Jumat, 01 Januari 2010
Taqlid dan Ijtihad
Diposting oleh
Levi Yamani
di
06.29
Taqlid dan Ijtihad (1)
Secara global, menjalankan praktik-praktik ubudiyah, fiqih dan hukum Islam, seseorang bisa memilih taqlid atau ijtihad. Taqlid adalah menjalankan hal-hal tersebut dengan berdasarkan pada fatwa marja’. Ijtihad adalah menjalankan hal-hal tersebut berdasarkan perolehannya dari sumber-sumber syari’at/hukum.
Soal:
Apakah muqolid itu?
Jawab:
Muqolib adalah orang yang bertaqlid.
Soal:
Apakah mujtahid itu?
Jawab:
Mujtahid adalah orang yang berijtihad.
Soal:
Apakah marja’ itu?
Jawab:
Marja’ adalah seorang mujtahid yang telah memenuhi syarat-syarat marja’iyyah.
Soal: Apakah syarat-syarat marja’iyyah?
Jawab:
Syarat-syarat marja’iyyah adalah mujtahid, adil, wara’ dalam agama Allah, tidak rakus dengan dunia kedudukan dan harta. Dalam hadis disebutkan, "Barangsiapa di antara para fuqaha (mujtahid) terdapat seorang faqih yang mengawasi dirinya, menjaga agamanya, tidak mengikuti hawa nafsunya dan menaati perintah Allah, maka orang-orang awam wajib mentaqlidinya." (Tahrir al-Washilah hal.3 jil.I).
Soal:
Wajibkah orang awam bertaqlid dalam masalah-masalah ubudiyah (fiqih)?
Jawab:
Wajib menurut akal-urfi dan teks syari’at.
Soal:
Apakah boleh bertaqlid kepada mujtahid yang berada di luar negeri?
Jawab:
Bertaqlid dalam masalah syari’at (fiqih) kepada mujtahid yang telah memenuhi syarat-syarat marja’iyyah tidak disyaratkan berada pada suatu negeri dengan muqolidnya.
Taqlid dan Ijtihad (2)
Soal:
Apakah diperbolehkan ber-taqlid kepada seorang yang bukan marja’ dan tidak mempunyai Risalah Amaliah (buku kumpulan fatwa seorang Mujtahid)?
Jawab:
Jika menurut orang yang ber-taqlid terbukti bahwa dia mujtahid yang telah memenuhi syarat, maka tidak ada masalah (ber-taqlid kepadanya).
Soal:
Sebagian orang yang tidak memiliki informasi yang memadai ketika ditanya tentang siapakah marja’-nya? Mereka menjawab, "Kami tidak tahu." Atau mereka mengatakan, "Marja’ kami adalah fulan." Namun mereka tidak merasa perlu untuk merujuk dan mengamalkan risalah amaliah-nya, bagaimana hukum perbuatan mereka ?
Jawab: Jika perbuatan-perbuatan mereka sesuai dengan ikhtiat atau hukum yang sebenarnya (waqi’) atau fatwa Mujtahid yang harus diikuti, maka perbuatan-perbuatan mereka itu sah.
Soal:
Apakah boleh ber-taqlid kepada (Mujtahid) yang telah wafat secara langsung?
Jawab:
Untuk ber-taqlid kepada Mujtahid yang sudah wafat secara langsung hendaknya mengikuti (ketentuan) Mujtahid a’lam yang masih hidup.
Soal:
Bagaimana caranya memilih marja’ dan memperoleh fatwanya ?
Jawab:
Memperoleh (bukti) ke-mujtahid-an atau ke-a’lam-an marja’ adalah dengan mengujinya atau dengan memperoleh informasi yang pasti walaupun dengan berita yang menyebar atau dengan kemantapan jiwa atau dengan kesaksian dua orang adil dari para ahli (fiqih). Dan untuk mendapatkan fatwa marja’ dengan mendengar (secara langsung) darinya, atau dengan kutipan dari orang yang adil atau dengan kutipan orang yang perkataannya dapat dipercaya atau merujuk ke risalah amaliah-nya yang terjamin dari kesalahan.
Taqlid dan Ijtihad (3)
Soal:
Apakah boleh berpindah dari Mujtahid A’lam (lebih alim) dalam masalah-masalah kontemporer karena dia tidak dapat (mempunyai) fatwa tentangnya dari dalil-dalil yang terperinci ?
Jawab:
Jika mukallaf hendak berhati-hati dalam masalah itu atau tidak dapat (berhati-hati) dan dia mendapatkan seorang mujtahid lain yang a’lam dalam masalah itu, maka dia wajib berpindah dan ber-taqlid kepadanya.
Soal: Apakah untuk berpindah dari fatwa-fatwa Imam Khomeini r.a. harus merujuk kepada fatwa mujtahid yang diminta darinya izin untuk tetap ber-taqlid kepada mujtahid yang telah wafat ? Ataukah boleh merujuk kepada mujtahid yang lain ?
Jawab:
Berpindah taqlid tidak membutuhkan (meminta) izin, tetapi boleh pindah kepada mujtahid yang memenuhi syarat-syarat sahnya taqlid.
Soal:
Orang yang ber-taqlid kepada Imam Khomeini r.a. dan (sampai sekarang) tetap ber-taqlid kepadanya, apakah diperbolehkan merujuk kepada selainnya dalam suatu masalah tertentu, seperti tidak menganggap kota Teheran termasuk kota besar ?*)
Jawab:
Boleh. Akan tetapi, sebaiknya tidak meninggalkan kehati-hatian untuk tetap ber-taqlid kepada Imam Khomeini, kalau dia melihatnya lebih a’lam dari mujtahid-mujtahid yang hidup.
*) Imam Khomeini r.a. membagi kota pada dua kategori : besar dan tidak besar. Kota besar seperti Teheran, Jakarta, dan lain-lain mempunyai ketentuan-ketentuan fatwa tersendiri sehubungan dengan safar.
Soal:
Saya sampai pada usia akil baligh pada saat Imam Khomeini masih hidup dan saya ber-taqlid kepadanya dalam beberapa masalah. Namun masalah taqlid bagi saya (waktu itu) belum jelas, maka apakah kewajiban saya sekarang ?
Jawab:
Jika Anda melakukan perbuatan-perbuatan ritual dan lainnya pada saat Imam Khomeini hidup itu sesuai dengan fatwa-fatwanya dan ber-taqlid kepadanya, meskipun pada beberapa masalah saja, maka Anda boleh tetap bertaqlid kepadanya dalam semua masalah.
Wilayat Al-Faqih
Soal: Apakah keyakinan terhadap prinsip wilayat al-faqih, baik dari sisi konseptual maupun aktual, merupakan masalah rasional (aqli) ataukah masalah tekstual (syar’i)?
Jawab: Sesungguhnya wilayat al-faqih yang berarti kekuasaan seorang faqih yang adil dan mumpuni (handal) dalam masalah agama adalah masalah syar’i ta’abudi yang didukung oleh akal.
Soal: Apakah hukum syariat itu bisa berubah dan invalid (tidak berlaku) jika wali al-faqih memberikan keputusan yang bertentangan dengan (hukum syariat) karena tuntutan kemaslahatan umum Islam dan kaum Muslimin ?
Jawab: Tergantung situasi yang beragam.
Soal: Apakah orang yang tidak meyakini wilayat al-faqih yang mutlak dianggap Muslim ?
Jawab: Tidak meyakini wilayat al-faqih yang mutlak karena hasil ijtihad ataupun karena taqlid, pada masa ghaibnya Imam Al-Mahdi (nyawa kami adalah tebusannya), tidak menyebabkan murtad dan keluar dari Islam.
Soal: Apakah wali al-faqih memiliki wilayah takwiniyyah yang dengannya dia dapat menghapus hukum-hukum agama karena adanya maslahat umum ?
Jawab: Sepeninggal Rasulullah Saww tidak boleh menghapus hukum-hukum syariat Islam. Adapun perubahan obyek hukum atau adanya darurat ataupun adanya kendala yang temporer untuk melaksanakan hukum, maka itu bukan penghapusan hukum. Wilayah takwiniyyah, menurut pendapat yang meyakininya, khusus untuk Para Ma’shumin as.
Soal: Apa sikap kita terhadap orang-orang yang tidak meyakini otoritas seorang faqih yang adil kecuali dalam urusan-urusan yang hasbiyah * saja ? Perlu diketahui bahwa wakil-wakil mereka menyebarkan hal itu.
Jawab: Otoritas (Wilayah) faqih dalam memimpin masyarakat dan mengatur urusan-urusan sosial di setiap zaman merupakan rukun mazhab Syi’ah Itsna ‘Asyariyyah. Masalah ini mempunyai akar dalam prinsip Imamah. Jika seseorang mempunyai dalil untuk tidak meyakininya, maka dia ma’dzur (beralasan), tetapi dia tidak boleh menyebarkan perpecahan dan perselisihan.
*) Urusan-urusan Hasbiyah adalah urusan-urusan kifayah yang harus dijalankan dan memerlukan izin hakim (penguasa) syar’i selain amar makruf nahi munkar (Al-Ishtilahat fi Rasail ‘Amaliyyah, hal.42).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)