Jumat, 13 Agustus 2010
DEMOKRASI DAN ISLAM
Diposting oleh
Levi Yamani
di
09.22
Demokrasi dan Islam berkesusaian? Tema inilah yang akan kita bahas habis di dalam makalah ini. Karena kita mengetahui bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan yang mengutamakan kepentingan rakyat dan juga agama islam sangat mengutamakan umat/rakyat. Tapi sekarang ini jika kita melihat dalam pandangan dunia demokrasi selalu di indentikkan oleh negara barat dan pemerintahan islam selalu indentik dengan negara timur dan negara timur selalu di indentikkan anti barat. Maka dari itu makalah ini membahas apakah demokrasi itu ada dalam konsep ajaran islam? / apakah demokrasi dan islam itu berkesusaian?
Dalam membahas ini kita mengambil 3 tokoh agamawan sekaligus politikus yang aktif dalam gerakan pemerintahan dan pemikiran-pemikirannya juga banyak memberikan pelajaran kepada negara-negara islam mengenai demokrasi dan islam. Ketiga tokoh ini selain mempunyai wawasan tentang agama yang luas juga mempunyai ilmu pemerintahan yang bagus sehingga dapat merealisasikan islam dengan negara yaitu Mohammad Natsir,Maududi dan Tariq Ramadhan. Ketiganya adalah tokoh yang pemikirannya di pandang oleh orang-orang baik di dalam negeri maupun dunia. Karena pemahamannya yang luas tentang agama tidak hanya ajaran yang bersifat ritual saja tetapi agama juga mengatur pemerintahan. Sehingga dapat terbentuk negara yang mempunyai konsep Theokrasi yaitu kekuasaan hukum berada pada Tuhan, karena Tuhanlah yang maha mengetahui.
DEMOKRASI DAN ISLAM
Demokrasi banyak negara yang menggunakan sistem pemerintahan demokrasi karena dianggap bahwa demokrasilah bentuk pemerintahan yang paling adil karena selalu mengutamakan rakyat. Karena pemerintahan terdiri dari rakyat yang begitu banyak maka kepuasan dan kenyamanan rakyat adalah tujuan dari sebuah negara menjaga warganya agar aman dan damai. Sehingga bisa dibilang kekuasaan ada di tangan rakyat, karena kebanyakan yang kita lihat di negara-negara yang tidak menerapkan sistem demokrasi rakyat menjadi tertindas karena tidak keberdayaannya, dan menjadi tidak punya harapan karena kelemahan yang dibuat oleh penguasa terjadi kesenjangan sosial yang begitu besar antara rakyat dan penguasa yang menindas tersebut. Demokrasi selalu mengutamakan rakyat, rakyatlah yang menjadi raja. Sehingga kekuatan selalu berada di tangan rakyat.
Islam adalah negara yang dibawa oleh Muhammad saw dalam membawa agama Islam nabi Muhammad saw tidak seperti nabi Isa as yang hanya menjadi pengajar agama bagi bani israil tetapi Muhammad saw juga menjadi pemimpin dalam pemerintahan arab jadi yang dibawanya tidak hanya ajaran agama tetapi agama yang dapat direalisasikan dalam segala hal termasuk pemerintahan maka dari itu nabi Muhammad saw menjadi pemimpin agama juga menjadi pemimpin suatu pemerintahan negara. Negara yang dibuatnya adalah negara yang penuh dengan asas-asas ketuhanan karena hukum yang digunakan oleh negara itu ialah huku Tuhan / hukum Islam karena Al-Quran adalah wahyu tuhan dan hukum sumber utamanya adalah Al-Quran maka hukum yang digunakan ialah hukum Tuhan. Sehingga Islam dapat direalisasikan juga dengan sebuah bukanlah hanya sekedar ajaran agama yang sempit.
Penjelasan demokrasi dan Islam telah kita pahami bersama karena keduanya saling berkaitan maka kita akan membahas habis pemikiran-pemikiran yang menghubungkan keduanya itu dengan menganalisis pemikiran-pemikiran Mohammad Natsir,Maududi dan Tariq Ramadhan.
Mohammad Natsir
Mohammad Natsir adalah seorang nasionalis Indonesia yang sangat terkenal sehingga dapat dengan mudah kita dapati buku-bukunya di indonesia yang membahas tentang pemikiran dari seorang tokoh Mohammad Natsir tersebut. Negara Indonesia adalah negara demokrasi dan mayoritas penduduk Indonesia ialah muslim apakah demokrasi itu bisa diterapkan di indonesia yang mayoritas penduduknya ialah muslim? Inilah yang akan kita bahas dari pemikiran-pemikiran dari Mohammad Natsir tersebut.
Bagi Natsir, agama (baca: Islam) tidak dapat dipisahkan dari negara. Ia menganggap bahwa urusan kenegaraan pada pokoknya merupakan bagian integral risalah Islam. Dinyatakannya pula bahwa kaum muslimin mempunyai falsafah hidup atau idiologi seperti kalangan Kristen, fasis, atau Komunis. Natsir lalu mengutip nas Alquran yang dianggap sebagai dasar ideologi Islam (yang artinya), “Tidaklah Aku jadikan jin dan manusia melainkan untuk mengabdi kepada-Ku.” (51: 56). Bertitik tolak dari dasar idiologi Islam ini, ia berkesimpulan bahwa cita-cita hidup seorang Muslim di dunia ini hanyalah ingin menjadi hamba Allah agar mencapai kejayaan dunia dan akhirat kelak. (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 436)
Mohammad Natsir memahami betul ajaran-ajaran dari agama Islam yang juga mencakup segala hal termasuk pemerintahan. Maka dari itu Mohammad Natsir menganggap bahwa agama islam dan negara tidak dapat dipisahkan tetapi yang menjadi maslaah ialah bahwa di dalam negara Indonesia terdiri beragam ras dan agama yang tidak hanya beragama Islam. Islam hanyalah agama mayoritas dari agama-agama yang ada di Indonesia. Sehingga pemerintahan yang dibentuk jika dengan negara Islam dinilai tidak adil dengan agama yang lain, padahal Indonesia adalah negara demokrasi yang sangat menjunjung keadilan bagi warga negaranya Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Menurut Natsir, ketidakfahaman terhadap negara Islam, negara yang menyatukan agama dan politik, pada dasarnya bersumber dari kekeliruan memahami gambaran pemerintahan Islam. “Kalau kita terangkan, bahwa agama dan negara harus bersatu, maka terbayang sudah di mata seorang bahlul (bloody fool) duduk di atas singgahsana, dikelilingi oleh “haremnya” menonton tari “dayang-dayang”. Terbayang olehnya yang duduk mengepalai “kementerian kerajaan”, beberapa orang tua bangka memegang hoga. Sebab memang beginilah gambaran ‘pemerintahan Islam’ yang digambarkan dalam kitab-kitab Eropa yang mereka baca dan diterangkan oleh guru-guru bangsa barat selama ini. Sebab umumnya (kecuali amat sedikit) bagi orang Eropa: Chalifah = Harem; Islam = poligami.” (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 438).
Jadi, Islam memang tidak pernah bersatu dengan negara sebagaimana diduga Soekarno maupun Kemal.Dengan logika seperti ini, Natsir menilai bahwa sikap mendukung Soekarno terhadap gagasan pemisahan agama dari negara tidak tepat. Kata Natsir lebih lanjut, “Maka sekarang, kalau ada pemerintahan yang zalim yang bobrok seperti yang ada di Turki di zaman Bani Usman itu, bukanlah yang demikian itu, yang kita jadikan contoh bila kita berkata, bahwa agama dan negara haruslah bersatu. Pemerintahan yang semacam itu tidaklah akan dapat diperbaiki dengan “memisahkan agama” daripadanya seperti dikatakan Ir. Soekarno, sebab memang agama, sudah lama terpisah dari negara yang semacam itu.” (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 440).
Mohammad Natsir tetap mengkritik pemerintahan Demokrasi yang terpisah dari agama tersebut. Mohammad Natsir disini hendak menghilangkan citra jelek dari penyatuan agama Islam dengan negara yang dilakukan oleh negara-negara Islam yang hasilnya adalah buruk. Saya sangat setuju dengan yang dilakukan oleh Mohammad Natsir karena di zaman Rasulullah saw pun juga ada agama-agama yang lain seperti Nasrani,Yahudi dan Majusi tetapi dengan berdirinya negara Islam hukum-hukum negara dan pemerintahan dapat berjalan dengan baik karena yang menjalankan adalah seorang figur yang menjalankan syariat dengan kaffah maka dari itu dapat terealisasikan dengan baik maka hasilnya baik
Dengan tegas pula Natsir mengemukakan bahwa Islam adalah suatu pengertian, suatu paham, suatu begrip sendiri, yang mempunyai sifat-sifat sendiri pula. Islam tak usah demokrasi 100%, bukan pula otokrasi 100%, Islam itu … yah Islam. (Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 453).
Maka dari itu Mohammad Natsir mengkritik habis demokrasi yang memisahkan agama dengan negara. Tetapi menurut saya Mohammad Natsir tidak dapat mendirikan negara seperti itu pada indonesia, memang konsep yang dibawa oleh Mohammad Natsir adalah benar tetapi karakter yang ada di indonesia tidaklah seperti di zaman nabi Muhammad saw dahulu yang telah kuat keimanannya. Konsep itu hanya dapat dijalankan jika kualitas umat islam yang ada di indonesia dapat seperti itu karena nantinya pemerintahan yang dibuat akan tidak jauh beda dengan pemerintahan yang ada di turky. Yang menjadi citra jelek atas agama islam yang menyatu dengan negara.
AL-MAUDUDI
Al-Maududi adalah salah satu tokoh di dunia yang ingin menyatuka agama dengan Islam tetapi banyak melihat orang jika memikirkan tentang pemikiran tokoh yang satu ini adalah ke ekstremannya dalam ambisinya ingin menyatukan negara dengan islam .
Konsep khilafah sebenarnya amat berkaitan dengan konsep Daulah al-Islam-Dar al-Islam secara menyuluh di seluruh dunia. Daulah Islam di masa silam amat berhasil dalam mengembangkan dakwah dan menegakkan syariat. Mendirikan Daulah Islamiyah adalah wajib syar’i dan didukung banyak ayat al-Quran dan al-Hadits yang membicarakannya karena daulah Islam dan pemerintahan Islam yang akan melindungi Islam secara utuh. Menurut Yusuf al-Qardhawi memiliki karekteristik Daulah Islam yang intinya adalah sebagai berikut: “Daulah Madaniyah yang merujuk pada Islam, bersekala internasional, berdasarkan konstitusi dan hukum syariah, berdasarkan musyawarah dan bukan kekuasaan ala kisra, daulah pemberi petunjuk dan bukan pengumpul pajak, melindungi orang-orang lemah, melindungi hak dan kebebasan, daulah yang berprinsip pada akhlak. Sementara itu, tabiat Daulah Islam adalah bukan daulah teokrat,tapi pemerintahan sipil.” (Yusuf Qardawi, Daulah Islamiah, 2000, hal. 40)
Inilah konsep yang jadi dasar oleh Maududi menurut Maududi dengan konsep khilafah maka islam akan berhasil dan dapat melindungi umatnya dan dapat dipandang oleh negara seluruh dunia dengan penyatuan antara Islam dan Negara, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah saw.
Seperti dapat diduga dari istilahnya, konsep theo-demokrasi adalah akomodasi ide theokrasi dengan ide demokrasi. Namun, ini tak berarti al-Maududi menerima secara mutlak konsep theokrasi dan demokrasi ala Barat. Al-Maududi dengan tegas menolak teori kedaulatan rakyat (inti demokrasi), berdasarkan dua alasan. Pertama, karena menurutnya kedaulatan tertinggi adalah di tangan Tuhan. Tuhan sajalah yang berhak menjadi pembuat hukum (law giver). Manusia tidak berhak membuat hukum. Kedua, praktik “kedaulatan rakyat” seringkali justru menjadi omong kosong, karena partisipasi politik rakyat dalam kenyataannya hanya dilakukan setiap empat atau lima tahun sekali saat Pemilu. Sedang kendali pemerintahan sehari-hari sesungguhnya berada di tangan segelintir penguasa, yang sekalipun mengatasnamakan rakyat, seringkali malah menindas rakyat demi kepentingan pribadi (Amien Rais, 1988:19-21).
Seperti halnya dengan Mohammad Natsir Maududi mengkritik keras sistem demokrasi tetapi berbeda dengan mohammad Natsir. Jika Mohammad Natsir hanyalah mengkritik praktik dari demokrasi tersebut bahwa sistem Deokrasi adalah baik tetapi penyatuan islam dan negara juga dapat dijalankan dengan sistem demokrasi tetapi Maududi mengkritik sistem demokrasi secara keseluruhan. Karena bagi Maududi yang diajarkan oleh islam adalah sistem khilafah dan telah terbukti di zaman Rasulullah saw bahwa sistem khalifah yang dibawa oleh islam adalah berhasil menyatukan negara dan islam. Disini menurut saya pemikiran Maududi terlalu sempir memandang islam sebenarnya Islam di zaman sekarang dapat di intrepetasikan kedalam segala hal karena mengikuti perkembangan zaman.
TARIQ RAMADHAN
Tariq Ramadhan yang namanya sangat terkenal bagi cendikiawan muslim sebagai tokoh muslim di dunia barat yang pemikirannya sangat cemerlang bagi kehidupan muslim yang tinggal di barat. Tariq Ramadhan di dalama pemikirannya selalu ingin menjadikan umat muslim yang memiliki kehidupan di barat agar diterima oleh mayoritas tanpa menghilangkan identitas kemuslimannya.
Begitu juga yang Khalifah Ali lakukan dalam menyikapi permasalah-permasalahan yang berkaitan dengan sosial-politik. Beliau sebagai pemimpin memiliki kewajiban dan hak pada rakyat sebagaimana rakyat pun memiliki kewajiban dan hak pada seorang pemimpin. Beliau berkata: Adalah hak anda untut menuntut bahwa saya tidak akan menyembunyikan sesuatu dari anda, kecuali soal perang. Dan bahwa saya tidak akan menjalankan urusan-urusan (tanpa konsultasi dan sepengetahuan anda) kecuali yang berkaitan dengan hukum-hukum ilahiyah (Ahmed Vaezi, Agama Politik Nalar Politik Islam, Penerbit Citra, 2006, h. 242).
Seperti yang kita ketahui bahwa Tariq Ramadhan adalah pemikir yang membela Islam bahwa dengan demokrasi dapat di realisasikan. Menurutnya walaupun demokrasi tidak ada di dalam al-quran tetapi bukan berarti demokrasi tidak dapat dijalankan sebagai jawaban adanya dugaan oleh orang-orang yang berpikiran sekularisasi. Pemikiran dari Tariq Ramadhan hampir sama dengan pemikiran dari Mohammad Natsir mengenai Demokrasi bahwa Demokrasi dapat dijalankan dengan cara Islam berbeda dengan pendapat dari Maududi bahwa bahwa hanya sistem khilafah sajalah yang dapat mengembalikan kejayaan Islam di zaman Rasulullah saw dan dapat dipandang oleh dunia internasional bahwa negara dengan sistem khalifah dapat melindungi umatnya sebagaimana di zaman Rasulullah saw.
Prinsip pertama, menghormati hukum. Islam memiliki kejelasan hukum-hukum yang ada pada syari’at. Di mana hukum-hukum ini hampir mencakup segala bidang. Tidak dapat kita katakan karena Islam adalah suatu agama sehingga hukum-hukumnya pun hanya bersifat keagamaan saja. Pada kenyataanya kita akan menemukan bahwa hukum-hukum yang ada di dalamnya juga berkenaan dengan kehidupan sosial dan negara. “Siapa pun yang pernah membaca Piagam Madinah yang pertama akan yakin bahwa dari awal, Islam telah memikirkan organisasi sosial dan politiknya untuk berada di seputar hukum.” (Tariq Ramadhan, Menjadi Modern Bersama Islam, TERAJU, 2003, h. 118.)
Dari perkataan tersebut dapat kita ketahui bahwa Tariq Ramadhan benar-benar mengimani bahwa Islam dapat di intrepetasi di setiap zaman dengan segala hal. Lain halnya dengan para sekularisasi yang tidak sependapat bahwa islam dan demokrasi tidak dapat bersatu. Jadi hukum islam bukan hanya untuk orang islam saja tetapi di zaman Rasulullah saw pun terdapat berbagai macam suku dan agama dan hukum-hukum yang ditegakkan hukum islam tidak hanya mencakup orang islam saja tetapi secara keseluruhan baik dia beragama yahudi maupun nasrani.
Maka dari itu kita dapat melihat bahwa hukum-hukum dan ajaran-ajaran di dalam alquran mempunyai fleksibelitas karena al-quran juga menjelaskan bahwa di dalam al-quran juga keberadaan agama-agama seperti yahudi dan nasrani juga ada di dalam kehidupan di zaman Rasulullah saw hidup sebagai pemimpin agama dan juga sebagai pemimpin ajaran agama jadi bukan berarti karena Rasulullah saw membawa islam dalam kehidupan bani arab bukan berarti hanya orang yang beragama islam yang dilindungi tetapi semua agamapun mendapatkan haknya sama. Begitu juga dengan demokrasi ala islam jika ini diterapkan bukanlah pendiskriminasian agama-agama yang lain.
KESIMPULAN
Kita mengetahui bahwa semua isi dalam Al-Quran adalah bersifat universal dan tidak mencakup suku dan suatu kelompok tertentu karena al-quran dan ajaran islam diturunkan untuk seluruh manusia sehingga hukum-hukum yang terdapat dalam al-quran adalah bermanfaat buat seluruh manusia. Al-quran hanya menjelaskan mengenai Grand Theory yang bersifat universal dan sehingga yang partikularnya dengan berbagai cara asal tidak keluar dari garis konteks garis besar yang ada dalam al-quran. Karena konsep yang ada dalam al-quran dapat direalisasikan dalam banyak cara asal sesuai dengan ajaran al-quran bukan berarti jika Rasulullah saw tidak pernah melaksanakan hal tersebut, di zaman kita penerapan itu bukan berarti menyalahi yang Rasulullah sae ajarkan. Demokrasi walaupun identik dengan negara barat tetapi dapat
“Apakah yang sebaik-baik jihad?” Rasulullah menjawab “mengatakan barang yang hak terhadap sultan yang dzalim”. (H.R. Nasai)
apabila orang melihat sesorang melihat kedzaliman akan tetapi mereka biarkan, tidak mereka betulkan, azabnya jatuh kepada mereka semua, baik si dzalim maupun orang-orang yang membiarkan berlakunya kedzaliman itu” (H.R Abu Daud dan Turmudzi)
inilah garis besar yang diajarkan oleh islam bukan berarti jika suatu negara islam melaksanakan demokrasi berarti menyalahi apa yang islam ajarkan. Karena demokrasi yang ada dalam islam tidaklah sama dengan demokrasi yang diadopsi oleh barat. Kita dapat memiliki demokrasi yang menjadi ciri khas islam tanpa menghilangkan identitas dari keislaman. Maka dari itu bukan berarti jika kita mengadopsi paham demokrasi kita mengabdi pada barat dan mengikuti pemikiran dari filosof barat akan tetapi itulah yang di zaman kita diperlukan karena semua hukum dalam islam bersumber pada al-quran dan as-sunnah sehingga demokrasi pun yang di buat di dalam islam tidak akan keluar dalam hal tersebut. Yang jelas islam bermakna universal sehingga dapat mencakup dari semua aspek tidaklah sempit makna-makna yang ada dalam al-quran.
REFERENSI
Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 436
Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 438
Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 440
Muhammad Natsir, Capita Selekta, hlm. 453
Yusuf Qardawi, Daulah Islamiah, 2000, hal. 40
Amien Rais, 1988:19-21
Ahmed Vaezi, Agama Politik Nalar Politik Islam, Penerbit Citra, 2006, h. 242
Tariq Ramadhan, Menjadi Modern Bersama Islam, TERAJU, 2003, h. 118
H.R. Nasai
H.R Abu Daud dan Turmudzi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)