Jumat, 13 Agustus 2010

ULUMUL QURAN (akhir)


Di era yang serba instan ini tidak bisa dipungkiri lagi bahwa mayoritas kaum muslimin dalam mempelajari Al Qur`an juga dilakukan secara instan pula. Mereka mempelajari Al Qur`an hanya dari segi qiro`atny saja tanpa memahami kandungan makna yang tersirat didalamnya Untuk memahami tentang Al Qur`an baik dalam persoalan bagaimana asbab an-Nuzulnya,kata-katanya,maknanya dll. Maka kita harus mempelajarinya melalui sebuah disiplin ilmu yang didalamnya membahas tentang Al Qur`an yang lebih dikenal dengan nama Ulumul Qur`an (Ilmu Al Qur`an)
Di dalam mempelajari Ulumul Qur’an (Ilmu Al Qur’an) kita dapat memahami lebih dalam apa makna yang tersirat didalam Al Quran jadi tidak hanya membaca nya saja tetapi juga memahami makna nya kaarena itulah yang lebih penting dari pada sekedar membaca nya saja tanpa tau isi/makna dari yang dibaca tersebut.

II. MASALAH
Bagaimanakah caranya kita mengetahui makna-makna atau kandungan-kandungan yang tersirat didalam Al Qur’an ? dan apakah ada ilmu-ilmu khusus untuk mempelajarinya ? dan jika ada, apa ilmu itu ? dan apa saja yang dipelajarinya ? agar kita tidak sekedar membaca tapi juga memahami isi dari bacaan itu sendiri. Dan juga akan timbul pertanyaan-pertanyaan mendasar setelah kita mempelajari Ulumul Qur’an, kapankah Ulumul Qur’an itu muncul ? dan siapakah yang memperkenalkannya pertama kali ? sehingga dapat menjadi suatu disiplin ilmu yang banyak dipelajari oleh orang-orang yang ingin mengetahui kandungan makan yang tersirat di dalam Al Qur’an.


TINJAUAN UMUM
I. ULUMUL QUR’AN
Di kalangan ulama, ada beberapa pendapat tentang kapan mulai lahir istilah ulum al-Quran. Dikalangan para penulis sejarah Ulum al-Quran, pada umumnya berpendapat bahwa lahirnya istilah ulumul Quran sebagai suatu ilmu adalah pada abad VII H. Sedang menurut al-Zarqani, bahwa istilah ulumul Qur’an sebagai suatu ilmu sudah dimulai pada abad V H. Oleh al-Hufi dalam kitabnya al-Burhan fi Ulumil Qur’an. Kemudian pendapat tersebut masih dikoreksi oleh Dr. Subhi al-Shalih, bahwa istilah ulumul Qur’an sebagai suatu ilmu sudah ada pada abad III H. Oleh Ibnu Marzuban dalam kitabnya al-Hawi fi Ulumil Qur’an. Dapat ditambahkan, bahwa Prof. T.M. Hasbi al-Shiddiqi dalam bukunya sejarah dan pengantar Ilmu Tafsir menerangkan, bahwa menurut hasil sejarah, al-Kafiyaji (wafat tahun 879 H) adalah ulama yang pertama kali membukukan Ulumul Qur’an. Menurut kami (penulis), bahwa pendapat Dr. Subhi al-Shalih adalah yang paling tepat, sebab sejarah perkembangan ilmu-ilmu al-Qur’an menunjukkan denagn jelas, bahwa Ibnu Marzuban (wafat tahun 309 H) adalah ulama yang pertama kali mengemukakan istilah Ulumul Qur’an secara jelas di dalam bukunya al-Hawi fi Ulumil Qur’an.
Jadi dapat ditarik kesimpulan, bahwa Ulumul Quran sebagai suatu ilmu telah dirintis oleh Ibnu Marzuban (wafat tahun 309 H) pada abad III H. kemudian diikuti oleh al-Hufi (wafat tahun 430 H) pada abad V H. kemudian dikembangkan oleh Ibnul Jauzi (wafat tahun 597 H) pada abad VI H. kemudian diteruskan oleh al-Sakhwani (643 H) pada abad VII H. kemudian ditingkatkan lagi oleh al-Buiqini (wafat tahun 824 H) dan al-Kafiyaji (wafat tahun 879 H) pada abad IX H. Pada akhirnya, ilmu ini disempurnakan lagi oleh al-Suyuti pada akhir abad IX dan awal abad X H.
II. WAHYU
“Wahyu” (dalam bahasa Arab: al-wahy) secara harafiyah (semantis) berarti “isyarat secara cepat”. Ada pula yang menyatakan “menyampaikan pemahaman secara cepat”. Kedua pengertian itu sebenarnya tidak berbeda, tetapi saling mengisi. Memberikan “isyarat” itu adalah proses, sedangkan “pemahaman” adalah tujuannya.
Pemberian isyarat supaya dipahami secara cepat oleh yang diberi isyarat, misalnya kode. Bila seorang guru menempelkan telunjuknya ke bibirnya sedang ujian berlangsung, misalnya, itu adalah isyarat yang cepat ditangkap artinya, yaitu “jangan bicara sedang ujian berlangsung!” Isyarat itu adalah “wahyu” dalam arti harfiyahnya. Begitu juga lampu merah lalu lintas misalnya. Itu adalah isyarat yang cepat dimengerti, yang maknanya adalah “Berhenti!” Itu adalah wahyu dari segi makna harfiyah kata “wahyu” itu.
“Mewahyukan” (dalam bahasa Arab: awha) tentunya adalah menyampaikan wahyu. Jadi “mewahyukan” menurut pengertian bahasanya adalah suatu proses yang dimulai dari isyarat yang disampaikan pemberi, lalu isyarat itu diterjemahkan oleh penerima, kemudian penerima menangkap pesan (massage) isyarat itu, dan proses itu berlangsung dengan cepat.
“Mewahyukan” menurut pengertian harfiyahnya itu digunakan di dalam Al-Qur’an. Antara lain:
a. Nabi Zakariya a.s. mewahyukan, yaitu menyampaikan isyarat-isyarat kepada kepada kaumnya, agar mereka bertasbih memuji Allah pada pagi hari dan petang. Penyampaian pesan dalam bentuk isyarat-isyarat itu dilakukannya karena ia dibuat tidak bisa bicara oleh Allah selama tiga hari sebagai tanda bahwa ia akan memperoleh seorang putra (S. Maryam/20:11).
b. Allah mewahyukan kepada ibu Nabi Musa a.s. agar menyusukan anaknya itu (Al-Qasas/28:7). “Mewahyukan” di sini maksudnya memberikan ilham, yaitu inspirasi, agar ia menyusukan anaknya yang berada di bawah asuhan Firaun.
c. Allah mewahyukan kepada lebah untuk bersarang di gunung-gunung, pohon-pohon, dan gedung-gedung tinggi yang dibangun manusia (S. al-Nahl/16:68). “Mewahyukan” di sini maksudnya memberikan instink.
d. Syaitan-syaitan, dari kalangan manusia dan jin, juga mewahyukan kata-kata yang menarik perhatian satu sama lainnya (S. al-An’am/6:112). “Mewahyukan” di sini maksudnya saling menyatukan hati dengan alatnya adalah bahasa yang indah dan menggugah. Begitu menyihirnya ungkapan-ungkapan yang digunakan sehingga masing-masing dapat memahaminya dengan cepat dan sikap mereka menjadi bulat dalam kebatilan.
Berdasar contoh-contoh di atas disimpulkan bahwa wahyu itu dapat berbentuk isyarat, ilham, instink, dan kata-kata.
Pengertian dari Segi Terminologis

Makna terminologis adalah makna yang harus diimani. Wahyu dalam makna istilah (terminologis) Islam adalah “firman (kalam) Allah kepada nabi-Nya”. Firman maksudnya kalam, atau ucapan yang ada suaranya berasal dari Allah swt., bukan isyarat, ilham, atau instink. Dan firman itu hanya disampaikan kepada nabi-Nya. Yang disampaikan Allah kepada ibu Musa a.s. dalam contoh di atas, bukanlah wahyu dalam arti terminologisnya, karena ibu Musa bukanlah nabi. Itu adalah ilham. Ilham berbeda dengan wahyu. Ilham diusahakan datangnya dengan berpikir, sedangkan wahyu datang dengan sendirinya dari Allah. Begitu juga yang disampaikan Allah kepada lebah, itu bukan wahyu. Itu adalah instink.

CARA-CARA WAHYU TURUN :
• Dengan cara pemberitahuan langsung ke dalam hati Nabi
• Dengan cara penyampaian dari balik tabir
• Dengan cara melalui perantara Malaikat Jibrîl a.s. sebagai pembawa wahyu

PENGERTIAN AL QUR’AN
A. Pengertian Al-Qur’an dari Segi Terminologis
Pengertian terminologis Al-Qur’an maksudnya definisi Kitab itu yang harus diimani. Para ulama dari disiplin-disiplin ilmu agama Islam (kalam, fiqih, bahasa Arab) berbeda-beda dalam merumuskan definisi Al-Qur’an. Definisi berikut ini, menurut Shubhi al-Shalih (1988:21) disepakati oleh ulama dari disiplin-disiplin ilmu itu. Walaupun demikian dipandang perlu menambah kata “Allah” dalam definisi ini:
“Firman Allah yang mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw., yang tertulis di dalam mushaf-mushaf, yang disampaikan secara mutawatir, yang beribadat membacanya.”
“Kalam” adalah ucapan yang terdengar telinga dan merupakan kalimat sempurna. “Kalam” itu dikaitkan dengan “Allah”, yang berarti adalah “firman” dan ucapan yang bukan dari Allah bukanlah Al-Qur’an. Firman itu merupakan mukjizat, artinya tidak ada yang akan mampu menandinginya. “Diturunkan” berarti tidak termasuk firman-firman Allah yang lain yang tidak diturunkan kepada Nabi Muhammad yang banyak sekali sehingga bila lautan di bumi ini dijadikan tinta dan semua pohon dijadikan penanya, serta ditambah lagi lautan sebanyak itu, maka semua lautan itu tidak akan cukup untuk menuliskan firman-firman Allah tsb. (S. al-Kahf/18:109). “Kepada Muhammad saw.” berarti bahwa wahyu-wahyu yang diturunkan kepada nabi-nabi sebelumnya tidak termasuk Al-Qur’an. “Tertulis di dalam mushaf-mushaf” berarti yang tertulis di dalam mushaf-mushaf Usmani ketika Al-Qur’an itu dibukukan, sehingga teks yang di luar itu bukanlah Al-Qur’an. “Disampaikan secara mutawatir” artinya tidak termasuk hadis-hadis yang walaupun ada yang disampaikan secara mutawatir pula, tetapi kemutawatirannya tidak semutawatir Al-Qur’an. Dan “beribadat membacanya” misalnya sebagaimana sabda Nabi bahwa membaca Al-Qur’an itu untuk setiap huruf diberi pahala sepuluh kebaikan, dan bisa ditambah sebanyak itu lagi bila Allah kehendaki. Tetapi membaca hadis tidak diberi pahala seperti itu. Membaca hadis diberi pahala mempelajarinya, sedangkan membaca Al-Qur’an tetap diberi pahala walaupun tidak dalam rangka mempelajarinya.
B. Perbedaan antara Al-Qur’an, Hadis, dan hadis Qudsi
a. Hadis adalah segala yang dihubungkan kepada Nabi Muhammad saw. dalam bentuk ucapan, perbuatan, persetujuan (taqrir), atau lukisan sifatnya.
1) Dalam bentuk ucapan misalnya, sabda beliau:
“Pekerjaan-pekerjaan itu dengan niatnya…”
2) Dalam bentuk perbuatan misalnya cara pelaksanaan salat lima waktu.
3) Dalam bentuk persetujuan misalnya dibiarkannya oleh Nabi saw. tokek memakan makanannya, setelah itu makanan itu ia makan.
4) Dan dalam bentuk lukisan sifatnya misalnya diinformasikan bahwa Nabi itu selalu berseri-seri, mudah dipergauli, lembut, tidak judes, tidak kasar, tidak suka bertengkar, tidak berbuat keji, tidak suka mencacat, dsb.
Segala ucapan dan tingkah laku Nabi saw. bersumber dari wahyu, sebagaimana dinyatakan dalam S. al-Najm/5:-4:
“Ia tidak berucap karena hawa nafsunya. Semuanya tiada lain adalah wahyu yang diwahyukan.”
Kecuali bila ucapan atau prilaku Nabi saw. itu merupakan pendapat atau sifat pribadinya sebagai manusia, itu bukanlah wahyu dan karena itu bisa salah. Misalnya, pendapat beliau mengenai penyerbukan buatan, beliau menyatakan hal itu tidak ada gunanya. Pendapat itu adalah pribadi yang tidak berkaitan dengan agama. Pendapat itu ternyata salah. Oleh karena itulah ketika beliau mengetahui bahwa orang menghentikan penyerbukan buatan itu, beliau bersabda, “Bila itu berguna, silahkan kerjakan. Saya hanya menduga, karena itu jangan salahkan saya karena dugaan saya. Tapi jika saya menyampaikan sesuatu mengenai Allah (agama), ambillah, karena saya tidak akan pernah salah berkenaan dengan Allah swt.”
Hadis Qudsi
Hadis Qudsi adalah firman Allah yang diungkapkan Nabi saw. dengan bahasanya sendiri dan ungkapannya itu disandarkannya kepada Allah dengan kata-kata “Allah swt. berfirman…”.
“Allah swt berfirman, ‘Saya sebagaimana persangkaan hamba Saya kepada Saya. Dan Saya bersama dia bila ia mengingat Saya. Bila ia mengingat Saya dalam dirinya, Saya akan ingat dia dalam diri Saya. Dan bila ia ingat saya di tengah orang ramai, Saya akan mengingat dia pula di kalangan yang lebih ramai lagi.”
Dalam hadis itu Nabi saw. menyatakan “Allah berfirman,” ( ) sedangkan teks firman itu bukan dari Allah, tetapi dari Nabi saw. sendiri. Dalam hal itu Nabi saw. berkedudukan sebagai penyempai ucapan Allah langsung kepadanya tetapi diungkapkannya dengan bahasanya sendiri.
Semua segi perbedaan Hadis dengan Al-Qur’an di atas berlaku pada perbedaan Hadis Qudsi dengan Al-Qur’an. Kecuali bahwa teks Hadis Qudsi berasal dari Nabi saw. dengan mengatasnamakan Allah swt., sedangkan teks Al-Qur’an berasal dari Allah.
III. NUZULUL QUR’AN
 Pertama al-Qur’an turun secara sekaligus dari Allah ke lauh al-mahfuzh, yaitu suatu tempat yang merupakan catatan tentang segala ketentuan dan kepastian Allah.
 Tahap kedua, al-Qur’an diturunkan dari lauh al-mahfuzh itu ke bait al-izzah (tempat yang berada di langit dunia).
 Tahap ketiga, al-Qur’an diturunkan dari bait al-izzah ke dalam hati Nabi dengan jalan berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan. Adakalanya satu ayat, dua ayat dan bahkan kadang-kadang satu surat.
nuzulul itu dari atas sehingga orang mengartikannya turun dari atas maka orang-orang menganggap allah itu ada di atas. Maka segalanya dalam mempelajari alquran harus menggunakan akal.
TURUNNYA AL QUR’AN
Secara ibtida’i, yaitu ayat yang turun tanpa sebab dab latar belakang
Secara sababi, yaitu ayat yang diturunkan oleh sebab yang melatarbelakanginya
HIKMAH AL QUR’AN DITURUNKAN SECARA BERANGSUR-ANGSUR
• MEMANTAPKAN HATI
• MENENTANG DAN MELEMAHKAN PARA PENENTANG AL QURAN
• MEMUDAHKAN UNTUK DIHAPAL DAN DIPAHAMI
• MEMBUKTIKAN KEPASTIAN BAHWA AL QUR’AN TURUNNYA DARI ALLAH SWT

IV. MUSHAF AL QUR’AN PADA MASA UTSMANI DAN SESUDAHNYA
Pada masa pemerintahan Usman bin ‘Affan terjadi perluasan wilayah islam di luar Jazirah arab sehingga menyebabkan umat islam bukan hanya terdiri dari bangsa arab saja (’Ajamy).
Kondisi ini tentunya memiliki dampak positif dan negatif. Salah satu dampaknya adalah ketika mereka membaca Al Quran, karena bahasa asli mereka bukan bahasa arab.
Fenomena ini di tangkap dan ditanggapi secara cerdas oleh salah seorang sahabat yang juga sebagai panglima perang pasukan muslim yang bernama Hudzaifah bin al-yaman.
Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas r.a. bahwa suatu saat Hudzaifah yang pada waktu itu memimpin pasukan muslim untuk wilayah Syam (sekarang syiria) mendapat misi untuk menaklukkan Armenia, Azerbaijan (dulu termasuk soviet) dan Iraq menghadap Usman dan menyampaikan kepadanya atas realitas yang terjadi dimana terdapat perbedaan bacaan Al Quran yang mengarah kepada perselisihan.
Ia berkata, “Wahai usman, cobalah lihat rakyatmu, mereka berselisih gara-gara bacaan Al Quran, jangan sampai mereka terus menerus berselisih sehingga menyerupai kaum Yahudi dan Nasrani“.
Lalu Usman meminta Hafsah meminjamkan Mushaf yang di pegangnya untuk disalin oleh panitia yang telah dibentuk oleh Usman yang anggotanya terdiri dari para sahabat diantaranya Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin al’Ash, Abdurrahman bin al-Haris dan lain-lain.
Kodifikasi dan penyalinan kembali Mushaf Al Quran ini terjadi pada tahun 25 H, Usman berpesan apabila terjadi perbedaan dalam pelafalan agar mengacu pada Logat bahasa suku Quraisy karena Al Quran diturunkan dengangaya bahasa mereka.
Untuk pertama kali Al Qur'an ditulis dalam satu mushaf. Penulisan ini disesuaikan dengan tulisan aslinya yang terdapat pada Hafshah bt. Umar. (hasil usaha pengumpulan di masa Abu Bakar ra.). Dalam penulisan ini sangat diperhatikan sekali perbedaan
bacaan (untuk menghindari perselisihan di antara umat). Usman ra. memberikan tanggung jawab penulisan ini kepada Zaid Bin Tsabit, Abdullah Bin Zubair, Sa'id bin 'Ash dan Abdur-Rahman bin Al Haris bin Hisyam. Mushaf tersebut ditulis tanpa titik dan baris.
Hasil penulisan tersebut satu disimpan Usman ra. dan sisanya disebar ke berbagai penjuru negara Islam.
Keempat: Pemberian titik dan baris, terdiri dari tiga fase;
Pertama: Mu'awiyah bin Abi Sofyan menugaskan Abul Asad Ad-dualy untuk meletakkan tanda bacaan (ikrab) pada tiap kalimat dalam bentuk titik untuk menghindari kesalahan dalam membaca.
Kedua: Abdul Malik bin Marwan menugaskan Al Hajjaj bin Yusuf untuk memberikan titik sebagai pembeda antara satu huruf dengan lainnya (Baa'; dengan satu titik di bawah, Ta; dengan dua titik di atas, Tsa; dengan tiga titik di atas). Pada masa itu Al Hajjaj minta bantuan kepada Nashr bin 'Ashim dan Hay bin Ya'mar.
Ketiga: Peletakan baris atau tanda baca (i'rab) seperti: Dhammah, Fathah, Kasrah dan Sukun, mengikuti cara pemberian baris yang telah dilakukan oleh Khalil bin Ahmad Al Farahidy.
sampai kepada saat ini al quran nya pun telah berbeda dengan al quran yang diatas tadi al quran mengalami perubahan bentuk mengikuti perkembangan zaman dalam hal penulisan dan penyajian, akan tetapi makna al quran tetap sama seperti janji allah didalam al quran yang akan menjaganya sampai hari akhir. Cetakan Al Quran yang banyak dipergunakan di dunia islam dewasa ini adalah cetakan Mesir yang juga dikenal dengan edisi Raja Fuad karena dialah yang memprakarsainya. Edisi ini ditulis berdasarkan Qiraat Ashim riwayat Hafs dan pertama kali diterbitkan di Kairo pada tahun 1344 H/ 1925 M. Selanjutnya, pada tahun 1947 M untuk pertama kalinya Al Quran dicetak dengan tekhnik cetak offset yang canggih dan dengan memakaihuruf-huruf yang indah. Pencetakan ini dilakukan di Turki atas prakarsa seorang ahli kaligrafi turki yang terkemuka Said Nursi.




PENUTUP
I. KESIMPULAN
Jadi ada banyak sekali ilmu-ilmu mempelajari al quran yang ada di Ulumul Qur’an yang belum kita ketahui itu hanya sebagian aspek ilmu yang dipelajari di disipin ilmu yang mempelajari al quran yang disebut Ulumul Qur’an. Dengan memepelajari ilmu-ilmu tadi niscaya kita akan dapat lebih memahami apa makna dan apa makna yang tersirat dari al quran itu sendiri karena kita mempelajari konteks nya sehingga ada dialektikanya. Sehingga kita tidak kebingungan memahami ayat – ayat yang kita kira itu ayat umum tapi ternyata maknanya khusus. Dan dari situlah kita dapat memahami ayat sesuai makna yang sebenarnya. Karena kita telah memahami konteks nya jadi lebih mudah memahami makna yang tersirat dari ayat tersebut. Adapun upaya-upaya penafsiran lebih dalam dan mengupas makna untuk mengetahui isi dan maksud Al Qur'an telah menghasilkan proses yang sangat panjang dalam berbagai bahasa. Namun demikian hasil usaha tersebut dianggap sebatas usaha manusia dan bukan usaha untuk menduplikasi atau menggantikan teks yang asli dalam bahasa Arab. Kedudukan terjemahan dan tafsir yang dihasilkan tidak sama dengan Al-Qur'an itu sendiri.
Terjemahan Al-Qur'an adalah hasil usaha penerjemahan secara literal teks Al-Qur'an yang tidak dibarengi dengan usaha interpretasi lebih jauh. Terjemahan secara literal tidak boleh dianggap sebagai arti sesungguhnya dari Al-Qur'an. Sebab Al-Qur'an menggunakan suatu lafadz dengan berbagai gaya dan untuk suatu maksud yang bervariasi; terkadang untuk arti hakiki, terkadang pula untuk arti majazi (kiasan) atau arti dan maksud lainnya.
II. SARAN
Pelajarilah ilmu Ulumul Quran itu agar kita dapat memahami makna-makna yang tersirat di dalam ayat alquran. Karena al quran bukan hanya untuk dibaca, tetapi yang lebih penting dari itu al quran untuk dipahami karena al quran adalah petunjuk bagi manusia. akan sia-sia jika kita hanya membacanya tanpa faham isinya yang kita baca.

LOGIC


Kata Yunani logos juga disalin ke dalam kata Arab manthiq, sehingga ilmu logika, khususnya logika formal atau silogisme ciptaan Aristoteles dinamakan Ilmu Mantiq ('Ilm al-Mantiq). Maka kata Arab "manthiqi" berarti "logis".

Dari penjelasan singkat itu dapat diketahui bahwa Ilmu Kalam amat erat kaitannya dengan Ilmu Mantiq atau Logika. Itu, bersama dengan Falsafah secara keseluruhan, mulai dikenal orang-orang Muslim Arab setelah mereka menaklukkan dan kemudian bergaul dengan bangsa-bangsa yang berlatar-belakang peradaban Yunani dan dunia pemikiran Yunani (Hellenisme). Hampir semua daerah menjadi sasaran pembebasan (fat'h, liberation) orang-orang Muslim telah terlebih dahulu mengalami Hellenisasi (disamping Kristenisasi). Daerah-daerah itu ialah Syria, Irak, Mesir dan Anatolia, dengan pusat-pusat Hellenisme yang giat seperti Damaskus, Atiokia, Harran, dan Aleksandria. Persia (Iran) pun, meski tidak mengalami Kristenisasi (tetap beragama Majusi atau Zoroastrianisme), juga sedikit banyak mengalami Hellenisasi, dengan Jundisapur sebagai pusat Hellenisme Persia.

Adalah untuk keperluan penalaran logis itu bahan-bahan Yunani diperlukan. Mula-mula ialah untuk membuat penalaran logis oleh orang-orang yang melakukan pembunuhan 'Utsm'an atau menyetujui pembunuhan itu. Jika urutan penalaran itu disederhanakan, maka kira-kira akan berjalan seperti ini: Mengapa 'Utsman boleh atau harus dibunuh? Karena ia berbuat dosa besar (berbuat tidak adil dalam menjalankan pemerintahan) padahal berbuat dosa besar adalah kekafiran. Dan kekafiran, apalagi kemurtadan (menjadi kafir setelah Muslim), harus dibunuh. Mengapa perbuatan dosa besar suatu kekafiran? Karena manusia berbuat dosa besar, seperti kekafiran, adalah sikap menentang Tuhan. Maka harus dibunuh! Dari jalan pikiran itu, para (bekas) pembunuh 'Utsman atau pendukung mereka menjadi cikal-bakal kaum Qadari, yaitu mereka yang berpaham Qadariyyah, suatu pandangan bahwa manusia mampu menentukan amal perbuatannya, maka manusia mutlak bertanggung jawab atas segala perbuatannya itu, yang baik dan yang buruk.

Bila membaca sejarah peradaban manusia, masalah “berpikir” dan hukum-hukum agar berpikir tersebut digolongkan benar, kita kemudian mengenal istilah Logika (Manthiq) yang dikenalkan secara lengkap oleh filsuf Yunani kuno Aristoteles. Logika kemudian dipahami sebagai suatu ilmu yang menjelaskan kaidah-kaidah berpikir benar yang menjadikan akal rasional sebagai subjek dan menjadikan proposisi bahasa sebagai objeknya serta mengajarkan seni (cara) bagaimana menggunakannya dalam kehidupan.



Hukum-hukum berpikir dalam logika, sebenarnya bukanlah diciptakan oleh Aristoteles sebagai orang yang pertama kali diketahui secara umum sebagai penyusun prinsip-prinsip dasarnya, tapi hanya ditemukan rumus-rumusnya. Kecenderungan berpikir logis (sesuai aturan ilmu logika) adalah sesuatu yang niscaya bagi manusia manapun. Dipelajari secara akademis ataupun tidak. Hal inilah yang membedakan ilmu logika dengan ilmu-ilmu lainnya yang dihasilkan oleh pemikiran manusia semisal ilmu sosial dengan berbagai teorinya. Dapatlah dikatakan bahwa bahwa ilmu logika adalah ilmu yang secara alamiah dipunyai oleh manusia untuk membimbingnya membedakan mana yang benar dan tidak benar, mana yang masuk akal (rasional) mana yang tidak masuk akal (irasional).

Dari membaca sejarah peradaban manusia pula, kita akan tahu, bahwa sepanjang sejarahnya, manusia yang tergolong makhluk percaya itu mempunyai suatu pandangan dunia dan keyakinan (akidah), hukum-hukum (syariat), dan etika (akhlaq) yang kemudian dikenal sebagai agama. Agama manusia terus berkembang dari jaman ke jamannya. Menyesuaikan diri dengan tingkat pemikiran dan kebutuhan jaman. Sehingga, kemunculan satu agama lebih sering dilandasi oleh stagnasi (mungkin penyimpangan) dari ajaran agama yang terdahulu. Agama-agama manusia kemudian menjadi sangat beragam. Dengan nabi dan kitab sucinya masing-masing. Dari yang bercorak Semit (Ibrahimiyah) seperti Yahudi, Kristen dan Islam, sampai yang bercorak Aria (Timur) seperti Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu. Dan dari kesemua agama tersebut agama Islam lahir paling terakhir.

Salah satu ciri (corak) yang paling mendasar dari agama Islam yang menurut Muhamad adalah agama penutup ini yakni corak rasional. Corak rasional Islam telah sedikit membedakannya dari agama-agama Samawi maupun agama Pagan sebelumnya yang banyak dipenuhi Mitos dan Dogma. Islam menghadirkan ajaran baru yang mengajak manusia pada suatu tuntunan untuk meng-Esa-kan Tuhan yang mencipta alam semesta dan mengatur keberlangsungannya. Muhamad, sebagai nabi dan pembawa ajaran ini mengajak manusia untuk menggunakan akal pikiran (rasionalitas) dalam memahami dan menjalankan ajaran Islam. Termasuk dalam memahami konsep Tuhan. Sebab Tuhan yang hendak disembah dalam Islam adalah Tuhan yang tak terjangkau oleh hukum-hukum dunia material yang terbatas oleh ruang dan waktu. Dan Informasi dari Alquran, sebagai kitab suci dari Islam banyak sekali menyinggung masalah penggunaan akal ini. Orang-orang yang telah beriman (mukmin), diperintahkan untuk banyak berpikir (tafakkur) tentang peristiwa-peristiwa alam, maupun segala karunia dan kenikmatan yang diperolehnya (QS.ibrahim:7).


Kontroversi Seputar Logika dan Agama Masalah logika bila dikaitkan dengan masalah agama, telah menjadi masalah kontroversial sejak dulu di kalangan para pemikir muslim. Sehingga sampai sekarang ini masih saja ada sebagian pihak yang melarang penggunaan logika di kalangan umat Islam. Akhirnya, studi logika belumlah menjadi suatu studi populer dan wajib yang harus diperoleh oleh semua pelajar yang ingin mendalami Islam.

Ungkapan sangat terkenal sekaligus kontroversial tentang masalah logika berasal dari Ibnu Taimiyah (meski ada yang beranggapan bahwa ucapan ini berasal dari Ibnu as Shalah) adalah, “man tamanthaqa, faqad tasandaqa”. Ungkapan ini mempunyai arti bahwa “Barangsiapa menggunakan logika, maka ia telah kafir”. Ia kemudian menyusun buku yang menjelaskan tentang logika seperti Naqdl al Manthiq (Kehancuran Logika) dan buku Ar Raddu alal Manthiqiyyin (Analisa Kritis Terhadap Ahli-ahli Logika). Kedua buku ini cukup memberikan pengaruh terhadap pola pikir sebagian kaum muslimin.

Tapi, menurut Ahmadie Thaha (penerjemah buku Muqaddimah karya Ibnu Khaldun), kritikan Ibnu Taymiyah, meski ia termasuk kelompok ulama fiqh, sebenarnya lebih terfokus pada konteks bahasa. Ibnu Taimiyah mengajukan kritik bahwa setiap bahasa mempunyai dalalah masing-masing. Sehingga, Ibnu Taimiyah beranggapan bahwa mereka yang menggunakan bahasa berbeda dengan bahasa Yunani tak pantas menggunakan kaidah-kaidah logika Aristoteles. Umat Islam menurut Ibnu Taimiyah harus mempunyai logika sendiri.

Jika Ibnu Taimiyah menekankan pada konteks bahasa, Ulama fiqh lainnya lebih cenderung terjebak pada generalisasi dalam hal penggunaan logika. Sebagian mereka malah melarang (mengharamkan) sama sekali tanpa menawarkan alternatif penggunaan logika muslim seperti Ibnu Taimiyah. Carut-marut perpecahan politik, mazhab, dan pertentangan antara para ulama fiqh dengan para filsuf yang mempelajari filsafat seiring maraknya penerjemahan buku-buku Yunani pada saat itu telah menempatkan penggunaan logika sebagai masalah kontroversial dalam agama.

Al Ghazali, salah seorang ulama yang waktu itu pemikirannya banyak dipengaruhi oleh corak filsafat pun tak luput dari kritikan para ulama fiqh. Kondisi ini menjadikannya harus menyamarkan penggunaan logika dalam buku-bukunya. Al Miyar, Al Mizan, dan Al Mulk adalah karangannya yang disamarkan untuk menghindari kekurangsenangan para ulama fiqh waktu itu terhadap penggunaan logika. Al Ghazali kurang disenangi oleh mereka karena berpendapat bahwa mempelajari logika merupakan fardhu kifayah bagi kaum muslimin. Pendapat Al ghazali ini kemudian menjadi referensi bagi para ulama ushul untuk memberikan fatwa tentang bolehnya umat Islam menggunakan logika. Oleh para ulama kontemporer pun Al Ghazali kemudian dianggap “ulama Platonis” karena karya-karyanya seperti Ihya Ulumuddin sangat merefleksikan pemikiran al Ghazali yang terpengaruh logika Aristoteles dan pemikiran Plato. Hal ini bisa kita simpulkan dari pandangan al Ghazali tentang Pengetahuan (Ilmu) yang merupakan salah satu bab dalam karya terbesarnya tersebut.

Logika Bertentangan Dengan Agama? Bila dilihat secara kontekstual, ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan dan ambil kesimpulan untuk kemudian bisa memilah substansi dari kontroversi yang terjadi dikalangan umat Islam tentang masalah logika dan agama yang seolah bertentangan. Pertama, para ulama fiqh maupun pengikutnya yang mengharamkan logika ini sebenarnya juga menggunakan logika. Karena itu pengkafiran mereka terhadap para filsuf (ulama Ushul) dan pengikutnya yang mengharuskan penggunaan logika adalah juga (sebenarnya) pengkafiran terhadap mereka sendiri. Karena untuk sampai pada kesimpulan dan menilai sesuatu itu menjadi benar atau tidak benar, mereka juga menggunakan kaidah kaidah logika (walaupun secara tak sadar).

Pengingkaran mereka terhadap prinsip-prinsip dalam logika, semisal prinsip Non Kontradiksi, menjadikan prinsip tersebut tidak benar (salah). Jika prinsip Non Kontradiksi yang menjadi salah satu prinsip dasar logika Aristotelian tersebut mereka salahkan, maka semua pernyataan mereka akhirnya menjadi tidak bermakna. Mengingkari prinsip Non Kontradiksi menjadikan mereka harus mengakui prinsip Kontradiksi.

Jika sudah begitu, pendapat mereka berarti bisa benar sekaligus tidak benar. Kebenaran pun akhirnya menjadi relatif. Kebenaran yang diungkap oleh para ulama fiqh tentang haramnya penggunaan Logika akhirnya juga harus menjadi relatif alias biasa benar bisa salah. Padahal, dalam masalah epistemologi dan prinsip-prinsip filosofis, Islam berpegang pada pada prinsip kebenaran mutlak (absolutisme) dan bukan relatifisme.

Kedua, dengan semakin berkembangnya wawasan dan pengetahuan serta semakin pahamanya kita terhadap konteks permasalahan seputar kontroversi ini, wajar jika kemudian kita umat Islam sekarang ini mempunyai kepedulian terhadap masalah penggunaan logika. Menggunakan logika tidak akan menjadikan kita kafir, termasuk menggunakan logika dalam memecahkan masalah-masalah agama. Justru dengan Logikalah kita bisa memahami banyak persoalan agama dan menentukan hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah-masalah keagamaan.

Urgensi Studi Logika Pengaruh adanya “pengkafiran” terhadap mereka yang menggunakan akalnya memang masih terasa sampai kini. Di pusat-pusat pendidikan maupun organisasi Islam yang mengkhususkan mencetak kader-kader cendekiawan muslim, kita masih jarang menemui adanya studi logika yang menjadi kurikulum wajib organisasi atau institusi pendidikan tersebut. Pengkajian materi ilmu logika yang dipelajari secara akademik agaknya masih menjadi barang langka Organisasi atau institusi pendidikan Islam lebih banyak mengenalkan studi Islam dalam wajah fiqh dan akhlaq. Kurikulum pendidikan pun hanya berisi studi tentang bagaimana membaca quran dengan baik dan benar (tajwid), bagaimana menguasai rukun Islam dan beberapa aturan fiqh praktis semisal bersuci dan shalat atau berpuasa agar tidak batal, serta bagaimana bisa memiliki akhlaq tertentu yang dianggap baik semisal bersabar, bersyukur dan bersikap ramah (lemah lembut).

Kajian-kajian keislaman dengan muatan materi fiqh dan akhlaq an sich, ujung-ujungnya menjadi sangat klise dan membosankan. Tidak menambah wawasan sedikit pun. Organisasi Islam dan kader-kadernya menjadi jauh tertinggal dalam wacana. Terjadi stagnasi pemikiran. Bahan diskusinya sangat tidak up to date dan dari tahun ke tahun yang itu-itu juga. Padahal untuk mencetak aktifis-aktifis dan cendekiawan muslim yang maju dan tercerahkan, kita perlu membekalinya dengan ilmu logika dan pemahaman filsafat yang bagus. Sehingga mereka mampu melihat substansi-substansi dari berbagai persoalan kontemporer dan mempunyai analisis tajam untuk kemudian mencari solusi yang tepat. Dengan logikalah mereka akan menjadi aktifis yang kritis rasional, mampu berpikir mendalam

Kondisi masih langkanya studi Logika yang dijadikan kurikulum wajib organisasi atau institusi pendidikan Islam saat ini sangat tidak menguntungkan bagi perkembangan tradisi intelektual Islam di masa mendatang. Persoalan hidup manusia kontemporer dan isu-isu yang berkembang di dalamnya tidaklah sesederhana dulu. Bila logika tak dipelajari secara akademik, akan sulitlah umat Islam menghadapi tantangan budaya posmodernis dan isu-isu budaya lainnya. Umat masih akan terus berkutat dalam kerancuan berpikir, overgeneralisasi dalam melihat fenomena di dunia luar, merasa teralienasi, terasing dalam peradaban umat manusia, dan hidup eskapis. Naudzubillah min dzalik.

DEMOKRASI DAN ISLAM


Demokrasi dan Islam berkesusaian? Tema inilah yang akan kita bahas habis di dalam makalah ini. Karena kita mengetahui bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan yang mengutamakan kepentingan rakyat dan juga agama islam sangat mengutamakan umat/rakyat. Tapi sekarang ini jika kita melihat dalam pandangan dunia demokrasi selalu di indentikkan oleh negara barat dan pemerintahan islam selalu indentik dengan negara timur dan negara timur selalu di indentikkan anti barat. Maka dari itu makalah ini membahas apakah demokrasi itu ada dalam konsep ajaran islam? / apakah demokrasi dan islam itu berkesusaian?

Dalam membahas ini kita mengambil 3 tokoh agamawan sekaligus politikus yang aktif dalam gerakan pemerintahan dan pemikiran-pemikirannya juga banyak memberikan pelajaran kepada negara-negara islam mengenai demokrasi dan islam. Ketiga tokoh ini selain mempunyai wawasan tentang agama yang luas juga mempunyai ilmu pemerintahan yang bagus sehingga dapat merealisasikan islam dengan negara yaitu Mohammad Natsir,Maududi dan Tariq Ramadhan. Ketiganya adalah tokoh yang pemikirannya di pandang oleh orang-orang baik di dalam negeri maupun dunia. Karena pemahamannya yang luas tentang agama tidak hanya ajaran yang bersifat ritual saja tetapi agama juga mengatur pemerintahan. Sehingga dapat terbentuk negara yang mempunyai konsep Theokrasi yaitu kekuasaan hukum berada pada Tuhan, karena Tuhanlah yang maha mengetahui.














DEMOKRASI DAN ISLAM

Demokrasi banyak negara yang menggunakan sistem pemerintahan demokrasi karena dianggap bahwa demokrasilah bentuk pemerintahan yang paling adil karena selalu mengutamakan rakyat. Karena pemerintahan terdiri dari rakyat yang begitu banyak maka kepuasan dan kenyamanan rakyat adalah tujuan dari sebuah negara menjaga warganya agar aman dan damai. Sehingga bisa dibilang kekuasaan ada di tangan rakyat, karena kebanyakan yang kita lihat di negara-negara yang tidak menerapkan sistem demokrasi rakyat menjadi tertindas karena tidak keberdayaannya, dan menjadi tidak punya harapan karena kelemahan yang dibuat oleh penguasa terjadi kesenjangan sosial yang begitu besar antara rakyat dan penguasa yang menindas tersebut. Demokrasi selalu mengutamakan rakyat, rakyatlah yang menjadi raja. Sehingga kekuatan selalu berada di tangan rakyat.

Islam adalah negara yang dibawa oleh Muhammad saw dalam membawa agama Islam nabi Muhammad saw tidak seperti nabi Isa as yang hanya menjadi pengajar agama bagi bani israil tetapi Muhammad saw juga menjadi pemimpin dalam pemerintahan arab jadi yang dibawanya tidak hanya ajaran agama tetapi agama yang dapat direalisasikan dalam segala hal termasuk pemerintahan maka dari itu nabi Muhammad saw menjadi pemimpin agama juga menjadi pemimpin suatu pemerintahan negara. Negara yang dibuatnya adalah negara yang penuh dengan asas-asas ketuhanan karena hukum yang digunakan oleh negara itu ialah huku Tuhan / hukum Islam karena Al-Quran adalah wahyu tuhan dan hukum sumber utamanya adalah Al-Quran maka hukum yang digunakan ialah hukum Tuhan. Sehingga Islam dapat direalisasikan juga dengan sebuah bukanlah hanya sekedar ajaran agama yang sempit.

Penjelasan demokrasi dan Islam telah kita pahami bersama karena keduanya saling berkaitan maka kita akan membahas habis pemikiran-pemikiran yang menghubungkan keduanya itu dengan menganalisis pemikiran-pemikiran Mohammad Natsir,Maududi dan Tariq Ramadhan.

Mohammad Natsir

Mohammad Natsir adalah seorang nasionalis Indonesia yang sangat terkenal sehingga dapat dengan mudah kita dapati buku-bukunya di indonesia yang membahas tentang pemikiran dari seorang tokoh Mohammad Natsir tersebut. Negara Indonesia adalah negara demokrasi dan mayoritas penduduk Indonesia ialah muslim apakah demokrasi itu bisa diterapkan di indonesia yang mayoritas penduduknya ialah muslim? Inilah yang akan kita bahas dari pemikiran-pemikiran dari Mohammad Natsir tersebut.

Bagi Natsir, agama (baca: Islam) tidak dapat dipisahkan dari negara. Ia menganggap bahwa urusan kenegaraan pada pokoknya merupakan bagian integral risalah Islam. Dinyatakannya pula bahwa kaum muslimin mempunyai falsafah hidup atau idiologi seperti kalangan Kristen, fasis, atau Komunis. Natsir lalu mengutip nas Alquran yang dianggap sebagai dasar ideologi Islam (yang artinya), “Tidaklah Aku jadikan jin dan manusia melainkan untuk mengabdi kepada-Ku.” (51: 56). Bertitik tolak dari dasar idiologi Islam ini, ia berkesimpulan bahwa cita-cita hidup seorang Muslim di dunia ini hanyalah ingin menjadi hamba Allah agar mencapai kejayaan dunia dan akhirat kelak. (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 436)

Mohammad Natsir memahami betul ajaran-ajaran dari agama Islam yang juga mencakup segala hal termasuk pemerintahan. Maka dari itu Mohammad Natsir menganggap bahwa agama islam dan negara tidak dapat dipisahkan tetapi yang menjadi maslaah ialah bahwa di dalam negara Indonesia terdiri beragam ras dan agama yang tidak hanya beragama Islam. Islam hanyalah agama mayoritas dari agama-agama yang ada di Indonesia. Sehingga pemerintahan yang dibentuk jika dengan negara Islam dinilai tidak adil dengan agama yang lain, padahal Indonesia adalah negara demokrasi yang sangat menjunjung keadilan bagi warga negaranya Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Menurut Natsir, ketidakfahaman terhadap negara Islam, negara yang menyatukan agama dan politik, pada dasarnya bersumber dari kekeliruan memahami gambaran pemerintahan Islam. “Kalau kita terangkan, bahwa agama dan negara harus bersatu, maka terbayang sudah di mata seorang bahlul (bloody fool) duduk di atas singgahsana, dikelilingi oleh “haremnya” menonton tari “dayang-dayang”. Terbayang olehnya yang duduk mengepalai “kementerian kerajaan”, beberapa orang tua bangka memegang hoga. Sebab memang beginilah gambaran ‘pemerintahan Islam’ yang digambarkan dalam kitab-kitab Eropa yang mereka baca dan diterangkan oleh guru-guru bangsa barat selama ini. Sebab umumnya (kecuali amat sedikit) bagi orang Eropa: Chalifah = Harem; Islam = poligami.” (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 438).

Jadi, Islam memang tidak pernah bersatu dengan negara sebagaimana diduga Soekarno maupun Kemal.Dengan logika seperti ini, Natsir menilai bahwa sikap mendukung Soekarno terhadap gagasan pemisahan agama dari negara tidak tepat. Kata Natsir lebih lanjut, “Maka sekarang, kalau ada pemerintahan yang zalim yang bobrok seperti yang ada di Turki di zaman Bani Usman itu, bukanlah yang demikian itu, yang kita jadikan contoh bila kita berkata, bahwa agama dan negara haruslah bersatu. Pemerintahan yang semacam itu tidaklah akan dapat diperbaiki dengan “memisahkan agama” daripadanya seperti dikatakan Ir. Soekarno, sebab memang agama, sudah lama terpisah dari negara yang semacam itu.” (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 440).

Mohammad Natsir tetap mengkritik pemerintahan Demokrasi yang terpisah dari agama tersebut. Mohammad Natsir disini hendak menghilangkan citra jelek dari penyatuan agama Islam dengan negara yang dilakukan oleh negara-negara Islam yang hasilnya adalah buruk. Saya sangat setuju dengan yang dilakukan oleh Mohammad Natsir karena di zaman Rasulullah saw pun juga ada agama-agama yang lain seperti Nasrani,Yahudi dan Majusi tetapi dengan berdirinya negara Islam hukum-hukum negara dan pemerintahan dapat berjalan dengan baik karena yang menjalankan adalah seorang figur yang menjalankan syariat dengan kaffah maka dari itu dapat terealisasikan dengan baik maka hasilnya baik

Dengan tegas pula Natsir mengemukakan bahwa Islam adalah suatu pengertian, suatu paham, suatu begrip sendiri, yang mempunyai sifat-sifat sendiri pula. Islam tak usah demokrasi 100%, bukan pula otokrasi 100%, Islam itu … yah Islam. (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 453).

Maka dari itu Mohammad Natsir mengkritik habis demokrasi yang memisahkan agama dengan negara. Tetapi menurut saya Mohammad Natsir tidak dapat mendirikan negara seperti itu pada indonesia, memang konsep yang dibawa oleh Mohammad Natsir adalah benar tetapi karakter yang ada di indonesia tidaklah seperti di zaman nabi Muhammad saw dahulu yang telah kuat keimanannya. Konsep itu hanya dapat dijalankan jika kualitas umat islam yang ada di indonesia dapat seperti itu karena nantinya pemerintahan yang dibuat akan tidak jauh beda dengan pemerintahan yang ada di turky. Yang menjadi citra jelek atas agama islam yang menyatu dengan negara.


AL-MAUDUDI

Al-Maududi adalah salah satu tokoh di dunia yang ingin menyatuka agama dengan Islam tetapi banyak melihat orang jika memikirkan tentang pemikiran tokoh yang satu ini adalah ke ekstremannya dalam ambisinya ingin menyatukan negara dengan islam .

Konsep khilafah sebenarnya amat berkaitan dengan konsep Daulah al-Islam-Dar al-Islam secara menyuluh di seluruh dunia. Daulah Islam di masa silam amat berhasil dalam mengembangkan dakwah dan menegakkan syariat. Mendirikan Daulah Islamiyah adalah wajib syar’i dan didukung banyak ayat al-Quran dan al-Hadits yang membicarakannya karena daulah Islam dan pemerintahan Islam yang akan melindungi Islam secara utuh. Menurut Yusuf al-Qardhawi memiliki karekteristik Daulah Islam yang intinya adalah sebagai berikut: “Daulah Madaniyah yang merujuk pada Islam, bersekala internasional, berdasarkan konstitusi dan hukum syariah, berdasarkan musyawarah dan bukan kekuasaan ala kisra, daulah pemberi petunjuk dan bukan pengumpul pajak, melindungi orang-orang lemah, melindungi hak dan kebebasan, daulah yang berprinsip pada akhlak. Sementara itu, tabiat Daulah Islam adalah bukan daulah teokrat,tapi pemerintahan sipil.” (Yusuf Qardawi, Daulah Islamiah, 2000, hal. 40)

Inilah konsep yang jadi dasar oleh Maududi menurut Maududi dengan konsep khilafah maka islam akan berhasil dan dapat melindungi umatnya dan dapat dipandang oleh negara seluruh dunia dengan penyatuan antara Islam dan Negara, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah saw.

Seperti dapat diduga dari istilahnya, konsep theo-demokrasi adalah akomodasi ide theokrasi dengan ide demokrasi. Namun, ini tak berarti al-Maududi menerima secara mutlak konsep theokrasi dan demokrasi ala Barat. Al-Maududi dengan tegas menolak teori kedaulatan rakyat (inti demokrasi), berdasarkan dua alasan. Pertama, karena menurutnya kedaulatan tertinggi adalah di tangan Tuhan. Tuhan sajalah yang berhak menjadi pembuat hukum (law giver). Manusia tidak berhak membuat hukum. Kedua, praktik “kedaulatan rakyat” seringkali justru menjadi omong kosong, karena partisipasi politik rakyat dalam kenyataannya hanya dilakukan setiap empat atau lima tahun sekali saat Pemilu. Sedang kendali pemerintahan sehari-hari sesungguhnya berada di tangan segelintir penguasa, yang sekalipun mengatasnamakan rakyat, seringkali malah menindas rakyat demi kepentingan pribadi (Amien Rais, 1988:19-21).


Seperti halnya dengan Mohammad Natsir Maududi mengkritik keras sistem demokrasi tetapi berbeda dengan mohammad Natsir. Jika Mohammad Natsir hanyalah mengkritik praktik dari demokrasi tersebut bahwa sistem Deokrasi adalah baik tetapi penyatuan islam dan negara juga dapat dijalankan dengan sistem demokrasi tetapi Maududi mengkritik sistem demokrasi secara keseluruhan. Karena bagi Maududi yang diajarkan oleh islam adalah sistem khilafah dan telah terbukti di zaman Rasulullah saw bahwa sistem khalifah yang dibawa oleh islam adalah berhasil menyatukan negara dan islam. Disini menurut saya pemikiran Maududi terlalu sempir memandang islam sebenarnya Islam di zaman sekarang dapat di intrepetasikan kedalam segala hal karena mengikuti perkembangan zaman.

TARIQ RAMADHAN

Tariq Ramadhan yang namanya sangat terkenal bagi cendikiawan muslim sebagai tokoh muslim di dunia barat yang pemikirannya sangat cemerlang bagi kehidupan muslim yang tinggal di barat. Tariq Ramadhan di dalama pemikirannya selalu ingin menjadikan umat muslim yang memiliki kehidupan di barat agar diterima oleh mayoritas tanpa menghilangkan identitas kemuslimannya.

Begitu juga yang Khalifah Ali lakukan dalam menyikapi permasalah-permasalahan yang berkaitan dengan sosial-politik. Beliau sebagai pemimpin memiliki kewajiban dan hak pada rakyat sebagaimana rakyat pun memiliki kewajiban dan hak pada seorang pemimpin. Beliau berkata: Adalah hak anda untut menuntut bahwa saya tidak akan menyembunyikan sesuatu dari anda, kecuali soal perang. Dan bahwa saya tidak akan menjalankan urusan-urusan (tanpa konsultasi dan sepengetahuan anda) kecuali yang berkaitan dengan hukum-hukum ilahiyah (Ahmed Vaezi, Agama Politik Nalar Politik Islam, Penerbit Citra, 2006, h. 242).

Seperti yang kita ketahui bahwa Tariq Ramadhan adalah pemikir yang membela Islam bahwa dengan demokrasi dapat di realisasikan. Menurutnya walaupun demokrasi tidak ada di dalam al-quran tetapi bukan berarti demokrasi tidak dapat dijalankan sebagai jawaban adanya dugaan oleh orang-orang yang berpikiran sekularisasi. Pemikiran dari Tariq Ramadhan hampir sama dengan pemikiran dari Mohammad Natsir mengenai Demokrasi bahwa Demokrasi dapat dijalankan dengan cara Islam berbeda dengan pendapat dari Maududi bahwa bahwa hanya sistem khilafah sajalah yang dapat mengembalikan kejayaan Islam di zaman Rasulullah saw dan dapat dipandang oleh dunia internasional bahwa negara dengan sistem khalifah dapat melindungi umatnya sebagaimana di zaman Rasulullah saw.

Prinsip pertama, menghormati hukum. Islam memiliki kejelasan hukum-hukum yang ada pada syari’at. Di mana hukum-hukum ini hampir mencakup segala bidang. Tidak dapat kita katakan karena Islam adalah suatu agama sehingga hukum-hukumnya pun hanya bersifat keagamaan saja. Pada kenyataanya kita akan menemukan bahwa hukum-hukum yang ada di dalamnya juga berkenaan dengan kehidupan sosial dan negara. “Siapa pun yang pernah membaca Piagam Madinah yang pertama akan yakin bahwa dari awal, Islam telah memikirkan organisasi sosial dan politiknya untuk berada di seputar hukum.” (Tariq Ramadhan, Menjadi Modern Bersama Islam, TERAJU, 2003, h. 118.)

Dari perkataan tersebut dapat kita ketahui bahwa Tariq Ramadhan benar-benar mengimani bahwa Islam dapat di intrepetasi di setiap zaman dengan segala hal. Lain halnya dengan para sekularisasi yang tidak sependapat bahwa islam dan demokrasi tidak dapat bersatu. Jadi hukum islam bukan hanya untuk orang islam saja tetapi di zaman Rasulullah saw pun terdapat berbagai macam suku dan agama dan hukum-hukum yang ditegakkan hukum islam tidak hanya mencakup orang islam saja tetapi secara keseluruhan baik dia beragama yahudi maupun nasrani.

Maka dari itu kita dapat melihat bahwa hukum-hukum dan ajaran-ajaran di dalam alquran mempunyai fleksibelitas karena al-quran juga menjelaskan bahwa di dalam al-quran juga keberadaan agama-agama seperti yahudi dan nasrani juga ada di dalam kehidupan di zaman Rasulullah saw hidup sebagai pemimpin agama dan juga sebagai pemimpin ajaran agama jadi bukan berarti karena Rasulullah saw membawa islam dalam kehidupan bani arab bukan berarti hanya orang yang beragama islam yang dilindungi tetapi semua agamapun mendapatkan haknya sama. Begitu juga dengan demokrasi ala islam jika ini diterapkan bukanlah pendiskriminasian agama-agama yang lain.


KESIMPULAN

Kita mengetahui bahwa semua isi dalam Al-Quran adalah bersifat universal dan tidak mencakup suku dan suatu kelompok tertentu karena al-quran dan ajaran islam diturunkan untuk seluruh manusia sehingga hukum-hukum yang terdapat dalam al-quran adalah bermanfaat buat seluruh manusia. Al-quran hanya menjelaskan mengenai Grand Theory yang bersifat universal dan sehingga yang partikularnya dengan berbagai cara asal tidak keluar dari garis konteks garis besar yang ada dalam al-quran. Karena konsep yang ada dalam al-quran dapat direalisasikan dalam banyak cara asal sesuai dengan ajaran al-quran bukan berarti jika Rasulullah saw tidak pernah melaksanakan hal tersebut, di zaman kita penerapan itu bukan berarti menyalahi yang Rasulullah sae ajarkan. Demokrasi walaupun identik dengan negara barat tetapi dapat

“Apakah yang sebaik-baik jihad?” Rasulullah menjawab “mengatakan barang yang hak terhadap sultan yang dzalim”. (H.R. Nasai)

apabila orang melihat sesorang melihat kedzaliman akan tetapi mereka biarkan, tidak mereka betulkan, azabnya jatuh kepada mereka semua, baik si dzalim maupun orang-orang yang membiarkan berlakunya kedzaliman itu” (H.R Abu Daud dan Turmudzi)

inilah garis besar yang diajarkan oleh islam bukan berarti jika suatu negara islam melaksanakan demokrasi berarti menyalahi apa yang islam ajarkan. Karena demokrasi yang ada dalam islam tidaklah sama dengan demokrasi yang diadopsi oleh barat. Kita dapat memiliki demokrasi yang menjadi ciri khas islam tanpa menghilangkan identitas dari keislaman. Maka dari itu bukan berarti jika kita mengadopsi paham demokrasi kita mengabdi pada barat dan mengikuti pemikiran dari filosof barat akan tetapi itulah yang di zaman kita diperlukan karena semua hukum dalam islam bersumber pada al-quran dan as-sunnah sehingga demokrasi pun yang di buat di dalam islam tidak akan keluar dalam hal tersebut. Yang jelas islam bermakna universal sehingga dapat mencakup dari semua aspek tidaklah sempit makna-makna yang ada dalam al-quran.




REFERENSI


Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 436
Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 438
Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 440
Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 453
Yusuf Qardawi, Daulah Islamiah, 2000, hal. 40
Amien Rais, 1988:19-21
Ahmed Vaezi, Agama Politik Nalar Politik Islam, Penerbit Citra, 2006, h. 242
Tariq Ramadhan, Menjadi Modern Bersama Islam, TERAJU, 2003, h. 118
H.R. Nasai
H.R Abu Daud dan Turmudzi

ORIENTALISME dan ALQURAN


150%;">ORIENTALISME AL-QURAN

Kalangan orientalis seperti Arthur Jeffery dan kawan-kawan bersemangat ingin “mengkorupsi” keotentikan Al-Quran. Namun hingga kini tetap kokoh “Sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan studi kritis terhadap teks Al-Quran sebagaimana telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani,” kutipan ini adalah pernyataan Alphonse Mingana, seorang pendeta Kristen asal Iraq dan mantan guru besar di Universitas Birmingham, Inggris. Pernyataan itu ia sampaikan tahun 1927.

Mengapa pendeta Kristen yang juga orientalis ini mengatakan seperti itu? Tentu saja, ia bukan sedang bergurau. Pernyataan orientalis-missionaris satu ini karena dilatarbelakangi oleh kekecewaan sarjana Kristen dan Yahudi terhadap kitab suci mereka dan juga disebabkan oleh kecemburuan mereka terhadap umat Islam dan kitab suci nya Al-Quran.

Perlu diketahui mayoritas ilmuwan dan cendekiawan Kristen telah lama meragukan otentisitas Bible. Mereka harus menerima kenyataan pahit bahwa Bible yang ada di tangan mereka sekarang ini terbukti bukan asli alias palsu. Terlalu banyak campur-tangan manusia di dalamnya, sehingga sukar untuk dibedakan mana yang benar-benar Wahyu dan mana yang bukan.

Pernyataan ini pernah disampaikan oleh Kurt Aland dan Barbara Aland, dalam The Text of the New Testament (Michigan: Grand Rapids, 1995). Menurut Barbara, sampai pada permulaan abad keempat, teks Perjanjian Baru dikemmengembangkan secara leluasa. Yang jelas banyak yang melakukan koreksi.

Pandangan seperti ini tidaklah sendiri. Saint Jerome, seorang rahib Katolik Roma yang belajar teologi juga mengeluhkan fakta banyaknya penulis Bible yang diketahui bukan menyalin perkataan yang mereka temukan, tetapi malah menuliskan apa yang mereka pikir sebagai maknanya. Sehingga yang terjadi bukan pembetulan kesalahan, tetapi justru penambahan kesalahan.

“Mereka menuliskan apa yang tidak ditemukan tapi apa yang mereka pikirkan artinya; selagi mereka mencoba meralat kesalahan orang lain, mereka hanya mengungkapkan dirinya sendiri,” ujar Jerome sebagaimana dikutip dalam The Text of the New Testament: Its Transmission, Corruption and Restoration (1992).

Disebabkan kecewa dengan kenyataan semacam itu, maka pada tahun 1720 Master of Trinity College, R. Bentley, menyeru kepada umat Kristen agar mengabaikan kitab suci mereka, yakni naskah Perjanjian Baru yang diterbitkan pada tahun 1592 versi Paus Clement. Seruan tersebut kemudian diikuti oleh munculnya "edisi kritis" Perjanjian Baru hasil suntingan Brooke Foss Westcott (1825-1903) dan Fenton John Anthony Hort (1828-1892).

Tentu saja Mingana bukan yang pertama kali melontarkan seruan semacam itu, dan ia juga tidak sendirian. Jauh sebelum dia, tepatnya pada tahun 1834 di Leipzig (Jerman), seorang orientalis bernama Gustav Fluegel menerbitkan 'mushaf' hasil kajian filologinya. Naskah yang dibuatnya itu ia namakan Corani Textus Arabicus. Naskah ini sempat dipakai “tadarrus” oleh aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL). Selain Flegel, datang Theodor Noeldeke yang berusaha merekonstruksi sejarah Al-Quran dalam karyanya Geschichte des Qorans (1860), sebuah upaya yang belakangan ditiru oleh Taufik Adnan Amal, juga dari Jaringan Islam Liberal (JIL).

Kemudian muncul Theodor Noeldeke yang ingin merekonstruksi sejarah Al-Quran dalam karyanya Geschichte des Qorans (1860), sebuah upaya yang belakangan ditiru oleh segelintir kaum Liberal di Indonesia.

Juga Arthur Jeffery yang datang tahun 1937 yang berambisi membuat edisi kritis Al-Quran, mengubah Mushaf Utsmani yang ada dan menggantikannya dengan mushaf baru. Orientalis asal Australia yang pernah mengajar di American University Cairo dan menjadi guru besar di Columbia University ini, konon ingin merestorasi teks Al-Quran berdasarkan Kitab al-Masahif karya Ibn Abi Dawuud as-Sijistaani yang ia anggap mengandung bacaan-bacaan dalam ‘mushaf tandingan’ (ia istilahkan dengan ‘rival codices’). Jeffery bermaksud meneruskan usaha Gotthelf Bergstraesser dan Otto Pretzl yang pernah bekerja keras mengumpulkan foto lembaran-lembaran (manuskrip) Al-Quran dengan tujuan membuat edisi kritis Al-Quran (tetapi gagal karena semua arsipnya di Munich musnah saat Perang Dunia ke-II berkecamuk), sebuah ambisi yg belum lama ini di “amini” kan oleh Taufik Amal dari JIL. Saking antusiasnya terhadap qira’aat-qira’aat pinggiran alias ‘nyleneh’ (Nichtkanonische Koranlesarten) Bergstraesser lalu mengedit karya Ibn Jinni dan Ibn Khalaawayh.

Kajian orientalis terhadap kitab suci Al-Quran tidak sebatas mempertanyakan otentisitasnya. Isu klasik yang selalu diangkat adalah soal pengaruh Yahudi, Kristen, Zoroaster, dan sebagainya terhadap Islam maupun isi kandungan Al-Quran (theories of borrowing and influence). Sebagian mereka bahkan berusaha mengungkapkan apa saja yang bisa dijadikan bukti bagi 'teori pinjaman dan pengaruh' itu, terutama dari literatur dan tradisi Yahudi-Kristen (semisal Abraham Geiger, Clair Tisdall, dan lain-lain). Ada pula yang membandingkan ajaran Al-Quran dengan adat-istiadat Jahiliyyah, Romawi dan lain sebagainya. Biasanya mereka katakan bahwa cerita-cerita dalam Al-Quran banyak yang keliru dan tidak sesuai dengan versi Bible yang mereka anggap lebih akurat.

Sikap anti-Islam ini tersimpul dalam pernyataan negatif seorang orientalis Inggris yang banyak mengkaji karya-karya sufi, Reynold A. Nicholson, " “Muhammad picked up all his knowledge of this kind [i.e. Al-Quran] by hearsay and makes a brave show with such borrowed trappings-largely consisting of legends from the Haggada and Apocrypha.” Tapi, bagaimanapun, segala upaya mereka tak ubahnya bagaikan buih, timbul dan pergi begitu saja, berlalu tanpa pernah berhasil mengubah keyakinan dan penghormatan umat Islam terhadap kitab suci Al-Quran, apatah lagi membuat mereka murtad.

ORIENTALISME

Terlalu banyak manfaat yang bisa diambil dari khazanah orientalisme. Studi mereka tentang Qur’an, Hadis, dan sejarah Nabi merupakan bekal yang sangat berharga bagi kita untuk mengungkapkan misteri masa-masa awal sejarah Islam. Dengan metodologi dan standar akademi yang ketat, para ahli Islam dari Barat itu menggali hal-hal yang kerap diabaikan kaum muslim.

Sejak Edward Said melakukan serangan terhadap orientalisme, studi kritis tentang sejarah pembentukan Islam menjadi sebuah anatema (sesuatu yang kurang disukai). Sarjana muslim yang hendak melakukan studi kritis terhadap Alquran, atau Hadis, atau sejarah Nabi Muhammad, akan ragu, karena mereka khawatir disamakan dengan para orientalis yang memang memiliki citra sangat buruk di dunia Islam.

Dengan beban psikologis seperti itu, studi kritis terhadap sumber-sumber Islam klasik tak bisa lagi dilakukan secara bebas. Para sarjana Islam yang mencoba melakukan kritik terhadap tradisi Islam klasik merasa perlu terlebih dahulu melakukan “disclaimer” bahwa mereka bukanlah orientalis dan apa yang mereka lakukan sesungguhnya demi kebaikan peradaban Islam, dan bukan karena membela kepentingan Barat atau orientalisme.

Beban psikologis itu tentu amat menganggu, menguras energi dan waktu. Alih-alih memfokuskan diri kepada pokok pembahasan, para sarjana muslim disibukkan berdebat tentang hal-hal yang sama sekali tidak pokok. Padahal, kalau mereka langsung masuk ke pangkal permasalahan tanpa terlalu mempersoalkan dari mana sebuah metode ilmu didapat, maka banyak hal yang bisa dilakukan dengan segera.

Hal itu, tentu saja bukan sama sekali untuk menghilangkan sikap kritis kita terhadap para orientalis atau orientalisme secara umum. Namun, berhenti pada pembahasan orientalisme, seperti yang dilakukan Edward Said, bukanlah pekerjaan yang produktif dan berguna bagi agenda pembaruan dan pencerahan Islam.

Terlalu banyak manfaat yang bisa diambil dari khazanah orientalisme. Studi mereka tentang Qur’an, Hadis, dan sejarah Nabi merupakan bekal yang sangat berharga bagi kita untuk mengungkapkan misteri masa-masa awal sejarah Islam. Dengan metodologi dan standar akademi yang ketat, para ahli Islam dari Barat itu menggali hal-hal yang kerap diabaikan kaum muslim.

Studi mereka tentang sejarah Alquran misalnya, sangat padat dan kaya dengan rujukan sumber-sumber Islam klasik. Penguasaan mereka akan bahasa Arab dan peradaban Mediterania membantu kita dalam mengeksplorasi hal-hal yang selama ini tercecer dalam tumpukan kitab-kitab klasik. Dengan bantuan para orientalis, kita dapat melihat secara lebih komprehensif lagi sejarah pembentukan Alquran.

Satu hal yang kerap diabaikan (atau sengaja diabaikan) kaum muslim adalah bahwa para orientalis itu juga merujuk buku-buku klasik yang bisa ditelusuri dan dibuktikan. Saya pernah mengecek sebagian sumber-sumber kitab klasik yang dirujuk Arthur Jeffrey, Theodor Noldeke, dan John Wansbrough dalam studi mereka tentang sejarah Alquran. Sejauh menyangkut data, tak ada satupun kekeliruan yang mereka perbuat. Semuanya tepat dan mengagumkan.

Saya kemudian malah jadi bertanya-tanya, betapa banyak data dalam sejarah Alquran yang disembunyikan ulama konservatif. Atau saya curiga jangan-jangan mereka memang tidak tahu akan wacana yang begitu kompleks dalam literatur sejarah Alquran. Padahal, pandangan-pandangan yang kerap dituduh sebagai “ciptaan orientalis” sesungguhnya adalah fakta sejarah yang terekam dalam kitab-kitab mu’tabarah (rujukan).

Misalnya, dalam al-Fihrist karya Ibn Nadiem disebutkan bahwa surah Al-Fatihah bukanlah bagian dari Alquran; dalam Al-Itqan karya Jalaluddin al-Suyuthi disebutkan bahwa surah al-Ahzab semula berjumlah 200 ayat, tapi kemudian dipotong hingga kini hanya menjadi 73 ayat; dalam al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an karya Imam Zarkasyi disebutkan bahwa ada dua surah yang tidak dimasukkan dalam mushaf Uthmani, yakni surah al-Khul’ dan al-Hafd.

Data-data seperti itu diungkapkan dan didiskusikan secara obyektif oleh para orientalis, dan kita bisa langsung mengecek dan membuktikannya dengan merujuk kitab-kitab yang disebutkan. Akses terhadap kitab-kitab klasik itu kini semakin mudah karena sebagian besar sudah di-tahqiq dan diterbitkan.

Saya kira sudah saatnya kita kembali lagi kepada karya-karya orientalis tentang sejarah Alquran. Karya-karya itu akan menjadi penuntun yang baik bagi kita untuk mengetahui sejarah Alquran secara lebih komprehensif lagi.

Saya berpandangan, manfaat yang diwariskan tradisi keilmiahan orientalisme jauh lebih besar ketimbang mafsadahnya. Edward Said tak pernah memberikan sumbangan apa-apa bagi kajian keislaman. Dia hanya meluapkan kemarahannya kepada apa yang dia sebut sebagai “konspirasi orientalisme” atau “konspirasi Barat.” Tapi, kemarahan dan emosi bukanlah sebuah cara yang baik untuk menilai produk kesarjanaan.

SARJANA MULSIM

Al-Quran merupakan target utama serangan missionaris dan orientalis Yahudi-Kristen, setelah mereka gagal menghancurkan sirah dan sunnah Rasulullah saw. Mereka mempertanyakan status kenabian beliau, meragukan kebenaran riwayat hidup beliau dan menganggap sirah beliau tidak lebih dari legenda dan cerita fiktif belaka. Demikian pendapat Caetani, Wellhausen, dan lain-lain. Karena itu mereka sibuk merekonstruksi biografi Nabi Muhammad saw. khususnya dan sejarah Islam umumnya. Mereka ingin umat Islam melakukan hal yang sama seperti mereka telah lakukan terhadap Nabi Musa dan Nabi Isa a.s. Bagi mereka, Musa atau 'Moses' cuma tokoh fiktif belaka (invented, mythical figure) dalam dongeng Bibel, sementara tokoh ‘Jesus’ masih diliputi misteri dan cerita-cerita isapan-jempol.

Dalam logika mereka, jika ada upaya pencarian 'Jesus historis', mengapa tidak ada usaha menemukan fakta sejarah hidup Nabi Muhammad saw? Demikian seru mereka.

Muncullah Arthur Jeffery yang menulis The Quest of the Historical Mohammad, dimana ia tak sungkan-sungkan menyebut Nabi Muhammad saw sebagai "kepala perampok" (robber chief). Usaha Jeffery tersebut diteruskan oleh F. E. Peters dan belum lama ini dilanjutkan oleh seseorang yang menyebut dirinya "Ibn Warraq."

Missionaris-orientalis tersebut tidak menyadari bahwa tulisan mereka sebenarnya hanya menunjukkan hatred (kebusukan-hati) dan kebencian mereka terhadap tokoh dan agama yang mereka kaji, sebagaimana disitir oleh seorang pengamat; “The studies carried out in the West … have demonstrated only one thing : the anti-Muslim prejudice of their authors.”

Sikap semacam ini juga nampak dalam kajian Orientalis terhadap hadits. Mereka menyamakan Sunnah dengan tradisi apokrypha dalam sejarah Kristen atau tradisi Aggada dalam agama Yahudi. Dalam khayalan mereka, teori evolusi juga berlaku untuk sejarah hadits. Mereka berspekulasi bahwa apa yang dikenal sebagai hadits muncul beberapa ratus tahun sesudah Nabi Muhammad saw. wafat, bahwa hadits mengalami beberapa tahap evolusi. Nama-nama dalam rantai periwayatan (sanad) mereka anggap tokoh fiktif. Penyandaran suatu hadits secara sistematik (isnad), menurut mereka, baru muncul pada zaman Daulat Abbasiyyah. Karena itu, mereka beranggapan bahwa dari sekian banyak hadits hanya sedikit saja yang sahih, manakala sisanya kebanyakan palsu. Demikian pendapat Goldziher, Margoliouth, Schacht, Cook, dan para pengikutnya.

Pendapat ini telah banyak dikutip. Diantaranya dalam Muhammedanische Studien (Halle, 1889), On Muslim Tradition," Muslim World, II/2 (1912): 113-21; Alter und Ursprung des Isnad ," Der Islam, 8 (1917-18) juga Joseph Schacht dalam , A Revaluation of Islamic Traditions.” (Journal of the Royal Asiatic Society (1949)).

Umumnya para orientalis-missionaris menghendaki agar umat Islam membuang tuntunan Rasulullah saw. sebagaimana orang Kristen meragukan dan akhirnya mencampakkan ajaran Jesus.

Keaslian Al-Quran & Kesalahan Orientalis

Ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi dan perlu senantiasa diingat. Pertama, Al-Quran pada dasarnya bukanlah 'tulisan' (rasm atau writing) tetapi merupakan 'bacaan' (qira'ah atau recitation) dalam arti ucapan dan sebutan. Proses pewahyuannya maupun cara penyampaian, pengajaran dan periwayatannya dilakukan melalui lisan dan hafalan, bukan tulisan. Sejak zaman dahulu, yang dimaksud dengan 'membaca' Al-Quran adalah "membaca dari ingatan (qara'a 'an zhahri qalbin, atau to recite from memory)." Adapun tulisan berfungsi sebagai penunjang semata. Sebab ayat-ayat Al-Quran dicatat—yakni, dituangkan menjadi tulisan diatas tulang, kayu, kertas, daun, dan lain sebagainya—berdasarkan hafalan, bersandarkan apa yang sebelumnya telah tertera dalam ingatan sang qari’muqri’.

Proses transmisi semacam ini, dilakukan dengan isnaad secara mutawaatir dari generasi ke generasi, terbukti berhasil menjamin keutuhan dan keaslian Al-Quran sebagaimana diwahyukan oleh Malaikat Jibrial a.s kepada Nabi sallallaahu 'alaihi wa-sallam dan diteruskan kepada para Sahabat, demikian hingga hari ini.

Ini berbeda dengan kasus Bibel, di mana tulisan—manuscript evidence dalam bentuk papyrus, scroll, dan sebagainya—memegang peran utama dan berfungsi sebagai acuan dan landasan bagi Testamentum alias Gospel.

Jadi seluruh kekeliruan dan kengawuran orientalis bersumber dari sini. Orientalis seperti Jeffery, Wansbrough dan Puin, misalnya, berangkat dari sebuah asumsi keliru, menganggap Al-Quran sebagai ‘dokumen tertulis’ atau teks, bukan sebagai ‘hafalan yang dibaca’ atau recitatio. Dengan asumsi keliru ini (taking “the Qur’an as Text”) mereka lantas mau menerapkan metode-metode filologi yang lazim digunakan dalam penelitian Bibel, seperti historical criticism, source criticism, form criticism, dan textual criticism.

Akibatnya, mereka menganggap Al-Quran sebagai karya sejarah (historical product), sekedar rekaman situasi dan refleksi budaya Arab abad ke-7 dan 8 Masehi. Mereka juga mengatakan bahwa mushaf yang ada sekarang ini tidak lengkap dan berbeda dengan aslinya (yang mereka sendiri tidak tahu pasti!), dan karenanya perlu membuat edisi kritis (critical edition), merestorasi teks Al-Quran dan menerbitkan naskah baru berdasarkan manuskrip-manuskrip yang ada

Kedua, meskipun pada prinsipnya diterima dan diajarkan melalui hafalan, Al-Quran juga dicatat dengan menggunakan berbagai medium tulisan. Sampai wafatnya Rasulullah saw., hampir seluruh catatan-catatan awal tersebut milik pribadi para Sahabat Nabi dan karena itu berbeda kualitas dan kuantitasnya satu sama lain. Karena untuk keperluan masing-masing (for personal purposes only), banyak yang menuliskan catatan tambahan sebagai keterangan atau komentar (tafsir/glosses) di pinggir ataupun di sela ayat-ayat yang mereka tulis. Baru di kemudian hari, ketika jumlah penghafal Al-Quran menyusut karena banyak yang gugur di medan perang, usaha kodifikasi (jam') Al-Quran mulai dilakukan oleh sebuah tim yang dibentuk atas inisiatif Khalifah Abu Bakar as-Siddiq sehingga Al-Quran dikumpulkan menjadi sebuah mushaf, berdasarkan periwayatan langsung (first-hand) dan mutawattir dari Nabi saw. Setelah wafatnya Abu Bakar as-Siddiq r.a. (13 H/ 634 M), mushaf tersebut disimpan oleh Khalifah Umar r.a. sampai beliau wafat (23 H/ 644 M), lalu disimpan oleh Hafsah, sebelum kemudian diserahkan kepada Khalifah Utsman r.a. Pada masa beliaulah, atas desakan permintaan sejumlah Sahabat, sebuah komisi ahli sekali lagi dibentuk dan diminta mendata ulang semua qira’at yang ada, serta memeriksa dan menentukan nilai kesahihan periwayatannya untuk kemudian melakukan standarisasi bacaan demi mencegah kekeliruan dan mencegah perselisihan. Hasilnya dibukukan dalam beberapa mushaf standar yang masing-masing mengandung qira’at-qira’at mutawattir yang disepakati kesahihan periwayatannya dari Nabi saw. Jadi, sangat jelas fakta sejarah dan proses kodifikasinya.

Para orientalis yang ingin mengubah-ubah Al-Quran biasanya akan memulai dengan mempertanyakan fakta sejarah ini seraya menolak hasilnya, menganggap bahwa sejarah kodifikasi tersebut hanyalah kisah fiktif, dan mengatakan bahwa proses kodifikasi baru dilakukan pada abad ke-9 Masehi. Jeffery, misalnya, seenaknya mengatakan, "That he [i.e. Abu Bakr ra.] ever made an official recension as the orthodox theory demands is exceedingly doubtful." Ia juga mengklaim bahwa "…the text which Uthman canonized was only one out of many rival texts, and we need to investigate what went before the canonical text."

Ketiga, salah-faham tentang rasm dan qira'at. Sebagaimana diketahui, tulisan Arab atau khat mengalami perkembangan sepanjang sejarah. Pada kurun awal Islam, Al-Quran ditulis 'gundul', tanpa tanda-baca sedikitpun.

Sistem vokalisasi baru diperkenalkan kemudian. Meskipun demikian, rasm Utsmani sama sekali tidak menimbulkan masalah, mengingat kaum Muslimin saat itu belajar Al-Quran langsung dari para Sahabat, dengan cara menghafal, dan bukan dari tulisan. Mereka tidak bergantung pada manuskrip atau tulisan.

Orientalis seperti Jeffery dan Puin telah salah-faham dan keliru, lalu menyimpulkan sendiri bahwa teks gundul inilah sumber variant readings --sebagaimana terjadi dalam kasus Bibel-- serta keliru menyamakan qira'aat dengan 'readings', padahal qira'aat adalah 'recitation from memory' dan bukan 'reading the text'.

Mereka tidak tahu bahwa dalam hal ini kaedahnya adalah: tulisan harus mengacu pada bacaan yang diriwayatkan dari Nabi sallallaahu 'alaihi wa-sallam ("ar-rasmu taab'iun li ar riwaayah") dan bukan sebaliknya.

Orientalis seperti Jeffery dan kawan-kawan yang bersemangat ingin “mengkorupsi” keotentikan Al-Quran tidak mengerti atau sengaja tidak peduli bahwa Al-Quran tidak sama dengan Bibel; Al-Quran bukan lahir dari manuskrip, tapi sebaliknya; manuskrip lahir dari Al-Quran.

DAFTAR PUSTAKA

Adian Husaini, “Tamsil Anjing untuk Penjual Kebenaran”, Catataan Akhir Pekan (CAP) yang dimuat www. Hidayatullah.com

Adnin Armas, MA, Metode Bibel dalam Studi Al-Quran, GIP, Jakarta

Al-Qur’anul Karim, Departeman Agama RI

A’zami, M.M, Prof DR. The History of The Qur’anic Text – From Revelation to Compilation –(Sejarah Teks Al-Quran, Dari Wahyu Sampai Kompilasinya), GIP, 2005, Jakarta

Edward Said, Orientalism, Vintage Book, New York,

Ensiklopedi Islam 4, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta

Lutfie Assaukanie, Alquran dan Orientalisme.

http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=844, 05/07/2005

Muhammad Hamid An-Nashir, Darul Haq, Menjawab Modernisasi Islam

Dikutip dari : http://majalah-elfata.com

Philip k. Hitti, History of the Arabs, PT Serambi Ilmu Semesta 2006

Syamsuddin Arif, Al-Qur’an dan Orientalisme

http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=6350&Itemid=6

Five-Star Ratings Control

 

Levi Yamani Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger