan seperti bentuk Allâh SWT dengan panjang enam puluh hasta, yang akan dibicarakan di bagian lain pengantar ini. Atau hadis yang bertentangan satu dengan yang lain, seperti, riwayat ‘Â’isyah bahwa Rasûl Allâh wafat sambil bersandar di dada ‘Â’isyah dan hadis Ummu Salamah bahwa Rasûl meninggal tatkala sedang bersandar di dada ‘Alî bin Abî Thâlib.
Di kemudian hari muncul hadis-hadis palsu yang jumlahnya sangat mencengangkan seperti ‘sinyalemen’ Rasûl Allâh saw.: ‘Sejumlah besar hadis palsu akan diceritakan atas namaku sesudah aku wafat, dan barangsiapa berbicara bohong terhadapku, ia akan dimasukkan ke dalam neraka’.
H. Fuad Hashem memberi gambaran menarik “..Khalîfah Abû Bakar, menurut sejarawan al-Dzahabî, dilaporkan membakar kumpulan lima ratus hadis, hanya sehari setelah ia menyerahkannya kepada putrinya ‘Â’isyah. ‘Saya menulis menurut tanggapan saya,’ kata Abû Bakar, ‘namun bisa jadi ada hal yang tidak persis dengan yang diutamakan Nabî.’ Kalau saja Abû Bakar hidup sampai dua ratus tahun kemudian dan menyaksikan betapa beraninya orang mengadakan jutaan hadis yang kiranya jauh dari ‘persis’, mungkin sekali ia menangis, seperti yang dilaku¬kannya banyak kali.
Penggantinya khalîfah ‘Umar, juga menolak menulis serupa karena ini tidak ada presedennya. Di depan jemaah Muslim, ia berkata: ‘Saya sedang menimbang menuliskan hadis Nabî,’ katan¬ya. ‘Tetapi saya ragu karena teringat kaum Ahlu’l-Kitâb yang mendului kaum Muslim. Mereka menuliskan kitab selain wahyu; akibatnya, mereka akhirnya malahan meninggalkan kitab sucinya dan berpegang pada kumpulan hadis itu saja.’
Semua ini menunda pencatatan keterangan mengenai kehidupan awal Islam. ...
“Tidak kita temui ulama memberi lebih banyak kepalsuan dari yang mereka lakukan atas hadis,” kata Muslim, pengumpul hadis tersohor. Banyak duri khurâfât yang kalau dicabut, akan mengeluarkan banyak darah dan membikin sekujur tubuh merasa demam; sudah terlalu dalam, terlalu lama tertanam.
Di zaman Dinasti ‘Abbâsiyah, semua keutamaan ‘Umayyah dibilas... Peranan ‘Abbâs, paman Rasûl, dibenahi; ia, selagi kafir, dijadikan “pahlawan” dengan mengawal Muhammad dalam bai’at Aqabah, atau ia sebenarnya telah lama masuk Islam dan dipaksa oleh kaum Quraisy untuk ikut berperang melawan Islam dalam Perang Badr. Semua untuk memberikan legitimasi atas tahta.
Tetapi kedua dinasti bermusuhan itu sepakat mengenai satu hal: mendiskreditkan para pengikut ‘Alî dan berkepentingan agar Abû Thâlib mati kafir. Ia ayah ‘Alî dan dengan begitu barangkali anak cucunya kurang berhak atas jabatan pimpinan umat Islam yang diperebutkan. Penulis zaman itu pun sedikit banyak harus memperhatikan pesanan dari istana, kalau masih mau menulis lagi. Dan mereka terpaksa menulis apa yang mereka tulis...
Dua ratus tahun sepeninggal Rasûl, jumlah hadis telah mencapai jutaan dan para ulama yang memburu dengan kuda dari Spanyol sampai India mulai heran karena persediaan hadis sudah jauh melampaui permin¬taan. Di situ sudah ditampung sabda Yesus, ungkapan Yunani, pepatah Persia dan aneka sisipan dan buatan yang sukar ditelusuri asal-muasalnya. Barulah ulama memikirkan cara mengontrol: memer¬iksa rangkaian penutur hadis ini (isnâd) dengan berbagai metode untuk menguji kebenarannya.
Bukhârî dan Muslim serta beberapa lainnya menyortir secara ketat semua itu, lalu menggolongkannya menurut tingkat dan mutu kebenarannya , tugas yang hampir mustahil dilakukan manusia. Bagaimanapun, kerusakan telah terjadi. Sepanjang menyangkut catatan mengenai biografi Muhammad, mungkin sedikit saja motif jahat untuk mego¬tori sisa hidup dan perjuangannya. Juga kita dapat mencek dan menimbang lalu menyimpulkan “motif” kepentingan politik dari hadis mengenai selangkah atau sepatah kata Nabî, walaupun ini bukan mudah: sebab orang dulu pun pandai seperti kita untuk membuat motif itu mulus, luput dari utikan dan dengan mudahnya menjerat kita...
Motif itu hampir tak terbilang jumlahnya: ekonomi, kehormatan, politik atau sekadar kesadaran bahwa nama mereka masih akan dicatat dan disebut sampai detik-detik menjelang kiamatnya alam jagad ini, sebab Islam agama universal.
Maka siapa pengikut pertama, siapa yang menjabat tangan Muhammad lebih dulu dalam ikrar Aqabah, siapa yang tidak hijrah, semua diperebutkan oleh anak keturunan, murid atau malahan tetangga mereka. Ahmad Amîn mengutip Ibnu Urafah, mengatakan bahwa ‘kebanyakan hadis yang mengutamakan para sahabat dan mutu sahabat Rasûl, dipalsukan selama periode Dinasti ‘Umayyah.’ “ Demikian H. Fuad Hashem.
Hati-hati Terhadap 700 Pembuat Hadis Aspal
Berapa banyak jumlah hadis palsu ini dapat dibayangkan dengan contoh berikut.Dari 600.000 (enam ratus ribu) hadis yang dikum¬pulkan al-Bukhârî, ia hanya memilih 2761 (dua ribu tujuh ratus enam puluh satu) hadis . Muslim, dari 300.000 (tiga ratus ribu) hanya memilih 4.000 (empat ribu). Abû Dâwud, dari 500.000 (lima ratus ribu) hanya memilih 4.800 (empat ribu delapan ratus) hadis . Ahmad bin Hanbal, dari sekitar 1.000.000 (sejuta) hadis hanya memilih 30.000 (tiga puluh ribu) hadis.
Bukhârî (194-255 H., 810-869 M.), Muslim (204-261 H., 819-875 M.), Tirmidzî (209-279 H., 824-892 M.), Nasâ’î (214-303 H. , 829-915 M.), Abû Dâwud (203-275 H., 818-888 M.) dan Ibnu Mâjah (209-295 H., 824-908 M.) misalnya telah menyeleksi untuk kita hadis-hadis yang menurut mereka adalah benar, shahîh.
Hadis-hadis ini telah terhimpun dalam enam buku shahîh, ash-shihâh as-sittah, dengan judul kitab masing-masing menurut nama mereka, Shahîh Bukhârî, Shahîh Muslim, Shahîh (Sunan) Ibnu Mâjah, Shahîh (Sunan) Abû Dâwud, Shahîh (Jâmi’) Tirmidzî dan Shahîh (Sunan) Nasâ’î.
Tetapi, bila kita baca penelitian para ahli yang terkenal dengan nama Ahlu’l Jarh wa Ta’dîl, maka masih banyak hadis shahîh ini akan gugur, karena ternyata banyak di antara pelapor hadis, setelah diteliti lebih dalam adalah pembuat hadis palsu.
Al-Amînî, misalnya, telah mengumpulkan tujuh ratus nama pembohong , yang diseleksi oleh Ahlu’l Jarh wa Ta’dîl Sunnî , yang selama ini dianggap adil atau jujur, dan hadis yang mereka sampaikan selama ini dianggap shahîh dan tertera dalam buku shahîh enam. Ada di antara mereka yang menyampaikan, seorang diri, beribu-ribu hadis palsu.
Dan terdapat pula para pembo¬hong zuhud , yang sembahyang, mengaji dan berdoa semalaman dan mulai pagi hari mengajar dan berbohong seharian.
Para pembohong zuhud ini, bila ditanyakan kepada mereka, mengapa mereka membuat hadis palsu terhadap Rasûl Allâh saw. yang diancam api neraka, mereka mengatakan bahwa mereka tidak membuat hadis terhadap (‘alâ) Rasûl Allâh saw. tetapi untuk (lî) Rasûl Allâh saw. Maksudnya, mereka ingin membuat agama Islam lebih bagus.
Tidak mungkin mengutip semua. Sebagai contoh, kita ambil seorang perawi secara acak dari 700 orang perawi yang ditulis Amînî.
“Muqâtil bin Sulaimân al-Bakhî, meninggal tahun 150 H.-767 M. Ia adalah pembohong, dajjal dan pemalsu hadis. Nasâ’î memasukkannya sebagai seorang pembohong; terkenal sebagai pemalsu hadis terhadap Rasûl Allâh saw.. Ia berkata terang-teran¬gan kepada khalîfah Abû Ja’far al-Manshûr: ‘Bila Anda suka akan saya buat hadis dari Rasûl untuk¬mu’. Ia lalu melakukannya. Dan ia berkata kepada khalîfah al-Mahdî dari Banû ‘Abbâs: ‘Bila Anda suka akan aku buatkan hadis untuk (keagungan) ‘Abbâs’. Al-Mahdî menjawab: ‘Aku tidak menghendakinya!’. Abû Bakar al-Khatîb, Târîkh Baghdâd, jilid 13, hlm. 168; ‘Alâ’udîn Muttaqî al-Hindî, Kanzu’l-’Ummâl, jilid 5, hlm. 160; Syamsuddîn adz-Dzahabî, Mîzân al-I’tidâl, jilid 3, hlm. 196; al-Hâfizh Ibnu Hajar al-’Asqalânî, Tahdzîb at-Tahdzîb, jilid 10, hlm. 284; Jalâluddîn as-Suyûthî, al-La’âlî’ul Mashnû’ah, jilid 1, hlm. 168, jilid 2, hlm. 60, 122.”
Para pembohong ini bukanlah orang bodoh. Mereka mengetahui sifat-sifat dan cara berbicara para sahabat seperti ‘Umar, Abû Bakar, ‘Â’isyah dan lain-lain. Mereka juga memakai nama para tâbi’în seperti ‘Urwah bin Zubair sebagai pelapor pertama, dan rantai sanad dipilih dari orang-orang yang dianggap dapat diper¬caya.. Hadis-hadis ini disusun dengan rapih, kadang-kadang dengan rincian yang sangat menjebak. Tetapi kesalahan terjadi tentu saja karena namanya tercantum di dalam rangkaian perawi. Dengan demikian para ahli tentang cacat tidaknya suatu hadis yang dapat menyusuri riwayat pribadi yang buruk itu, menolak hadis-hadis tersebut. .
Demikian pula, misalnya hadis-hadis yang menggunakan kata-kata ‘mencerca sahabat’ tidak mungkin diucapkan Rasûl, karena kata-kata tersebut mulai diucapkan di zaman Mu’awiah, lama sesudah Rasûl wafat. Seperti kata-kata Rasûl “Barang siapa mencerca sahabat-sahabatku maka ia telah mencercaku dan barang siapa mencercaku maka ia telah mencerca Allâh dan mereka akan dilem¬parkan ke api neraka” yang banyak jumlahnya .
Juga hadis-hadis berupa perintah Rasûl agar secara lansung atau tidak lansung meneladani atau mengikuti seluruh sahabat, seperti ‘Para sahabatku laksana bintang-bintang, siapa saja yang kamu ikuti, pasti akan mendapat petunjuk’ atau ‘Para sahabatku adalah penye¬lamat umatku’, tidaklah historis sifatnya.
Disamping perintah ini menjadi janggal, karena pendengarnya sendiri adalah sahabat, sehingga menggambarkan perintah agar para sahabat meneladani diri mereka sendiri, sejarah menunjukkan bahwa selama pemerintahan Banî Umayyah, cerca dan pelaknatan terhadap ‘Ali bin Abî Thâlib serta keluarga dan pengikutnya, selama itu, tidak ada sahabat atau tabi’in yang menyampaikan hadis ini untuk menghenti¬kan perbuatan tercela yang dilakukan di atas mimbar masjid di seluruh negeri tersebut. Lagi pula di samping fakta sejarah, al-Qur’ân dan hadis telah menolak keadilan seluruh sahabat.
Atau hadis-hadis bahwa para khalîfah diciptakan atau berasal dari nûr (sinar) yang banyak jumlahnya, sebab menurut Al-Qur’ân manu¬sia berasal dari Âdam dan Âdam diciptakan dari tanah dan tidak mungkin orang yang tidak menduduki jabatan dibuat dari tanah sedang yang ‘berhasil’ menjadi khalîfah dibikin dari nûr.
Para ahli telah mengumpul para pembohong dan pemalsu dan jumlah hadis yang disampaikan.
Abû Sa’îd Abân bin Ja’far, misalnya, membuat hadis palsu sebanyak 300.
Abû ‘Alî Ahmad al-Jubarî 10.000
Ahmad bin Muhammad al-Qays 3.000
Ahmad bin Muhammad Maruzî 10.000
Shalih bin Muhammad al-Qairathî 10.000
dan banyak sekali yang lain. Jadi, bila Anda membaca sejarah, dan nama pembohong yang telah ditemukan para ahli hadis tercantum di dalam rangkaian isnâd, Anda harus hati-hati.
Ada pula pembohong yang menulis sejarah dan tulisannya dikutip oleh para penulis lain. Sebagai contoh Saif bin ‘Umar yang akan dibicarakan di bagian lain secara sepintas lalu. Para ahli telah menganggapnya sebagai pembohong. Dia menulis tentang seorang tokoh yang bernama ‘Abdullâh bin Saba’’ yang fiktif sebagai pencipta ajaran Syî’ah. Dan ia juga memasukkan 150 sahabat yang tidak pernah ada yang semuanya memakai nama keluarganya. Dia menulis di zaman khalîfah Hârûn al-Rasyîd. Bukunya telah menim¬bulkan demikian banyak bencana yang menimpa kaum Syî’ah.
Bila membaca, misalnya, kitab sejarah Thabarî dan nama Saif bin ‘Umar berada dalam rangkaian isnâd, maka berita tersebut harus diperiksa dengan teliti.
Sîrah Nabî karya Ibnu Ishâq yang asli tidak pernah ditemukan lagi. Yang sampai kepada kita adalah ulasan Ibnu Hisyâm, seorang Sunnî yang fanatik, terhadap buku Ibnu Ishâq tersebut, dengan judul ‘Amr Saqîfah Banî Sâ’idah’ (Peristiwa Saqîfah Banî Sâ’idah), yang tercatat pada akhir bukunya.
Ibnu Hisyâm menulis:
Ibnu Ishâq berkata: ‘Tatkala Rasûl Allâh saw. wafat, kaum Anshâr berkumpul mengelilingi Sa’d bin ‘Ubâdah di Saqîfah Banî Sâ’idah. ‘Alî bin Abî Thâlib, Zubair bin ‘Awwâm dan Thalhah bin ‘Ubaidillâh memisahkan diri di rumah Fâthimah. Kaum Muhâjirîn yang lain berkumpul di sekeliling Abû Bakar dan ‘Umar bersama Usaid bin Hudhair dari Banû ‘Abdul Asyhal. Kemudian seseorang datang kepada Abû Bakar dan ‘Umar, mengatakan bahwa kaum Anshâr telah berkumpul di Saqîfah Banî Sâ’idah mengelilingi Sa’d bin ‘Ubâdah. ‘Dan bila kamu berkehendak memerintah manusia, maka rebutlah sebelum mereka bertindak lebih jauh’.
Dan Rasûl Allâh saw. masih berada di rumahnya. Persiapan pengu¬buran belum selesai, dan keluarga Rasûl Allâh saw. telah mengunci rumahnya.
Sesudah pembukaan ini, Ibnu Hisyâm mengutip tulisan Ibnu Ishâq tentang kesaksian ‘Abdullâh bin ‘Abbâs, dua belas tahun setelah peristiwa Saqîfah. ‘Abdullâh bin ‘Abbâs mendengar langsung pidato ‘Umar di Masjid Nabî di Madînah.
Ibnu Hisyâm melanjutkan:
Ibnu Ishâq menceritakan tentang peristiwa berkumpulnya kaum Anshâr di Saqîfah: ‘Abdullâh bin Abû Bakar menceritakan kepada saya (Ibnu Ishâq), yang diden¬garnya dari Ibnu Syihab az-Zuhrî, dari ‘Ubaidillâh bin ‘Abdullâh bin ‘Utbah bin Mas’ûd, dari ‘Abdullâh bin ‘Abbâs yang berkata:
‘Saya (Ibnu ‘Abbâs ) mendapat kabar dari ‘Abdurrahmân bin ‘Auf. Waktu itu saya berada di tempat menginapnya di Mina. ‘Abdurrahmân bin ‘Auf menyertai ‘Umar dalam perjalanaan haji ‘Umar yang terakhir. Saya (biasa) mengajar mengaji kepadanya, dan sedang menunggunya. Tatkala ‘Abdurrahmân bin ‘Auf pulang, ia berkata kepada saya: ‘Saya ingin kiranya Anda melihat (ketika) seorang pria datang kepada Amîru’l-mu’minîn dan berkata: ‘Wahai, Amîru’l-mu’minîn! Bagaimana pendapat Anda tentang seseorang yang berkata: ‘Demi Allâh, apabila ‘Umar bin Khaththâb meninggal, saya akan membaiat si Anu. Bukankah baiat yang diberikan kepada Abû Bakar adalah suatu kekeliruan karena tergesa-gesa, namun dianggap telah selesai?’
Di sini kita lihat bahwa ada orang yang hendak membaiat seseorang apabila ‘Umar telah meninggal dunia. Laporan ini dicatat oleh hampir semua penulis, tanpa menyebut nama kedua orang itu, kecua¬li Balâdzurî. Ia menyebut Zubair sebagai orang yang berbicara, sedang yang hendak dibaiat adalah ‘Alî bin Abî Thâlib . Catatan Balâdzurî ini diperkuat Ibn Abîl-Hadîd.
Ada pula yang menyebutkan ‘Ammâr bin Yâsir sebagai orang yang hendak membaiat, tetapi hanya ‘Alî saja yang disebut sebagai orang yang hendak dibaiat. Masih mengikuti laporan Ibnu ‘Abbâs .
‘Abdurrahmân bin ‘Auf berkata selanjutnya: ‘Umar lalu marah-marah seraya berkata: ‘Insya Allâh, malam ini saya akan berdiri di hadapan rakyat dan mengingatkan mereka akan orang-orang yang hendak merebut kekuasaan’. ‘Abdurrahmân melanjutkan: Saya berka¬ta: ‘Wahai Amîru’l-mu’minîn, jangan melakukan yang demikian itu. Ini musim haji dan di sini selalu ada rakyat jelata dan kaum jembel, yang merupakan mayoritas. Saya khawatir, apabila Anda berdiri dan berbicara kepada mereka, niscaya mereka akan mengu¬langi kata-kata Anda tanpa memahaminya, dan mereka tidak dapat menafsirkannya dengan tepat. Tunggulah sampai kita tiba di Madînah, karena kota itu adalah kota Sunnah, dan (di sana) Anda dapat berunding dengan para ahli dan pemuka-pemuka masyarakat. Maka katakanlah apa yang hendak Anda sampaikan. Para ahli itu akan paham dan akan menafsirkannya sesuai dengan apa yang akan Anda sampaikan’. ‘Umar lalu menjawab: ‘Demi Allâh, akan saya laksanakan segera setelah saya sampai di Madînah’.
Setelah menyampaikan apa yang didengarnya dari ‘Abdurrahmân bin ‘Auf di Makkah itu, Ibnu ‘Abbâs melanjutkan laporannya secara langsung sebagai saksi mata atas khotbah ‘Umar di Madînah.
Ibnu ‘Abbâs menceritakan: ‘Kami tiba di Madînah pada Akhir bulan Zulhijah. Pada hari Jumat, tatkala matahari mulai condong, saya bergegas ke Masjid. Saya duduk dekat Sa’îd bin Zaid bin Amr yang duduk di dekat mimbar, sehingga lututku bersentuhan dengan lu¬tutnya dan ‘Umar belum juga kelihatan. Dan tatkala saya melihat ‘Umar bin Khaththâb datang, saya berkata pada Sa’îd bin Zaid: ‘Siang ini ia akan mengucapkan sesuatu di atas mimbar ini, suatu ucapan yang tidak pernah diucapkannya sejak ia menjadi khalîfah’. Sa’îd bin Zaid mengingkari apa yang saya katakan dan ia berkata: ‘Apa gerangan yang akan dikatakannya yang belum pernah diucapkannya?’
Setelah ‘Umar duduk di atas mimbar, dan muazin sudah diam, ‘Umar memuji Allâh sebagaimana layaknya, lalu berkata: “Amma ba’du. Hari ini saya hendak mengatakan kepada Anda sekalian, sesuatu yang ditakdirkan Allâh kepada saya untuk menyampaikannya. Dan saya tidak tahu apakah ini merupakan perkataan saya yang terak¬hir. Barangsiapa yang memahaminya dan memperhatikannya, dapatlah ia menyimpan dan membawanya ke mana ia pergi; dan barangsiapa yang merasa takut tidak dapat memahaminya, tidak dapat ia menyangkal bahwa saya telah mengucapkannya...
‘Saya mendengar bahwa seseorang (Zubair, menurut Balâdzurî) telah berkata, ‘Bila ‘Umar meninggal dunia, maka saya akan membaiat si Anu (‘Alî, menurut Balâdzurî). Jangan kalian membiarkan seseorang menipu dirinya sendiri dengan mengatakan bahwa pembaiatan kepada Abû Bakar adalah suatu kekeliruan karena dilakukan tergesa-gesa, (faltah), namun telah selesai. Sebenarnya memang demikian, tetapi Allâh telah melindunginya dari malapetaka. Tiada seorang pun di antara kalian yang lebih dicintai rakyat daripada Abû Bakar. Dan barangsiapa membaiat seseorang tanpa bermusyawarah dengan kaum Muslimîn, maka baiat itu tidak sah, dan keduanya harus dibunuh. Kalimat, “Jangan membiarkan seseorang menipu dirinya sendiri dengan mengatakan bahwa pembaiatan terha¬dap Abû Bakar adalah faltah”, yang diucap¬kan ‘Umar ini menunjukkan bahwa kata-kata tersebut pernah diucap¬kan sebelumnya. Memang, ‘Umar sendiri,menurut Ibnu ‘Abbâs dan ‘Abdurrahmân bin ‘Auf,sebelumnya pernah mengatakan: “Sesungguhnya pembaiatan terhadap Abû Bakar adalah faltah, tetapi Allâh telah menghindarkan malapetaka daripadanya.Dan barangsiapa melakukan hal yang serupa, maka bunuhlah dia”. Abû Bakar sendiri mengakui hal yang sama, dengan kata-kata, “Sesungguhnya baiat terhadapku adalah faltah, tetapi Allâh telah menghindarkan malape¬taka yang diakibatkannya”.
TIGA KELOMPOK
Dari peryataan ‘Umar bin Khaththâb ini jelas bahwa pencalonan Abû Bakar mendapat perlawanan hebat dari kaum Anshâr maupun ‘Alî bin Abî Thâlib serta pengikutnya.
Sesuai dengan peryataan ‘Umar itu, ada tiga kelompok yang muncul ke permukaan, tepat setelah wafatnya Rasûl Allâh saw.:
1.Kelompok pertama terdiri dari ‘Alî bin Abî Thâlib , keluarga Banî Hâsyim dan kawan-kawannya termasuk orang-orang yang sedang berkumpul di rumah Fâthimah, yakni: Salmân al-Fârisî, Abû Dzarr al-Ghifârî, Miqdâd bin Amr, ‘Ammâr bin Yâsir, Zubair bin Awwâm, Khuzaimah bin Tsâbit, ‘Ubay bin Ka’b, Farwah bin ‘Amr, Abû Ayyûb al-Anshârî, ‘Utsmân bin Hunaif, Sahl bin Hunaif, Khâlid bin Sa’îd bin ‘Âsh al-Amawî serta Abû Sufyân, pemimpin Banû ‘Umayyah. Meskipun Abû Sufyân tidak berada di Madînah tatkala Abû Bakar dibaiat di Saqîfah, namun setelah tiba di Madînah beberapa hari kemudian, ia menyatakan dukungannya pada ‘Alî. Calon dari kelompok ini ialah ‘Alî bin Abî Thâlib.
Kedudukan ‘Alî di sisi Rasûl Allâh saw sangat khusus, berbeda dengan seluruh Sahabat yang lain. Pujian Rasûl Allâh saw. terha¬dap ‘Alî barangkali melebihi pujian terhadap seluruh Sahabat lainnya sekaligus. Sejak turunnya ayat Wa andzir asyîrataka’l aqrabîn , Rasûl Allâh saw. telah mengangkat ‘Alî sebagai wazir beliau. Sejak masa kecilnya, ‘Alî dibesarkan dalam asuhan dan pendidikan langsung dari Rasûl Allâh saw.. Dalam bidang ilmu pengetahuan, Rasûl Allâh saw. bersabda, ‘Saya gudang ilmu, dan ‘Alî adalah pintunya’. Rasûl Allâh saw. memandang ‘Alî sebagai saudara penggantinya; kedudukan ‘Alî di sisi Rasûl Allâh saw. seperti kedudukan Hârûn di sisi Mûsâ, hanya saja tiada Nabî sesudah Muhammad saw.. Dalam khotbah Rasûl Allâh saw. di Ghadîr Khum, Rasûl Allâh saw. menyebut ‘Alî sebagai Wali kaum mu’minîn.
‘Alî juga dikimpoikan Rasûl Allâh saw. dengan putri beliau, penghulu kaum wanita sedunia, sayyidâtun-nisâ’ al-âlamin, Fâthimah.
2. Kelompok kedua ialah kelompok kaum Anshâr, yang melakukan pertemuan tersendiri di Saqîfah. ‘Calon’ dari kelompok ini ialah Sa’d bin ‘Ubâdah . Kelompok ini menjadi lemah tatkala sedang berlangsung perdebatan di Saqîfah, karena ‘pembangkangan’ Usaid bin Hudhair, ketua Banû Aws, suku yang menjadi musuh bebuyutan sukunya, suku Khazraj. Seorang ‘pembangkang’ lainnya lagi ialah Basyîr bin Sa’d, saudara misan Sa’d bin ‘Ubâdah sen¬diri. Kedua ‘pembangkang’ ini, sebagai akan kita lihat nanti, memegang peranan terpenting dalam memenangkan Abû Bakar.
Kedudukan Sa’d bin ‘Ubâdah, calon dari kaum Anshâr untuk jabatan khalîfah itu, menonjol. Ia memegang peranan sebagai tokoh utama kaum Anshâr dalam membantu Rasûl Allâh saw., melindungi Rasûl Allâh saw. dari musuh-musuh beliau kaum Quraisy jahiliah Makkah dan kaum munafik, selama sepuluh tahun. Ia turut dalam bai’atul Aqabah sebelum Rasûl Allâh saw. hijrah ke Madînah. Dalam pembukaan Makkah, Sa’d diberi kehormatan oleh Rasûl Allâh saw. sebagai salah satu dari empat orang pembawa panji. Karena sikapnya yang keras terhadap kaum jahiliah Quraisy, Rasûl Allâh saw. memerintahkannya untuk menyerahkan panji itu kepada putranya, Qais bin Sa’d bin ‘Ubâdah. Kehormatan yang diberikan Rasûl Allâh saw. kepada Sa’d bin ‘Ubâdah ini cukup melukiskan betapa besar penghargaan Rasûl Allâh saw. kepada tokoh kaum Anshâr ini.
3. Kelompok ketiga ialah kelompok ‘Umar bin Khaththâb , Abû Bakar dan Abû ‘Ubaidah bin al-Jarrâh . Dapat dimasukkan pula ke dalam kelompok ini Mughîrah bin Syu’bah dan ‘Abdurrah-man bin ‘Auf . ‘Calon’ dari kelompok ini ialah Abû Bakar.
Kedudukan Abû Bakar dan ‘Umar hampir tidak perlu disebut lagi. Abû Bakar termasuk di antara orang-orang yang awal menganut Islam. Bantuan Abû Bakar dan ‘Umar kepada Rasûl Allâh saw. dalam memperjuangkan Islam sangat besar. Rasûl Allâh saw. kimpoi dengan ‘Â’isyah putri Abû Bakar, dan Hafshah putri ‘Umar.
Sebenarnya masih ada kelompok lain, seperti kelompok ‘Utsmân bin ‘Affân beserta anggota-anggota Banû ‘Umayyah, kelompok Banû Zuhrah dengan tokoh-tokohnya Sa’d bin Abî Waqqâsh dan ‘Abdurrahmân bin ‘Auf, namun kita batasi saja pembicaraan pada ketiga kelompok yang disebutkan ‘Umar dalam khotbahnya yang telah dikutipkan di atas.
Untuk memahami pernyataan ‘Umar bahwa ‘kaum Anshâr menentang kami dan melakukan pertemuan dengan tokoh-tokohnya di Saqîfah Banî Sâ’idah, ‘Alî bin Abî Thâlib dan Zubair bin ‘Awwâm serta kawan-kawan mereka memisahkan diri dari kami, sedang kaum Muhâjirîn berkumpul pada Abû Bakar’, diperlukan lagi penjelasan dari sum¬ber-sumber sejarah kita.
Bagaimana, misalnya, sampai kaum Anshâr yang terbesar di wilayah Madînah yang seluas 128 kilometer persegi, dari Bukit Uhud yang sejauh delapan kilometer di sebelah utara Saqîfah, dari Bukit ‘Air yang berjarak delapan kilometer di sebelah selatan, dari al-Harrah asy-Syarqiyyah di sebelah timur, serta al-Harrah al-Gharbiyyah di sebelah barat, yang masing-masingnya berjarak empat kilometer, dapat berkumpul di Saqîfah tepat sesaat setelah wafatnya Rasûl Allâh saw.? Bagaimana Abû Bakar, ‘Umar dan Abû ‘Ubaidah mendapatkan berita tentang pertemuan kaum Anshâr di Saqîfah itu? Sedang berada di mana mereka pada waktu itu? Apa sebabnya ‘keluarga Rasûl Allâh saw. mengunci rumahnya’ dan kawan-kawan ‘Alî, seper¬ti Zubair, berkumpul di rumah ‘Alî? Mengapa maka ‘Alî dan kawan-kawannya tidak ikut ke Saqîfah bersama rombongan Abû Bakar, ‘Umar dan Abû ‘Ubaidah?
Sebelum kita meneruskan pidato ‘Umar, marilah kita ikuti peristiwa munculnya kelompok-kelompok ini untuk merebut ‘kekuasaan’ yang lowong dengan wafatnya Rasûl Allâh saw.
Usaha Rasûl Hadapi Ketiga Kelompok Ini
1.Rasûl Allâh saw. Mengirim Sa’d bin Ubadah, Abû Bakar Serta ‘Umar ke Mu’tah. ‘Alî Dan Pengikutnya Dipertahankan di Madînah.
Sejak pulangnya dari Hajjatu’l Wadâ’, delapan puluh hari menjelang wafatnya, Rasûl Allâh saw. telah bersiap-siap mengirim pasukan untuk memerangi kaum Romawi di Mu’tah di wilayah Suriah, di mana telah terbunuh sepupu Nabî Ja’far bin Abî Thâlib, dan Zaid bin Hâritsah.
Pada hari Senin 4 hari sebelum bulan Safar berakhir pada tahun 11 Hijriah, Rasûl Allâh saw. memerintahkan untuk mempersiapkan pasukan untuk memerangi orang Romawi di Mu’tah. Keesokan harinya Rasûl Allâh memanggil Usâmah bin Zaid bin Hâritsah dan berkata: ‘Pergilah ke tempat terbunuhnya ayahmu dan perangilah mereka dan aku mengangkat engkau sebagai pemimpin pasukan..’.
Dan pada hari Rabu Rasûl Allâh saw. demam dan sakit kepala. Besok, pada pagi hari, Rasûl Allâh saw. menyerahkan panji-panji kepada Usâmah, dengan tangannya sendiri. Dengan membawa panji-panji, pasukan berangkat dan berkemah di Jurf. Dan tidak ada lagi kaum Muhâjirîn yang awal dan kaum Anshâr di Madînah. Semua ikut dengan pasukan Usâmah. Di dalamnya terdapat Abû Bakar Ash-Shiddîq, ‘Umar bin Khaththâb, Abû ‘Ubaidah bin al-Jarrâh, Sa’d bin Abî Waqqâsh, Sa’îd bin Zaid dan lain-lain. Dan orang mulai berkata: ‘Beliau menjadikan orang muda ini sebagai pemimpin kaum Muhâjirîn yang awal!’ Dan Rasûl Allâh saw marah sekali dan beliau lalu keluar dengan melilitkan serban di kepalanya dan menutupi tubuhnya dengan selimut. Beliau naik ke atas mimbar dan bersabda: ‘Telah sampai berita kepadaku bahwa sebagian di antaramu telah mencela pengangkatan Usâmah sebagai pemimpin (pasukan)! Kamu juga dahulu mencela tatkala aku mengangkat ayahnya menjadi pemimpin sebelum ini! Demi Allâh, ia pantas memegang pimpinan sebagaimana ayahnya, yang juga pantas memegang pimpinan’.
Kemudian beliau turun dari mimbar dan kaum Muslimîn yang ikut dalam pasukan Usâmah pergi, berlalu meninggalkan Madînah ke perkemahan pasukan di Jurf. Dan penyakit Rasûl Allâh saw. makin memberat dan beliau bersabda: ‘Percepat pasukan Usâmah!’ Dan pada hari minggu sakit Rasûl Allâh saw. bertambah parah. Usâmah kembali dari kemahnya dan menemui Nabî. Beliau pingsan. Usâmah membungkuk dan menciumnya. Rasûl Allâh saw. tidak berbicara. Usâmah lalu kembali ke perkemahan pasukannya.
Tatkala hari Senin tiba, Usâmah telah berada di Madînah dan Rasûl Allâh saw. telah sadar kembali. Beliau bersabda: ‘Pergilah dengan berkat Allâh!’ Usâmah lalu berangkat ke perkemahan, dan memerintahkan pasukannya untuk berangkat. Tatkala ia baru saja akan menunggangi kudanya, tibalah seorang utusan yang dikirim oleh ibunya yang bernama Ummu Aiman. Utusan itu berkata: ‘Rasûl Allâh sedang menghadapi ajalnya’.Dan Usâmah kembali lagi ke Madînah bersama ‘Umar bin Khaththâb dan Abû ‘Ubaidah dan berhenti di depan rumah Rasûl Allâh. Rasûl Allâh telah wafat tatkala matahari mulai condong, yaitu pada hari Senin tanggal 12 bulan Rabî’ul Awwal.
Rasûl Allâh saw berulang-ulang memerintahkan mereka untuk mem¬percepat keberangkatan pasukan itu, dan melaknat mereka yang meninggalkan pasukan.
Bahwa Abû Bakar termasuk dalam pasukan Usâmah dicatat oleh Ibnu Sa’d dalam Thabaqât al-Kubrâ, jilid 2, hlm. 41; Ibnu ‘Asâkir dalam Târîkh Tahdzîb asy-Syam, jilid 2, hlm. 391; Muttaqî al-Hindî, Kanzu’l-’Ummâl, jilid 5, hlm. 312; Ibnu Atsîr, Târîkh al-Kâmil, jilid 2, hlm. 120. Semuanya menyatakan bahwa Abû Bakar dan ‘Umar termasuk dalam pasukan Usâmah. Karena Rasûl Allâh begitu marah karena memperlambat pasukan Usâmah, dapatlah dipahami adanya usaha “mengeluarkan” Abû Bakar dari keikut sertaannnya dalam pasukan Usâmah dengan riwayat bahwa Abû Bakar menjadi imam tatkala Rasûl Allâh sedang sakit yang akan dibicarakan di bagian.
Tetapi Usâmah sedikitnya tiga kali kembali ke Madînah, karena tidak mendapatkan dukungan dari kaum Muhâjirîn. ‘Umar bin Khaththâb agaknya hampir tidak meniggalkan kota Madînah, terus mengikuti perkembangan Rasûl Allâh saw.. Paling sedikit, pada hari Kamis tanggal 8 Rabî’ul Awwal dan hari wafatnya Rasûl Allâh saw. (12 Rabî’ul Awwal), ‘Umar berada di Masjid Nabî dan bertemu dengan Rasûl Allâh saw.. Abû Bakar, agaknya kembali dari Jurf dan menginap pada sebuah rumahnya yang terletak di Sunh, sekitar satu setengah kilometer ke arah barat Masjid. Paling tidak, Abû Bakar berada di Sunh pada waktu wafatnya Rasûl Allâh saw..
Kaum Anshâr, yang takut akan dominasi kaum Quraisy dari Makkah yang mereka perangi selama sepuluh tahun terakhir, setelah menge¬tahui bahwa Rasûl Allâh saw. telah wafat, segera mengadakan pertemuan di Saqîfah Banî Sâ’idah, yang terletak lima ratus meter di sebelah barat Masjid Madînah.
Ada hal-hal yang menarik dari tindakan Rasûl Allâh saw. ini:
a. Ekspedisi yang dikirim Rasûl Allâh saw. dipimpin oleh seorang remaja yang berusia tujuh belas tahun, dan ekspedisi itu akan memakan waktu lebih dari sebulan.
b. Dalam ekspedisi ini Rasûl Allâh saw. mengirim tokoh-tokoh terkemuka dari kaum Anshâr dan Muhâjirîn, termasuk ‘calon’ dari kaum Anshâr, Sa’d bin ‘Ubâdah, dan ‘calon’ lain, yaitu Abû Bakar.
c. Rasûl Allâh saw. mempertahankan di Madînah ‘Alî bin Abî Thâlib, ‘calon’ yang termuda. Pada waktu itu ‘Alî berusia tidak lebih dari 34 tahun.
Tatkala Rasûl Allâh saw. mengirim pasukan ini, beliau berkhotbah:
‘Saudara-saudara, percepatlah keberangkatan pasukan Usâmah ini. Demi hidupku, kalau kamu telah berbicara tentang kepemimpinannya, tentang kepemimpinan ayahnya dahulu pun kamu telah berbicara. Dia sudah pantas memegang pimpinan’. Sete¬lah berhenti sebentar, beliau melanjutkan: ‘Seorang hamba Allâh telah disuruh-Nya memilih antara hidup di dunia ini atau di sisi-Nya, maka ia memilih kembali ke sisi-Nya’
Pada waktu itu Abû Bakar menangis, karena ia mengetahui bahwa yang dimaksud Rasûl Allâh saw. itu ialah diri beliau sendiri.
Banyak ulama berpendapat bahwa tindakan Rasûl Allâh saw. mengirim pasukan ini ke Suriah ialah untuk memudahkan Rasûl Allâh saw. mengangkat ‘Alî bin Abî Thâlib menjadi pengganti beliau.
2. Rasûl Allâh saw. Hendak Membuat Surat Wasiat, Tetapi Dihalangi ‘Umar bin Khaththâb. Hari Kamis Kelabu.
Demam Rasûl Allâh saw timbul secara berkala. Pada hari Kamis tanggal 8 Rabî’ul Awwal, Rasûl Allâh saw diserang demam. Beliau memerintahkan agar mengambil kertas dan tinta, untuk membuat surat wasiat, agar umat beliau tidak akan tersesat untuk selama-lamanya. ‘Umar yang hadir pada waktu itu, menghalangi maksud beliau dan mengatakan bahwa Rasûl Allâh saw sedang mengigau.
Terjadilah pertengkaran antara keluarga Rasûl Allâh saw yang berada di belakang tirai, yang menghendaki agar ‘Umar memenuhi perintah Rasûl Allâh saw.. Hadis Sa’îd bin Jubair dari Ibnu ‘Abbâs yang berkata “Hari Kamis aduh hari Kamis!” Kemudian air matanya mengalir di kedua pipinya seperti untaian mutiara. Ibnu ‘Abbâs melan¬jutkan: ‘Rasûl Allâh bersabda: ‘Bawa-kan kepadaku tulang belikat (katf, kitf, katif, waktu itu dipakai sebagai kertas) dan tinta aku akan menuliskan bagimu surat agar kamu tidak akan pernah tersesat sesudahku untuk selama-lamanya!” Dan mereka menjawab: “Rasûl Allâh sedang mengigau!”
Bukhârî mencatat dalam Bab Jawa’iz al-Wafd dari Jubair dari Ibnu ‘Abbâs : ‘Hari Kamis, aduh hari Kamis!” Kemudian ia menangis sehingga air matanya menetes ke kerikil. Ia lalu berkata: ‘Sakit Rasûl Allâh makin memberat pada hari Kamis, dan beliau berseru: ‘Ambilkan kertas akan kutulis bagi kamu surat, agar kamu tidak akan tersesat sesudahnya untuk selama-lamanya!’ Dan mereka bertengkar (tanâ¬za’û) dan tidaklah pantas bertengkar di depan Nabî. Mereka berka¬ta: ‘Rasûl Allâh sedang mengigau!(hajara, yahjuru)..
Dan beliau mewasiatkan menjelang wafatnya: “Keluarkan kaum musyr¬ikin dari Jazirah Arab dan beri hadiah kepada utusan sebagaimana aku lakukan!’. Dan aku lupa yang ketiga”
Bukhârî dan Muslim yang berasal dari Ibnu ‘Abbâs : “Menjelang wafatnya Nabî, di rumahnya berada beberapa orang di antaranya ‘Umar bin Khaththâb. Beliau bersabda: ‘Biarkan (halumma) kutulis¬kan untuk kamu surat, agar kamu tidak pernah akan tersesat sesu¬dahnya!’ ‘Umar menjawab: ‘Nabî telah dikuasai sakit dan ada padamu al-Qur’ân maka cukuplah Kitâb Allâh!’. Dan keluarga Rasûl berselisih pendapat (dengan ‘Umar) dan mereka bertengkar. Dan di antaranya ada yang berkata: ‘Kamu bawakanlah! Biar beliau menuliskan untukmu surat yang tidak akan pernah membuat kamu tersesat sesudahnya!’ Dan di antara mereka ada yang berkata seperti dika¬takan ‘Umar. Dan tatkala ucapan-ucapan dan perselisihan makin menjadi-jadi, beliau bersabda: “Pergilah kamu dari sini!” .
Dan diriwayatkan oleh Imâm Ahmad dari Jâbir: ‘Bahwa Nabî meminta lembaran (shahîfah) menjelang ajalnya, agar beliau dapat menuliskan surat supaya orang-orang tidak pernah akan tersesat sesudahnya, dan ‘Umar menentangnya (khâlafa), bahkan menolaknya’ .
Riwayat Ibn Abîl-Hadîd yang berasal dari Jauharî: “Dan tatkala pertentangan dan suara makin bertambah tak menentu, Rasûl Allâh marah dan berseru: ‘Pergilah dari sini! Tidaklah pantas bertengkar demikian di depan Nabî! Maka keluarlah!”’
Imâm Ahmad meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbâs :”Tatkala menjelang ajaln¬ya, Rasûl Allâh saw. bersabda: ‘Ambilkan tulang belikat akan kutuliskan kepadamu tulisan sehingga tidak akan berselisih dua orang sesudahnya.Maka orang-orang mulai ribut. Dan seorang wanita berkata: ‘Celaka kamu!’.
Muttaqî al-Hindî berkata dalam Kanzu’l-’Ummâl dari Ibnu Sa’d dengan sanad yang berasal dari ‘Umar yang berkata: “Kami berada dirumah Nabî dan di antara kami dan kaum wanita terdapat hijâb: Maka Rasûl Allâh bersabda: ‘Basuhi diriku dengan tujuh kantong air (qirâb, kantong yang terbuat dari kulit, pen.) dan ambilkan lembaran dan tinta agar aku menuliskan untuk kamu surat supaya kamu tidak akan pernah tersesat sesudahnya untuk selama-lamanya!’ Dan berkatalah kaum wanita: ‘Penuhi keinginan Rasûl Allâh!’ Dan aku berkata: ‘Diam kamu! Bila ia sakit kamu menangis! Tapi bila ia sehat kamu pegang tengkuknya!’ Maka Rasûl Allâh saw. bersabda: ‘Mereka lebih baik dari kamu!’
Akhirnya permintaan Rasûl Allâh saw. tidak terpenuhi. ‘Umar kemudian mengakui bahwa Rasûl Allâh saw. ingin membuat wasiat untuk ‘Alî sebagai penggantinya, tetapi ia menghalanginya.
Dalam khotbah Jum’at ‘Umar bin Khaththâb yang terkenal itu, ‘Umar tidak menceritakan perdebatan yang terjadi di Saqîfah sebelum kedatangannya bersama Abû Bakar. Agar lebih mudah memahami perdebatan yang terjadi kemudian, marilah kita ikuti peristiwa ini sebagimana dituturkan oleh al-Jauharî dalam bukunya Saqîfah, dari isnâd yang lengkap sampai kepada Sa’îd bin Katsîr bin ‘Afir al-Anshârî, yang berkata :Ketika Nabî saw. wafat, berkumpullah kaum Anshâr di Saqîfah Banî Sâ’idah. Dan mereka berkata: ‘Sesungguhnya Rasûl Allâh saw. telah wafat’. Berkatalah Sa’d bin ‘Ubâdah kepada anaknya yang bernama Qais, atau kepada salah seorang anaknya: ‘Saya tidak sanggup memperden¬garkan suara saya kepada semua orang, karena saya sedang sakit; tetapi engkau dapat mendengar suara saya; maka ulangilah suara saya agar mereka dapat mendengar’.
Sa’d lalu berbicara, dan didengarkan oleh anaknya, yang mengulanginya dengan suara yang keras. Sebagian dari pidatonya, sesudah mengucapkan puji-pujian kepada Allâh SWT, ialah: ‘Sesungguhnya kamu adalah di antara orang-orang yang terdahulu dan mempunyai kemuliaan dalam Islam; tiada orang Arab yang lebih mulia dari kamu. Rasûl Allâh saw. telah tinggal di tengah kaumnya (orang Quraisy) di Makkah lebih dari sepuluh tahun, mengajak mereka menyembah Allâh Yang Maha Penyayang dan meninggalkan penyembahan berhala.
Tetapi tiada yang mengakui beliau, kecuali beberapa orang. Demi Allâh, mereka tidak bisa melindungi Rasûl Allâh dan tidak dapat memuliakan agamanya; mereka tidak dapat membela Rasûl dari musuh beliau, sampai Allâh menghendaki kalian mendapatkan kemuliaan yang sebaik-baiknya, memberikan kehormatan kepada kalian dan mengkhususkan kalian dalam agamanya, dan kepada kalian diberikan keimanan dan Rasûl-Nya, memperkuat agama beliau dan berjihad melawan musuh-musuh beliau.
Kamulah orang yang paling keras melawan para penyeleweng agama, dan kamulah yang memuliakan Islam dalam melawan musuh-musuhnya dibandingkan dengan yang lain, sehingga mereka mengikuti perintah Allâh, sebagian karena kepatuhan dan sebagian lagi karena terpaksa. Dan kepadamu diberikan-Nya kemampuan, sehingga orang-orang yang jauh tunduk kepada kepemimpinanmu, sampai Allâh SWT memenuhi janji-Nya kepada Nabî-Nya. Maka tunduklah seluruh bangsa Arab karena pedangmu. Dan Allâh SWT mengambil Nabî-Nya. Beliau rela dan puas akan kalian, lahir maupun batin. Maka gen¬ggamlah kuat-kuat kekuasaan ini’.
Maka menjawablah kaum Anshâr bersama-sama: ‘Sungguh tepat pendapat Anda, dan sungguh benar perkataan Anda; kami tidak akan melanggar apa yang Anda perintahkan, akan kami angkat Anda seba¬gai pemimpin. Kami puas akan Anda. Dan kaum mu’minîn yang saleh akan menyenangi.
Kemudian mereka saling bertukar kata. Dan sebagian di antara mereka berkata: ‘Bagaimana apabila kaum Muhâjirîn menolak dan berkata, ‘Kami adalah kaum Muhâjirîn dan Sahabat-sahabat Rasûl saw. yang pertama, kami adalah keluarganya (‘asyîratuhu) dan wali-walinya (auliya’uhu), maka mengapa kamu hendak bertengkar dengan kami mengenai kepemimpinan sesudah Rasûl?’ Maka sebagian di antara mereka berkata: ‘Kalau demikian, maka kita akan menjawab: ‘Seorang pemimpin dari kami, dan seorang pemimpin dari kamu,’ (minna Amîr wa minkum Amîr). Selain begini, kita sama sekali tidak akan rela. Kita adalah pemberi perumahan dan pelin¬dung (iwa’) dan penolong (nushrah), dan mereka melakukan hijrah. Kita berpegang kepada Al-Qur’ân sebagaimana mereka. Apa pun alasan yang mereka ajukan, kita akan mengajukan dalil yang sama. Kita tidak hendak memonopoli kekuasaan terhadap mereka, maka bagi kita harus ada seorang pemimpin dan bagi mereka seorang pemimpin’. Maka berkatalah Sa’d bin ‘Ubâdah: ‘Inilah awal kelemahan!’ Demikianlah kesaksian Sa’îd bin Katsîr bin ‘Afir al-Anshârî, yang dicatat oleh al-Jauharî dalam bukunya Saqîfah.
Al-Jauharî selanjutnya mengatakan: ‘Maka kabar ini sampai kepada ‘Umar, yang kemudian pergi ke rumah Rasûl Allâh saw.. Ia menda¬patkan Abû Bakar di dalam rumah (Rasûl), sementara ‘Alî sedang mengurus jenazah Rasûl Allâh. Yang menyampaikan berita itu kepada ‘Umar adalah Ma’n bin ‘Adî (seorang Anshâr, pen) yang memegang tangan ‘Umar lalu berkata: ‘Ayolah!’ (Qum! = Mari kita pergi!). ‘Umar berkata, ‘Saya sedang sibuk’. Ma’n berkata lagi, ‘Tidak bisa tidak, Anda harus pergi bersama saya’. Maka ‘Umar pun pergi bersama Ma’n, lalu Ma’n berkata: `Sesungguhnya kaum Anshâr telah berkumpul di Saqîfah Banî Sâ’idah, bersama mereka terdapat Sa’d bin ‘Ubâdah; mereka mengelilinginya dan berkata: ‘Anda, hai Sa’d, Anda adalah harapan kami. Di antaranya terdapat para pemuka mereka, dan saya khawatir akan timbulnya fitnah. Lihatlah, wahai ‘Umar, bagaimana pendapat Anda? Beritahukan kepada saudara-saudara Anda kaum Muhâjirîn, pilihlah seorang pemimpin di antara Anda sekalian. Saya sendiri melihat pintu fitnah sudah terbuka pada saat ini, kecuali apabila Allâh hendak menutupnya’.
Maka ‘Umar sangatlah terkejut mendengar hal ini, sehingga ia datang kepada Abû Bakar, dan berkata, ‘Marilah kita pergi!’ Abû Bakar menjawab, ‘Hendak ke mana? Tidak, saya tidak akan pergi sebelum menguburkan Rasûl Allâh. Saya sedang sibuk’. ‘Umar lalu berkata lagi: ‘Tidak bisa tidak, Anda harus ikut saya. Nanti kita kemba¬li, insya Allâh’. Maka Abû Bakar pun pergi bersama ‘Umar’.
Dari pertemuan kaum Anshâr di Saqîfah ini, terlihat dengan jelas bahwa kaum Anshâr hendak membaiat Sa’d bin ‘Ubâdah menjadi pemim¬pin kaum mu’minîn; terlihat juga kekhawatiran mereka akan domina¬si kaum Quraisy Makkah yang telah mereka perangi selama sepuluh tahun terakhir. Kedudukan mereka yang mayoritas, sebagai pelin¬dung dan penolong Rasûl dan kaum Muhâjirîn, prestasi mereka dalam mengembangkan Islam yang maju pesat di tangan mereka, dan kegaga¬lan kaum Quraisy di Makkah, menjadi pendorong bagi mereka untuk melanjutkan peranan sebagai mesin untuk mengembangkan Islam.
Mengenai kepemimpinan umat, terdapat perbedaan pendapat. Sa’d bin ‘Ubâdah berpendapat bahwa pemimpin haruslah dari kaum Anshâr. Sebagian lagi berpendapat, andai kata kaum Quraisy menolak dengan alasan bahwa mereka adalah sahabat dan keluarga dekat Rasûl, maka mereka akan membiarkan kaum Muhâjirîn mengangkat seorang pemimpin mereka sendiri. Sa’d tidak setuju dengan pendapat ini, dan menganggapnya sebagai awal kelemahan. Meskipun Sa’d bin ‘Ubâdah, sebagai seorang pemimpin Anshâr menyadari bahwa mem¬biarkan kaum Muhâjirîn mengangkat seorang pemimpin di antara mereka sendiri tidak rasional, merupakan kemunduran dan awal kelemahan, namun selanjutnya ia tidak bersi¬keras dengan pendapatnya. Sikap ini menunjukkan kesediaan hadirin bermujadalah dengan kaum Muhâjirîn dan membuka kemungkinan pem¬bentukan pemerintahan koalisi.