Kamis, 31 Desember 2009

konsep para filosof tentang manusia


Konsep Para Filsuf tentang Manusia

A. KONSEP ARISTOTELES ANIMAL RATIONALE
Manusia adalah “animal rationale”.Karena, menurutnya, ada tahap perkembangan:
Benda mati -> tumbuhan -> binatang -> manusia.
Tumbuhan = benda mati + hidup —-> tumbuhan memiliki jiwa hidup.
Binatang = benda mati + hidup + perasaan —-> binatang memiliki jiwa perasaan. Manusia = benda mati + hidup + akal —-> manusia memiliki jiwa rasional.

Materi (“Hyle”, “matter”) seakan-akan menyediakan “kemungkinan” (Yunani: “dynamis”, Latin: “potentia”) untuk pengejawantahan bentuk dalam setiap individu dengan cara yang berbeda-beda. Bentuk dalam hal makhluk hidup diberi nama “jiwa” (Yunani: “psyche”, Latin: “anima”), yang berlaku sama saja untuk tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia. Hanya jiwa manusia yang mempunyai kedudukan istimewa, karena manusia berkat jiwanya yang khas itu tidak hanya sanggup “mengamati” dunia di sekitar secara inderawi, tetapi sanggup juga “mengerti” dunia maupun dirinya. Di samping itu adalah karena jiwa manusia dilengkapi “nous” (Latin: “ratio” atau “intellectus”) yang menerima, dan malahan mengucapkan “logos” (sabda, pengertian) yang pada gilirannya menjelma dalam sabda-sabda “jasmani” yang diberi nama bahasa.

Manusia adalah makhluk yang berakal budi. Dengan akal budi itulah ia dapat berpikir dan mengambil tindakan.

Manusia adalah makhluk yang rasional. Puncak perbuatan kesusilaan manusia terletak dalam “pikiran murni”. Kebahagiaan mnausia yang tertinggi adalah “berpikir murni”. Tetapi, puncak itu hanya dapat dicapai oleh para Dewa. Manusia hanya dapat mencoba mendekatinya dengan mengatur keinginannya.

Manusia itu bukan serigala, melainkan ia adalah makluk yang berpikir ( animal rationale). Artinya, dengan pikirannya ia mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk dalam tindakannya. Dengan pikirannya pula, ia bisa mengatasi naluri kebinatangannya dan bertindak lebih menusiawi. Berbekalkan akal budinya aksinya bukan hanya merupakan actus hominis dalam arti gerakan-gerakan yang hanya dikuasai oleh hukum-hukum biologis, melainkan merupakan actus humanus dalam arti tindakannya sarat dengan pertimbangan-pertimbangan nilai.

B. TEILHARDIN de CHARDIN MENJELASKAN MANUSIA SAMPAI PADA CO- REFLEXSION

Chardin menggali sejarah manusia purbakala dan berhasil membuktikan bahwa proses evolusi berjalan dengan empat tahap. Ditentukan juga bahwa seluruh alam semesta terisi dengan kekuatan Allah, yang menyusun kekacauan dunia menjadi lebih teratur

Teori ini sesuai dengan kisah Kejadian dari Kitab Suci. Dikatakan oleh Teilhard de Chardin bahwa seluruh evolusi berjalan dalam dengan kekuatan Ilahi tahap demi tahap dengan empat tahap. Sesudah setiap tahap terjadi loncatan karena proses evolusi tidak berjalan lurus.

Pada tahap pertama hanya ada zat anorganik yang terdiri dari zat dan benda mati, seperti garam dan logam. Zat anorganik ini menjadi semakin kompleks dan tersusun banyak kombinasi bahan anorganik seperti garam susunan baru.

Pada suatu saat terjadi loncatan tingkat kalau susunanan organik diteruskan menjadi susunan organik. Molekul-molekul anorganik menyusun sel yang hidup dan bisa berkembang biak. Dunia organik yang serba baru dan berbeda mulai juga berkembang dan menjadi semakin kompleks.

Pada permulaan ada makhluk hidup yang paling sederhana sebagai tumbuhan, yang semakin berkembang menjadi tumbuhan yang makan seranga, dsb. Tumbuhan berkembang menjadi binatang sederhana, yang semakin kompleks dan akhirnya menjadi binatang menyusui dengan DNA yang khas bagi setiap individu.

Sesudah peningkatan dunia anorganik menjadi dunia organic terdapat loncatan baru kalau binatang menyusui menjadi manusia. Pada saat itu binatang menyusui mendapat kesadaran rohani dan tangung-jawab dan bisa mengenal diri sendiri. Pada tahap evolusi ini mulai juga berkembang sifat-empati yang manusiawi.

Pada tingkat kebinatangan sudah ada yang dinamakan instink, tetapi binatang tidak sadar memiliki instink. Manusia menyadari instink ini dan menikmati empati. Dengan rasa empati bisa disadari perasaan orang lain. Manusia bisa bergaul dengan sesama manusia dari hati ke hati.

Pada tahap ketiga ini dari evolusi terjadi manusia sebagai makhluk yang bisa mengenal diri sebagai ciptaan Tuhan dan mengenal Tuhan juga dari hati ke hati. Pengalaman Tuhan ini tidak masuk akal, tetapi hanya bisa ditangkap secara empatis dengan isi hatinya

Menurut Teilhard tahap manusiawi ini belum lengkap juga dan proses evolusi jalan terus dengan meloncat ke tahap keempat sehingga menjadi manusia ilahi

Intuisi berarti pengertian yang menembus kedalam keadaan, dan berasal dari istilah Latin, “intueri”, melihat kedalamnya. Empati lebih bersifat ikut merasakan perasaan orang lain. Simpati merumuskan perasaan yang sama antara dua orang. baik Allah maupun manusia.

Manusia inilah yang boleh dinamakan manusia yang sepenuhnya segambaran dengan Allah. Kristus yang sebagai manusia bisa bangkit dari maut kematian merupakan titik akhir dari proses evolusi. Dengan titik evolusi Kristus ini setiap manusia bisa menikmati gambaran Tuhan sepenuhnya sebagai “alter-Christus”, sebagai seorang Kristus yang lain. Permulaan proses evolusi sebagai dunia anorganik oleh Teilhard dinamakan titik Alfa dan puncak evolusi sebagai manusia yang bangkit bersama Kristus disebut titik Omega. Maka proses evolusi menurut Teilhard berjalan dari titik Alfa ke titik Omega. Pada titik Omega kekuatan empatis memuncak dan menjadi pengetahuan yang bisa mengatasi keterbatasan panca indera dan akal dan bisa “melihat” sesama dan Tuhan dari hati ke hati.

Menurut Teilhard dari saat permulaan semuanya dialam semesta sudah dijiwai oleh kehidupan ilahi dan diinspirasi oleh Tuhan, sebab dari permulaan ciptaan yang masih gelap dan kosong sudah digerakkan oleh hidup ilahi. Sebab kalau tidak didorong dari dalam bagaimana bisa berjalan proses evolusi? Kalau tidak bagaimana garam atau zat besi, mangan, carbon, dsb bisa menjadi bahan kehidupan manusia dan bisa diasimilasi dalam darah manusia? Kalau saya tidak makan garam, langsung pingsan dan sembahyangpun tidak bisa. Dan, bagaimana manusia bisa bangkit seperti Kristus kalau dari permulaan belum ada bibit ilahi. Tetapi, baru pada tahap manusia Ilahi kekuatan Allah sebagai pengalaman Tuhan dan empati Ilahi bisa memuncak. Baru manusialah yang bisa menyadari kehidupan ilahi dalam dirinya sendiri dan mengalami cinta-kasih Allah secara empatis. Maka, empati ada sangkut paut dengan pengalaman Tuhan. Dunia ilmu pengetahuan mengembangkan empati global Selain teori evolusi dunia ilmu pengetahuan lain juga menyambung persoalan ciptaan bumi langit.

Menurut Teilhard, evolusi tidak maju secara mekanistis, tidak hanya karena seleksi dan mutasi, melainkan atas dasar kesadaran yang makin berkembang. Ia membedakan dalam setiap benda dua segi yang saling berjalin, yaitu segi luar dan segi dalam. Yang dimaksudkan dengan segi luar ialah seluruh struktur benda sejauh dapat diukur, diperiksa secara fisika-kimia. Yang dimaksudkan dengan segi luar ialah konsentrasi psikis, inti kecendrungan dari benda itu dan factor penyatuan. Konsentrasi psikis itu disebutnya “kesadaran”

Kesadaran tampak paling jelas dalam diri manusia, namun ada juga dalam binatang sebagai naluri dan perasaan, dalam tumbuh-tumbuhan sebagai hidup vegetatif. Sedangkan dalam “benda mati”, kesadaran itu menjadi tipis. Segi luar dan segi dalam tidak merupakan dua bagian yang berlainan dalam satu benda, melainkan dua sudut, dua wajah dari kenyataan yang sama, sehingga tidak dapat dipisahkan.jadi, benda bukanlah semacam kumpulan atom-atom yang berjajaran secara mekanis saja, melainkan merupakan kesatuan atom-atom dan molekul-molekul dengan daya inovasi (ingeniosite) dan kecendrungan tertentu. Kecendrungan, kesadaran itu adalah kunci evolusi.

Makin kompleks, makin kaya segi luar, yaitu kumpulan, kombinasi molekul-molekul dalam suatu benda, makin padat dan kuat segi batinnya. Evolusi menuju struktur benda yang makin sempurna adalah sekaligus evolusi menuju kesadaran batin yang makin memusat. Sampai pada suatu saat, terjadilah loncatan yang maha penting dalam proses alam semesta, yaitu meningkatkan kesadaran naluriah menjadi kesadaran reflektif, kesadaran diri dalam jiwa manusia. Makin manusia sadar akan diri sendiri, dapat berkata “aku”, bisa merenungkan masa lampau dan merencanakan masa depan, bisa mengambil kesimpulan. Fase seperti ini terutama terasa dalam masa remaja. Para remaja mulai menginsafi perbedaan dengan orang tua, kakak-adik, teman-teman, menjaga jarak dari mereka dan sekaligus berusaha mengatur pergaulan dengan merekan secara baru untuk menjadi diri sendiri. Penjelmaan tidak hanya merupakan hasil proses biologis seperti kentara dalam perkembangan dan diferensiasi otak. Penjelasan biologis hanya menyelami segi luar manusia (yang bisa diukur dan diperiksa), sedangkan perbedaan hakiki dari binatang tidak dimengerti. Menurut paham ini Teilhard, merumuskan hukum evolusi (loi de complexite et de conscience): makin kompleks benda, makin besar konsentrasi batin. Ditambahkannya, makin padat konsentrasi batin-kesadaran, makin bebas, makin merdeka.

C. TESIS PARA FILSUF TENTANG MANUSIA

1. John Wild

Ia mengawali uraiannya tentang manusia dengan menunjukkan hakekat rangkap yang dipunyai manusia. Apabila orang memperhatikan dirinya sendiri atau manusia lain, ia akan menyadari terdapat segi fisik dan segi yang tidak bersifat material, yang bersifat akali. Manusia makhluk yang bersifat material, terbukti dari keadaan dirinya yang terkena oleh perubahan dan individuasi. Selain dari itu, manusia, individu, mempunyai kualitas-kualitas fisik, seperti bangun tubuh, warna , bobot, dan menempati ruang dan waktu bersama-sama dengan segala sesuatu yang lain yang bereksistensi dan terdapat di alam.

2. Ernest Cassirer

Manusia adalah animal simbolikum. Manusia ialah binatang yang mengenal simbol, misalnya adat-istiadat, kepercayaan, dan bahasa. Inilah kelebihan manusia jika dibandingkan dengan makhluk lainnya. Itulah sebabnya manusia dapat mengembangkan dirinya jauh lebih hebat daripada binatang yang hanya mengenal tanda dan bukan simbol.

3. Plato

Dalam pemikirann Plato, seorang pribadi merupakan bagian dari dunia fisik dalam pengertian bahwa ia mempunyai tubuh yang melaluinya dia menerima impresi-impresi indrawi. Tetapi, pada waktu yang sama ia mempunyai budi rohani yang mampu mengetahui kebenaran-kebenaran abadi yang mengatasi dunia. Ia juga mempunyai daya mengarahkan, jiwa, yang digambarkan oleh Plato sebagai pengendara kereta, yang membimbing dan dibimbing oleh dua kuda, budi dan badan.

Budi ingin menjelajahi kawasan surgawi dari ide-ide memahami mereka; badan ingin terlibat dalam masalah-masalah duniawi yang berkaitanm dengan indera. Jiwa manusia terperangkap antara dua kekuatan yang berlainan ini. Jiwa mencoba mengarahkan, tetapi terperangkap dalam penjara badan. Maka, menurut Plato, manusia tidak mempunyai kebebasan nyata bila hidup mereka dipusatkan pada tuntutan-tuntutan fisik. Namun, jiwa manusia dapat membebaskan diri dari belenggu ini dan mengarahkan hidup, baik di lingkungan fisik maupun kegiatan-kegiatan intelektual. Tetapi, ini terjadi hanya setelah eksistensi badani sehingga jiwa naik ke dunia abadi, Ide-Ide. Bagi Plato, jiwa dan badan merupakan dua hal berbeda. Jiwa itu immortal, abadi; dia mendiamni badan yang sementara.

4. Jean- Paul Sartre

Eksistensi mendahului esensi adalah bahwa pertama-tama manusia itu eksis (ada, hadir), menjumpai dirinya, muncul (Inggris: surges up; Jawa: mentas) di dunia dan baru setelah itu mendefinisikan dirinya itu siapa. Jika manusia sebagai eksistensialis melihat bahwa dirinya itu belum ditentukan. Hal itu adalah karena pada permulaannya dia itu memang bukan apa-apa (nothing). Dia tidak akan menjadi apa-apa sampai tiba saatnya ketika ia menjadi apa yang ia tentukan sendiri. Oleh karenanya, tidak ada itu yang dinamakan kodrat manusia, sebab tidak ada Allah yang mempunyai konsepsi tentang dia (manusia).

Inilah prinsip pertama dari eksistensialisme. Manusia tak lain tak bukan adalah dia yang menentukan dirinya sendiri mau menjadi apa. Apakah pandangan ini tidak terlalu subyektif? Lalu, di mana tempat orang lain dalam eksistensi si individu itu? Bagaimana dengan hal-hal tertentu yang tidak bisa kita tentukan sendiri misalnya: kita lahir di mana, dalam keluarga apa, dibesarkan dalam lingkungan berbahasa apa, dan macam-macam hal lainnya?.

Mengenai subjektivitas ini, Sartre mengakuinya. Namun, bukan subjektivitas sebagaimana dimaksud oleh para pengkritiknya. Subjektivitas yang dimaksud Sartre dalam pengertiannya tentang eksistensi, bahwa manusia itu mempunyai martabat yang lebih luhur daripada, katakanlah, batu atau meja. Subjektivitas yang dimaksud Sartre adalah bahwa manusia pertama-tama eksis. Bahwa manusia adalah manusia (man is), sesuatu yang mendesak, bergerak maju menuju masa depan dan bahwa ia menyadari apa yang ia lakukan itu. Jika memang benar bahwa eksistensi itu mendahului esensi, maka manusia itu bertanggungjawab atas mau menjadi apa dia (what he is). Inilah dampak paling pertama dari eksistensialisme, bahwa manusia dengan menyadari bahwa kontrol berada penuh di tangannya, ia memikul beban eksistensinya itu, yaitu tanggungjawab, di pundaknya. Namun hal ini tidak lantas berarti bahwa ia bertanggungjawab hanya atas individualitasnya sendiri. Melainkan, bahwa ia bertanggungjawab atas semua umat manusia. Kita tentu bertanya, bagaimana bisa demikian?

Untuk menjawab ini, Sartre mengadakan dua distingsi atas subyektivisme. Pengertian yang pertama adalah kebebasan subjek individu. Pengertian kedua adalah bahwa manusia tidak bisa melampaui subjektivitas kemanusiaannya (human subjectivity). Pengertian kedua inilah yang pengertian yang lebih mendalam dari eksistensialisme. Pengertian yang kedua inilah yang memberikan gambaran kepada kita mengenai sifat dasar manusia yang kreatif, yang terus menerus mencipta dan menjadi apa yang dia inginkan. Mencipta ini berarti juga memilih dari sekian banyak kemungkinan-kemungkinan yang terbentang luas di hadapannya. Memilih antara ini atau itu pada saat yang bersamaan juga berarti mengafirmasi nilai dari apa yang dipilih. Dan, yang kita pilih itu tentu apa yang kita anggap lebih baik, dan yang lebih baik bagi kita tentu juga kita anggap baik untuk semua. Tanggung-jawab kita lantas terletak pada kualitas pilihan kita ini. Pilihan-pilihan yang kita buat itu menyangkut kemanusiaan sebagai suatu keseluruhan. Berangkat dari pengertian ini, kita siap memasuki dimensi kedua dari eksistensialisme yang mau dibuktikan Sartre dalam tulisannya yaitu tentang humanisme.

Dalam pandangan Sartre, yang membedakan humanisme-nya dengan humanisme yang sudah digagas oleh banyak filsuf yang mendahuluinya terletak pada radikalitasnya. Nilai humanisme pada era sebelumnya oleh Sartre dianggap belum radikal karena masih mengandaikan adanya nilai-nilai yang ditentukan dari luar diri manusia itu sendiri, entah itu Tuhan, Realitas Tertinggi, ataupun norma-norma buatan manusia yang dilanggengkan. Individu tidak mendapatkan tempat untuk menciptakan sendiri nilai-nilai yang ia percayai dan yang ia libati (engagement). Baginya, tidak akan ada satu perubahan apapun jika kita masih menganggap bahwa Tuhan itu ada. Kita seharusnya menemukan kembali norma-norma seperti kejujuran, kemajuan, dan kemanusiaan. Untuk itu Allah harus dibuang jauh-jauh sebagai sebuah hipotesis yang sudah usang dan yang akan mati dengan sendirinya. Bagi Sartre, mengutip Dostoevsky, “Jika Allah tidak eksis, maka segala sesuatu akan diizinkan”. Inilah titik berangkat dari eksistensialisme yang diacu Sartre.

Manusia lantas tidak bisa lagi menggantungkan dirinya erat-erat pada kodrat manusia yang spesifik dan tertentu. Tidak ada determinisme. Manusia itu bebas, manusia adalah bebas. Tidak ada lagi excuse, manusia ditinggalkan sendirian. Manusia dikutuk, terhukum untuk menjadi bebas. Terkutuk, sebab ia tidak menciptakan dirinya sendiri namun sungguh-sungguh bebas. Dan, terhitung sejak ia terlempar ke dunia ini ia bertanggungjawab atas segala sesuatu yang ia lakukan. Action (tindakan), itulah kata kunci yang mau ditunjukkan Sartre kepada kita guna memberi makna pada kemanusiaan. Action dan bukan quietism. Dengan kata lain, “Man is nothing else but what he purposes, he exists only in so far as he realises himself. He is therefore nothing else but the sum of his actions, nothing else but what his life is”. Jadi, jelas di sini bahwa realisasi diri manusia lewat tindakan adalah yang sesungguhnya membuat dirinya menjadi manusia.

Namun, tindakan ini jangan dimengerti sebagai tindakan tunggal pada saat tertentu saja. Tindakan di sini dimengerti sebagai totalitas dari rangkaian tindakan-tindakan yang sudah, sedang, dan akan dilakukannya sepanjang hidupnya. “A man is no other than a series of undertakings that he is the sum, the organisation, the set of relations that constitute these undertakings”. Lewat itulah muncul apa yang kita sebut komitmen. “I ought to commit myself and then act my commitmen”. Dan, komitmen itupun perlu dipahami sebagai komitmen total dan bukan komitmen kasus-per-kasus atau tindakan tertentu. Inilah yang membedakan Humanisme Sartre dengan humanisme sebelumnya. Konsepsi humanisme Sartre tidak hanya bermain di level abstrak-spekulatif, namun lebih pada etika tindakan dan self-commitment.

Konsepsi humanisme Sartre yang kedua menyangkut martabat manusia itu sendiri, satu-satunya hal yang tidak membuat manusia menjadi sebuah objek. Dengan mengkritik materialisme yang mendasarkan segala realitas (termasuk manusia di dalamnya) pada materi, Sartre mau membangun kerajaan manusia (bukan Kerajaan Allah!) sebagai sebuah pola dari nilai-nilai yang berbeda dari dunia materi. Subyektivitas, sebagaimana sudah disinggung pada bagian satu di atas tidak bisa dipersempit artinya menjadi individual subjectivism. Sebabnya apa? Meminjam istilah yang digunakan Descartes, namun sekaligus mengoreksinya, dalam kesadaran cogito, aku berpikir, tidak hanya diri sendiri yang ditemukan namun juga orang lain. Manusia tidak bisa menjadi apapun kecuali, kalau orang lain mengakui (bukan menentukan) dirinya secara demikian. Penyingkapan jati diriku pada saat yang bersamaan berarti penyingkapan diri orang lain sebagai sebuah kebebasan yang berhadapan dengan kebebasanku. Berhadapan baik dalam artian “bagi” atau “melawan.” Dengan begitu, kesadaran akan diriku dalam dunia ini sifatnya adalah inter-subjectivity. Berkenaan dengan itu, meskipun menyangkal adanya kodrat manusia, Sartre mengakui adanya “a human universality of condition”. Human universality ini bukan sesuatu yang sudah jadi (given), namun yang harus senantiasa dibuat oleh manusia yang melakukan tindakan pemilihan lagi, dan lagi selama hidupnya.

Sartre sudah menekankan bahwa tidak ada Tuhan yang menciptakan nilai-nilai bagi manusia. Manusia sendirilah yang harus menemukan (invent dan bukan create) nilai-nilai bagi dirinya sendiri. Dan, penemuan nilai-nilai ini berarti bahwa tidak ada yang à priori dalam hidup. Hidup belumlah apa-apa jika belum dihayati. Dan, penghayatan ini, engkau sendirilah yang menetukannya. Dan nilai atau makna atas kehidupan ini tak lain tak bukan adalah sesuatu yang engkau pilih. Karenanya, menjadi jelas bahwa selalu ada kemungkinan untuk menciptakan sebuah komunitas manusia. Dengan itu, Sartre mau menegaskan bahwa yang ia maksud dengan humanisme di sini bukanlah humanisme dalam kerangka teori yang meninggikan manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri, dan
sebagai nilai tertinggi (supreme value). Bagi Sartre, ini humanisme yang absurd sebab hanya anjing atau kuda yang paling mungkin berada dalam posisi untuk melontarkan penilaian umum atas apa manusia itu. Seorang eksistensialis tidak pernah menganggap manusia sebagai tujuan pada dirinya sendiri sebab manusia masih harus ditentukan. Humanity yang absurd semacam ini akan menggiring manusia pada pengkultusan, suatu sikap tertutup-pada-dirinya-sendiri sebagaimana sudah dirintis oleh Auguste Comte (Comtian humanism), dan berpuncak pada Fasisme.

Pengertian humanisme yang diikuti Sartre adalah pengertian bahwa manusia adalah makhluk yang mampu mengejar tujuan-tujuan transenden. Karena. manusia adalah makhluk yang mampu melampaui dirinya sendiri, self-surpassing, dan mampu meraih obyek-obyek hanya dalam hubungannya dengan ke-self-surpassing-annya, maka ialah yang menjadi jantung dan pusat dari transendensinya (bukan dalam pengertian bahwa Tuhan adalah Yang Transenden, namun dalam pengertian self-surpassing). Dan, relasi antara transendensi manusia dengan subjektivitas (dalam pengertian bahwa manusia tidak tertutup dalam dirinya sendiri, melainkan selalu hadir dalam semesta manusia). Itulah yang disebut Sartre dengan “existential humanism”. Ini disebut humanisme karena mengingatkan kita bahwa manusia adalah legislator bagi dirinya sendiri; betapapun ditinggalkan (abandoned) ia harus memutuskan bagi dirinya sendiri. Bukan dengan berbalik pada dirinya sendiri, namun dengan mencari, sembari melampaui dirinya, tujuan yang berupa kemerdekaan atau sejumlah realisasi tertentu, manusia bisa sampai pada kesadaran bahwa dirinya adalah sungguh-sungguh manusia. Yang manusia butuhkan bukanlah bukti dari eksistensi Tuhan, namun penemuan dirinya kembali dan untuk memahami bahwa tidak ada satupun yang dapat menyelamatkan dirinya kecuali dirinya sendiri. Dalam terang pengertian inilah Sartre berani mengatakan bahwa eksistensialisme itu optimistis, bukan sebuah ajaran untuk menarik diri dari dunia ramai dan masuk ke pertapaan guna menemukan kedamaian jiwa, melainkan sebuah ajaran untuk bertindaksecara konkret dalam dunia nyata, dunia sehari-hari, dunia umat manusia.

5. Rene Descartes (1596-1650)

Filsuf terkenal dari Perancis, mendefinisikan manusia sebagai ‘animal rationale,’ binatang yang dapat berpikir, atau ‘a thinking being,’ makhluk yang berpikir. Sementara itu, berpikir diartikan sebagai kegiatan refleksif yang melibatkan otak sebagai organ pengendali semua panca indera, organ yang secara auto-refleksif melakukan fungsi perencanaan, penelaahan, pengambilan keputusan, dan pengkoordinasian terhadap
program-program kerja jasmani-rohani tubuh manusia. Salah satu program kerja yang paling penting adalah berpikir, melakukan penelaahan atas sesuatu topik yang biasanya muncul dari adanya rangsangan atau impulsi dari luar. Topik yang muncul tersebut bisa
jadi memerlukan penelahaan yang terkait dengan sebab-akibat, dengan kemungkinan pelaksanaannya atau terjadinya, dengan segi baik-buruknya atau untung-ruginya, dan/atau berbagai segi lain.

6. Martin Heidegger

Heidegger menyebut manusia dengan Dasein (ada di situ atau ada di sini). Dasein adalah khas manusia sebagai mahluk yang memiliki pengertian tentang Ada. Tiga sifat yang menandai keberadaan Dasein yaitu “faktisitas”, “eksistensialitas” dan “kemerosotan”. Faktisitas adalah kenyataan bahwa manusia, diluar kemauannya, terdampar di dunia dengan kondisi dan situasi tertentu. Faktisitas ini mengandaikan kebebasan eksistensial manusia untuk mewujudkan kemampuan dan menentukan diri, masuk ke eksistensialitas dimana manusia memikul tanggung jawab pribadi untuk membentuk hidupnya sendiri. Sedangkan “kemerosotan” adalah keadaan ketika manusia cenderung untuk menyesuaikan diri dengan dunia sekitar, akibat kurang penghayatan terhadap eksistensialitasnya. Di sini manusia tidak autentik lagi. Untuk mengatasi kemerosotan ini, menurut Heidegger, adalah dengan mengenal Angst (rasa takut tak berobyek). Angst dapat muncul jika manusia membuka diri bagi suara hati. Suara hati dapat mengingatkan manusia dari kelupaannya dan kembali menerima eksistensialitasnya sehingga kembali menjadi manusia autentik.

7. Augustinus

Augustinus memandang manusia sebagai ciptaan Allah. Dalam hal ini, ia menentang ajaran Neo-Platonisme yang tidak memakai istilah penciptaan (“creatio”), tidak membicarakan Allah sebagai Pencipta (“Creator”), dan yang tidak sanggup membedakan ciptaan dengan penciptanya (monisme yang bercorak panteisme). Menurut Augustinus, segala makhluk merupakan “vestigia Dei” (“jejak-jejak Allah”) yang memaklumkan bahwa “Allah telah lewat”. Manusia menjadi “vestigium Dei” sedemikian istimewa, sehingga disebut “imago Dei” (“citra Allah”). Manusia memantulkan siapa Allah itu dengan lebih jelas daripada segala ciptaan lainnya.

Dalam rangka itu, Augustinus menguraikan gejala manusia dengan memakai tiga istilah, yaitu mens – notitita -amor, sekali-kali juga memoria – intellectus – voluntas. Yang pertama, (“mens”, “memoria”) bukan hanya berarti ingatan saja, melainkan juga dasar segala kegiatan dan tindakan manusia sebagai makhluk yang sadar akan dirinya sendiri. Maka boleh dikatakan bahwa itu merupakan sumber kegiatannya, kekayaan dasarnya sebagai pribadi. Yang kedua, (“notitia”, “intellectus”) berkaitan dengan kegiatan pengetahuan. Yang ketiga, (“amor”, “voluntas”) menunjukkan kegiatan kehendak yang memuncak dalam cinta murni. Tritunggal seperti itu tidak asing dalam konteks pemikiran Neo-Platonisme dalam rangka irama keluar kembali berlingkaran, tetapi oleh Augustinus dalam De Trinitate, secara khusus hal tersebut dipergunakan untuk menggambarkan manusia sebagai ciptaan Allah sesuai dengan rumus yang ditemukannya dalam Kitab Suci Perjanjian Baru.

DAFTAR PUSTAKA

Dahler, Franz dan Eka Budianta. 2005. Pijar Peradaban Manusia Denyut Harapan Evolusi. Cetakan Kelima. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Fridayanti. 2006. “Tentang Manusia dalam Perspektif Ilmu Barat”. Dalam Sejarah Ilmu Pengetahuan, http://arc.itb.ac.id/~aris/PRIVAT/galileo.

Redaksi. 2005. “Konsepsi Manusia: Tinjauan Umum pada Era Pramodernisme Modernisme dan Posmodernisme”. Dalam Suluk Blogsome, http://suluk.blogsome.com.

Redaksi.2006.“Heidegger”.http://www.freewebs.com/payung/coretcoretkehidupanku.htm

Redaksi. 2006. “Pemikiran Jean-Paul Sartre dalam Existentialism and Humanism”. Dalam Filsafat Kita, http://filsafatkita.f2g.net.

Smith, Linda dan William Raeper. 2004. Ide-Ide Filsafat dan Agama Dulu dan Sekarang.
Cetakan Kelima. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

~ oleh Gunawan di/pada 15 Februari 2007.

0 komentar to “konsep para filosof tentang manusia”

Posting Komentar

Five-Star Ratings Control

 

Levi Yamani Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger