Selasa, 04 Mei 2010

ISLAM DI MADINAH

Saya akan menjelaskan peristiwa-peristiwa dan kejadian yang penting mengenai hijrahnya Rasul saw ke Madinah al Munawarah

Hijrah ke Madinah tidaklah terwujud begitu saja (atau sekonyong-konyong). Ada beberapa pra-kondisi seperti Bai`at Aqabah (pertama dan kedua). Kedua Ba`iat ini merupakan batu-batu pertama bagi bangunan negara Islam. Kehadiran Rasulullah SAW melalui peristiwa hijrah ke dalam masyarakat Madinah yang majemuk amat menarik untuk dibahas. Peta demografis Madinah saat itu adalah sebaagai berikut:

1. Kaum Muslimin yang terdiri dari Muhajirin dan Anshar

2. Anggota suku Aus dan Khazraj yang masih berada pada tingkat nominal muslim, bahkan ada yang secara rahasia memusuhi Nabi saw.

3. Anggota suku Aus dan Khazraj yang masih menganut paganisme

4. Orang-orang Yahudi yang terbagi dalam tiga suku utama: Bani Qainuqa, Bani Nadhir dan Bani Quraidloh.

Kemajemukan komunitas tersebut tentu saja melahirkan konflik dan tension. Pertentangan suku Aus dan Khazraj sudah terlalu terkenal dalam sejarah Islam. Bahkan diduga diterimanya Rasul di Madinah (Yatsrib) dengan baik di kedua Bani tersebut karena kedua Bani tersebut membutuhkan “orang ketiga” dalam konflik diantara mereka. Hal ini bisa dipahami dalam manajemen konflik politik. Adapun diterimanya Rasul oleh kaum Yahudi merupakan catatan tersendiri. Tentu saja Yahudi menerima Nabi dengan penuh kecurigaan tetapi pendekatan yang dilakukan Nabi mampu “menjinakkan” mereka, paling tidak, sampai Nabi eksis di Madinah.

Kemajemukan komunitas Madinah membuat Rasul melakukan negosiasi dan konsolidasi melalui perjanjian tertulis yang terkenal dengan “Piagam Madinah”.4 Piagam Madinah sesungguhnya merupakan rangkaian penting dari proses berdirinya negara Madinah, meskipun Nabi, selaku “mandataris” Piagam Madinah tidak pernah mengumumkan bahwa beliau mendirikan negara, dan tidak satupun ayat al-Qur'an yang memerintahkan beliau untuk membentuk suatu negara.

Dari sudut pandang ilmu politik, obyek yang dipimpin oleh Nabi saw.memenuhi syarat untuk disebut sebagai negara. Syarat berdirinya negara ialah ada wilayah, penduduk dan pemerintahan yang berdaulat. Kenyataan sejarah menunjukkan adanya elemen negara tersebut. Walhasil, setelah melalui proses Ba`iat dan Piagam Madinah Nabi dipandang bukan saja sebagai pemimpin rohani tetapi juga sebagai kepala negara.

Kita beralih pada persoalan ajaran Islam. Pada fase Madinah ini ajaran Islam merupakan kelanjutan dari dakwah fase Mekkah. Bila pada fase Mekkah, ayat tentang hukum belum banyak diturunkan, maka pada fase Madinah kita mendapati ayat hukum mulai turun melengkapi ayat yang telah ada sebelumnya. Ini bisa dipahami mengingat hukum bisa dilaksanakan bila komunitas telah terbentuk. Juga dapat dicatat kemajemukan komunitas Madinah turut mempengaruhi ayat hukum ini. Satu contoh menarik pada peristiwa kewajiban zakat dan pelarangan riba. Setting sosio-ekonomi Madinah yang dikuasai oleh Yahudi memerlukan sebuah “perlawanan” dalam bentuk zakat (untuk pemerataan ekonomi di kalangan muslim) dan pelarangan riba. Yang terakhir ini membawa implikasi baik secara ekonomi maupun politik bagi praktek riba kaum Yahudi.

Bukan hanya ayat hukum saja yang berangsur-angsur “sempurna”, juga ayat tentang etika, tauhid dan seluruh elemen ajaran Islam berangsur-angsur mendekati titik kesempurnaan, dan mencapai puncaknya. Setelah Nabi wafat, dimulailah era Khulafa’ al-Rasyidin. Tidak dapat dipungkiri, di Madinah Islam sempurna dan disinilah awal sebuah peradaban yang dibangun oleh umat Islam mulai tercipta.


Hijrahnya Rasul saw dari Mekkah ke Madinah adalah bukan kekalahan semata bukan karena ketakutan Rasul akan ancaman pembesar-pembesar Quraisy seperti Abu Lahab. Allah swt secara tidak langsung menyelamatkan nabi Muhammad saw dari kehidupan masyarakat mekkah yang jahiliyah dan menolak Islam dan meninjukkan pada umat yang lain yang ada di Madinah yang dapat menyambut datangnya agama Islam sehingga menjadi kekuatan suatu negara yaitu negara Islam. Maka dari itu disana Rasul saw mendirikan kekuatan dan pembangunan sitem Islam yang dipakai sebagai sistem dasar di madinah. Banyak terjadi perjanjian setelah itu antara musyrik mekkah dengan muslimin madinah seperti contoh perjanjian huadibiyah maka dari itu sebenarnya bahwa musyrik mekkah telah mengakui kekuatan umat muslim di madinah sampai mereka membuat perjanjian-perjanjian tersebut samapi terjadinya Fathu Mekkah.

ISLAM DI MEKKAH

Saya akan menjelaskan mengenai kejadian yang penting yang terjadi pada masa Islam awal yang ada di Mekkah. Kita dapat mengetahui bahwa Rasulullah saw sangat lama berada di Mekkah dalam riwayat Rasulullah saw berada di mekkah selama 13 tahun. Maka dari itu mari kita lihat bagaimanakah kehidupan dan Islam pada zaman Rasulullah saw di mekkah.

Seperti sejarah tertulis yang menjelaskan kondisi Mekkah sejak awal merupakan tempat perdagangan yang sangat pesat dengan ciri umum penduduk Mekkah dan kebiasaannya berdagang ke luar Mekkah. Ini semua menjadi bekal bagi kita untuk memahami konteks sosio-religius pada dakwah islam fase Mekkah.

Mengingat pentingnya sebuah suku dalam komunitas Mekkah, maka Nabi diperintahkan untuk mula-mula menyebarkan Islam di kalangan kerabatnya1 -seperti besarnya pengaruh suku Quraisy di kalangan penduduk Mekkah yang karenanya bisa dibayangkan betapa terpukulnya Muhammad SAW ketika ia mengumpulkan keluarganya dalam suatu jamuan santai dan mengajak mereka ke jalan Allah, namun ternyata keluarganya menolak dan hanya Ali bin Abi Thalib yang berani dan mau menjadi pembantunya. Puluhan orang yang hadir mentertawakan Muhammad dan Ali. Tidak seorangpun menyadari bahwa beberapa di antara para undangan ini akan ditebas oleh Ali di medan Badr, empat belas tahun kemudian, sebagai bukti kesungguhan Ali.

Besarnya pengaruh suku Quraisy di Mekkah jugalah yang salah satunya bisa membuat Hamzah memeluk Islam, yakni ketika Abu Jahl dari bani Hanzhalah mencaci dan mengejek Muhammad, lalu orang-orang melapor pada Hamzah dan serta merta Hamzah-lah yang menghajar kepala Abu Jahl dengan busur panahnya. Insiden ini akan berbuntut panjang kalau saja spirit suku saat itu tidak segera padam.

Ketika Abu Thalib masih hidup, bani Hasyim memberikan perlindungan pada Muhammad dan tidak ada yang berani membunuh Muhammad karena Baninya akan membalas nantinya.2

Ketika Islam hadir di Mekkah dapatlah kita baca dalam beberapa literatur bahwa pada fase Mekkah bercirikan ajaran Tauhid. Tetapi sesungguhnya bukan hanya persoalan teologis semata, juga seruan Islam akan keadilan sosial, perhatian pada nasib anak yatim, fakir miskin dan pembebasan budak serta ajaran Islam akan persamaan derajat manusia, yang menimbulkan penolakan keras penduduk Mekkah pada Muhammad. Bagi mereka, agama ini tidak hanya “merusak” ideologi dan teologi mereka, tetapi juga “merombak” kehidupan sosial mereka.

Contoh menarik, misalnya, dalam al-Qur’an dijelaskan tentang kata “Karim” dalam masyarakat jahiliyyah merupakan bagian penting kode etik muru`ah --cita-cita moral tertinggi masyarakat Arab jahiliyah yang mencakup antara lain, kejujuran, keberanian, kesetiaan dan kedermawanan serta keramah-tamahan. Keberanian dan kedigjayaan terutama ditunjukkan pada saat pertempuran dan penyamunan. Loyalitas terfokus pada ikatan-ikatan kesukuan dan perjanjian. Kedermawanan dan keramah-tamahan terutama ditunjukkan dalam menjamu tamu, dan seringkali dengan maksud meninggikan status seseorang di hadapan tetamunya.3

Konsep “karim” di atas mengalami perubahan makna yang drastis ketika al-Qur'an dengan tegas mengatakan bahwa manusia yang paling mulya (akram) dalam pandangan Allah ialah yang paling bertakwa kepadaNya. Bagi yang tidak mengetahui konteks di atas, pernyataan al-Qur'an itu akan terdengar biasa saja. Tapi bagi orang-orang pada masa Muhammad, pernyataan di atas betul-betul radikal. Jika konteks Arab jahiliyyah berikut kedudukan kata karim dalam pandangan-dunia mereka dipahami, maka yang terjadi adalah revolusi cita-moral Arab. Bukan orang yang berharta banyak, menang dalam pertempuran dan seorang bangsawan yang disebut karim, tapi mereka yang bertakwa. Implikasinya, budak hitam legam pun dapat dipandang karim. Radikalisasi makna pandangan-dunia (weltanschaung) Arab jahiliyyah yang dilakukan Islam seperti inilah yang sedikit banyak menggoncang penduduk Mekkah.

Dapatlah diambil kesimpulan secara tentatif bahwa masyarakat Islam pada kurun Mekkah belum lagi tercipta sebagai sebuah komunitas yang mandiri dan bebas dari urusan Bani. Negara Islam juga belum terbentuk pada dakwah islam fase Mekkah. Ajaran Islam pada fase Mekkah bercirikan tauhid dan dalam titik tertentu terjadi radikalisasi makna dalam pandangan Arab jahiliyyah yang berimplikasi mengguncang tataran sosio-religius penduduk Mekkah.


Jika kita melihat sistem dan Perjalanan Rasulullah saw di mekkah maka kita akan mendapati setiap ayat yang turun di mekkah adalah berupa ajakan Allah swt kepada manusia untuk menuju pada tauhid. Rasulullah saw banyak mendapat penolakan dari masyarakat bangsa arab bahkan dari keluarganya sekalipun yang merupakan pada zaman itu sebagai pembesar-pembesar Quraisy, Abu Lahab paman Rasul saw menjadi penentang no.1 datangnya Islam di bumi Mekkah tersebut karena menurut Abu Lahab aturan hidup Islam yang menuju kepada tauhid dapat menghilangakn citra besar bangsa arab pada zaman itu dan akan menghilangkan sistem yang mereka gunakan cukup lama tersebut dengan mengklaim bahwa sistem tersevut adalah sistem yang diajarkan oleh nabi Ibrahim as padahal nabi Ibrahim as adalah penentang berhala pertama kali, tidak lagi sesuai keadaan bangsa arab dengan ajaran nabi Ibrahim as. Maka Islam datang ingin mengembalikan ajaran yang murni dari nabi ibrahim as.

ARAB PRA ISLAM

Disini saya akan menjelaskan kejadian-kejadian penting atau sistem yang penting untuk kita ketaahui pada zaman sebelum datangnya agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw di Arab. Kita mengetahui sebelum turunnya AlQuran sebagai pengatur kehidupan di bangsa Arab, mereka mempunyai sistem kehidupan yang disebut dengan Muru’ah. Muru’ah inilah satu-satunya sitem kehidupan khas adat bangsa arab yang mengatur kehidupan bersuku bangsa arab pada zaman itu. Sebagai contoh jika orang salah satu dari suku itu membunuh orang dari suku lain maka harus dibalas darahnya oleh suku korban masalah salah benar itu hal belakangan tetapi harus keseimbangan jika dibunuh makan akan balas dibunuh juga karena sistem inilah maka bangsa arab tidak ada habisnya berselisih antara suku mereka masing-masing. Mari kita lihat pengklasifikasian di bangsa arab tersebut.

Ditilik dari silsilah keturunan dan cikal bakalnya, para sejarawan membagi kaum-kaum Bangsa Arab menjadi Tiga bagian, yaitu :

1. Arab Ba’idah, yaitu kaum-kaum Arab terdahulu yang sejarahnya tidak bisa

dilacak secara rinci dan komplit. Seperti Ad, Tsamud, Thasn, Judais, Amlaq dan lain-lainnya.

2. Arab Aribah, yaitu kaum-kaum Arab yang berasal dari keturunan Ya’rub bin Yasyjub bin Qahthan, atau disebut pula Arab Qahthaniyah.

3. Arab Musta’ribah, yaitu kaum-kaum Arab yang berasal dari keturunan Isma’il, yang disebut pula Arab Adnaniyah.

1. SISTEM POLITIK DAN KEMASYARAKATAN

a. Kondisi Politik

Bangsa Arab sebelum islam, hidup bersuku-suku (kabilah-kabilah) dan berdiri sendiri-sendiri. Satu sama lain kadang-kadang saling bermusuhan. Mereka tidak mengenal rasa ikatan nasional. Yang ada pada mereka hanyalah ikatan kabilah. Dasar hubungan dalam kabilah itu ialah pertalian darah. Rasa asyabiyah (kesukuan) amat kuat dan mendalam pada mereka, sehingga bila mana terjadi salah seorang di antara mereka teraniaya maka seluruh anggota-anggota kabilah itu akan bangkit membelanya. Semboyan mereka “ Tolong saudaramu, baik dia menganiaya atau dianiaya “.

Pada hakikatnya kabilah-kabilah ini mempunyai pemuka-pemuka yang memimpin kabilahnya masing-masing. Kabilah adalah sebuah pemerintahan kecil yang asas eksistensi politiknya adalah kesatuan fanatisme, adanya manfaat secara timbal balik untuk menjaga daerah dan menghadang musuh dari luar kabilah.

Kedudukan pemimpin kabilah ditengah kaumnya, seperti halnya seorang raja. Anggota kabilah harus mentaati pendapat atau keputusan pemimpin kabilah. Baik itu seruan damai ataupun perang. Dia mempunyai kewenangan hukum dan otoritas pendapat, seperti layaknya pemimpin dictator yang perkasa. Sehingga adakalanya jika seorang pemimpin murka, sekian ribu mata pedang ikut bicara, tanpa perlu bertanya apa yang membuat pemimpin kabilah itu murka.

Kekuasaan yang berlaku saat itu adalah system dictator. Banyak hak yang terabaikan. Rakyat bisa diumpamakan sebagai ladang yang harus mendatangkan hasil dan memberikan pendapatan bagi pemerintah. Lalu para pemimpin menggunakan kekayaan itu untuk foya-foya mengumbar syahwat, bersenang-senang, memenuhi kesenangan dan kesewenangannya. Sedangkan rakyat dengan kebutaan semakin terpuruk dan dilingkupi kezhaliman dari segala sisi. Rakyat hanya bisa merintih dan mengeluh, ditekan dan mendapatkan penyiksaan dengan sikap harus diam, tanpa mengadakan perlawanan sedikitpun.

Kadang persaingan untuk mendapatkan kursi pemimpin yang memakai sistem keturunan paman kerap membuat mereka bersikap lemah lembut, manis dihadapan orang banyak, seperti bermurah hati, menjamu tamu, menjaga kehormatan, memperlihatkan keberanian, membela diri dari serangan orang lain, hingga tak jarang mereka mencari-cari orang yang siap memberikan sanjungan dan pujian tatkala berada dihadapan orang banyak, terlebih lagi para penyair yang memang menjadi penyambung lidah setiap kabilah pada masa itu, hingga kedudukan para penyair itu sama dengan kedudukan orang-orang yang sedang bersaing mencari simpati.

b. Kondisi Masyarakat

Dikalangan Bangsa Arab terdapat beberapa kelas masyarakat.Yang kondisinya berbeda antara yang satu dengan yang lain. Hubungan seorang keluarga dikalangan bangsawan sangat diunggulkan dan diprioritaskan, dihormati dan dijaga sekalipun harus dengan pedang yang terhunus dan darah yang tertumpah. Jika seorang ingin dipuji dan menjadi terpandang dimata bangsa Arab karena kemuliaan dan keberaniannya, maka dia harus banyak dibicarakan kaum wanita.

Karena jika seorang wanita menghendaki, maka dia bisa mengumpulkan beberapa kabilah untuk suatu perdamaian, dan jika wanita itu mau maka dia bisa menyulutkan api peperangan dan pertempuran diantara mereka. Sekalipun begitu, seorang laki-laki tetap dianggap sebagai pemimpin ditengah keluarga, yang tidak boleh dibantah dan setiap perkataannya harus dituruti. Hubungan laki-laki dan wanita harus melalui persetujuan wali wanita.

Begitulah gambaran secara ringkas kelas masyarakat bangsawan, sedangkan kelas masyarakat lainnya beraneka ragam dan mempunyai kebebasan hubungan antara laki-laki dan wanita.

Para wanita dan laki-laki begitu bebas bergaul, malah untuk berhubungan yang lebih dalam pun tidak ada batasan. Yang lebih parah lagi, wanita bisa bercampur dengan lima orang atau lebih laki-laki sekaligus. Hal itu dinamakan hubungan poliandri. Perzinahan mewarnai setiap lapisan masyarakat. Semasa itu, perzinahan tidak dianggap aib yang mengotori keturunan.

Banyak hubungan antara wanita dan laki-laki yang diluar kewajaran, seperti :

1. Pernikahan secara spontan, seorang laki-laki mengajukan lamaran kepada laki-laki lain yang menjadi wali wanita, lalu dia bisa menikahinya setelah menyerahkan mas kawin seketika itu pula.

2. Para laki-laki bisa mendatangi wanita sekehendak hatinya. Yang disebut wanita pelacur.

3. Pernikahan Istibdha’, seorang laki-laki menyuruh istrinya bercampur kepada laki-laki lain hingga mendapat kejelasan bahwa istrinya hamil. Lalu sang suami mengambil istrinya kembali bila menghendaki, karena sang suami menghendaki kelahiran seorang anak yang pintar dan baik.

4. Laki-laki dan wanita bisa saling berhimpun dalam berbagaimedan peperangan. Untuk pihak yang menang, bisa menawan wanita dari pihak yang kalah dan menghalalkannya menurut kemauannya.

Banyak lagi hal-hal yang menyangkut hubungan wanita dengan laki-laki yang diluar kewajaran. Diantara kebiasaan yang sudah dikenal akrab pada masa jahiliyah ialah poligami tanpa da batasan maksimal, berapapun banyaknya istri yang dikehendaki.Bahkan mereka bisa menikahi janda bapaknya, entah karena dicerai atau karena ditinggal mati. Hak perceraian ada ditangan kaum laki-laki tanpa ada batasannya.

Perzinahan mewarnai setiap lapisan mayarakat, tidak hanya terjadi di lapisan tertentu atau golongan tertentu. Kecuali hanya sebagian kecil dari kaum laki-laki dan wanita yang memang masih memiliki keagungan jiwa.

Ada pula kebiasaan diantara mereka yang mengubur hidup-hidup anak perempuannya, karena takut aib dan karena kemunafikan. Atau ada juga yang membunuh anak laki-lakinya, karena takut miskin dan lapar. Disini kami tidak bisa menggambarkannya secara detail kecuali dengan ungkapan-ungkapan yang keji, buruk, dan menjijikkan.

Secara garis besar, kondisi masyarakat mereka bisa dikatakan lemah dan buta. Kebodohan mewarnai segala aspek kehidupan, khurafat tidak bisa dilepaskan, manusia hidup layaknya binatang. Wanita diperjual-belikan dan kadang-kadang diperlakukan layaknya benda mati. Hubungan ditengah umat sangat rapuh dan gudang-gudang pemegang kekuasaan dipenuhi kekayaan yang berasal dari rakyat, atau sesekali rakyat dibutuhkan untuk menghadang serangan musuh.

2. SISTEM KEPERCAYAAN DAN KEBUDAYAAN

Kepercayaan bangsa Arab sebelum lahirnya Islam, mayoritas mengikuti dakwah Isma’il Alaihis-Salam, yaitu menyeru kepada agama bapaknya Ibrahim Alaihis-Salam yang intinya menyeru menyembah Allah, mengesakan-Nya, dan memeluk agama-Nya.

Waktu terus bergulir sekian lama, hingga banyak diantara mereka yang melalaikan ajaran yang pernah disampaikan kepada mereka. Sekalipun begitu masih ada sisa-sisa tauhid dan beberapa syiar dari agama Ibrahim, hingga muncul Amr Bin Luhay, (Pemimpin Bani Khuza’ah). Dia tumbuh sebagai orang yang dikenal baik, mengeluarkan shadaqah dan respek terhadap urusan-urusan agama, sehingga semua orang mencintainya dan hampir-hampir mereka menganggapnya sebagai ulama besar dan wali yang disegani.

Kemudian Amr Bin Luhay mengadakan perjalanan ke Syam.Disana dia melihat penduduk Syam menyembah berhala. Ia menganggap hal itu sebagai sesuatu yang baik dan benar. Sebab menurutnya, Syam adalah tempat para Rasul dan kitab. Maka dia pulang sambil membawa HUBAL dan meletakkannya di Ka’bah. Setelah itu dia mengajak penduduk Mekkah untuk membuat persekutuan terhadap Allah. Orang orang Hijaz pun banyak yang mengikuti penduduk Mekkah, karena mereka dianggap sebagai pengawas Ka’bah dan penduduk tanah suci.

Pada saat itu, ada tiga berhala yang paling besar yang ditempatkan mereka ditempat-tempat tertentu, seperti :

1. Manat, mereka tempatkan di Musyallal ditepi laut merah dekat Qudaid.

2. Lata, mereka tempatkan di Tha’if.

3. Uzza, mereka tempatkan di Wady Nakhlah.

Setelah itu, kemusyrikan semakin merebak dan berhala-berhala yang lebih kecil bertebaran disetiap tempat di Hijaz. Yang menjadi fenomena terbesar dari kemusyrikan bangsa Arab kala itu yakni mereka menganggap dirinya berada pada agama Ibrahim.

Ada beberapa contoh tradisi dan penyembahan berhala yang mereka lakukan, seperti :

  1. Mereka mengelilingi berhala dan mendatanginya, berkomat-kamit dihadapannya, meminta pertolongan tatkala kesulitan, berdo’a untuk memenuhi kebutuhan, dengan penuh keyakinan bahwa berhala-berhala itu bisa memberikan syafaat disisi Allah dan mewujudkan apa yang mereka kehendaki.
  2. Mereka menunaikan Haji dan Thawaf disekeliling berhala, merunduk dan bersujud dihadapannya.
  3. Mereka mengorbankan hewan sembelihan demi berhala dan menyebut namanya.

Banyak lagi tradisi penyembahan yang mereka lakukan terhadap berhala-berhalanya, berbagai macam yang mereka perbuat demi keyakinan mereka pada saat itu.

Bangsa Arab berbuat seperti itu terhadap berhala-berhalanya, dengan disertai keyakinan bahwa hal itu bisa mendekatkan mereka kepada Allah dan menghubungkan mereka kepada-Nya, serta memberikan manfaat di sisi-Nya.

Selain itu, Orang-orang Arab juga mempercayai dengan pengundian nasib dengan anak panah dihadapan berhala Hubal. Mereka juga percaya kepada perkataan Peramal, Orang Pintar dan Ahli Nujum.

Dikalangan mereka ada juga yang percaya dengan Ramalan Nasib Sial dengan sesuatu. Ada juga diantara mereka yang percaya bahwa orang yang mati terbunuh, jiwanya tidak tentram jika dendamnya belum dibalaskan, ruh nya bisa menjadi burung hantu yang berterbangan di padang seraya berkata,”Berilah aku minum, berilah aku minum”!jika dendamnya sudah dibalaskan, maka ruh nya akan menjadi tentram.

Sekalipun masyarakat Arab jahiliyah seperti itu, toh masih ada sisa-sisa dari agama Ibrahim dan mereka sama sekali tidak meninggalkannya, seperti pengagungan terhadap ka’bah, thawaf disekelilingnya, haji, umrah, Wufuq di Arafah dan Muzdalifah. Memang ada hal-hal baru dalam pelaksanaannya.

Semua gambaran agama dan kebiasaan ini adalah syirik dan penyembahan terhadap berhala menjadi kegiatan sehari-hari , keyakinan terhadap hayalan dan khurafat selalu menyelimuti kehidupan mereka. Begitulah agama dan kebiasaan mayoritas bangsa Arab masa itu. Sementara sebelum itu sudah ada agamaYahudi, Masehi, Majusi, dan Shabi’ah yang masuk kedalam masyarakat Arab. Tetapi itu hanya sebagian kecil oleh penduduk Arab. Karena kemusyrikan dan penyesatan aqidah terlalu berkembang pesat.

Itulah agama-agama dan tradisi yang ada pada saat detik-detik kedatangan islam. Namun agama-agama itu sudah banyak disusupi penyimpangan dan hal-hal yang merusak. Orang-orang musyrik yang mengaku pada agama Ibrahim, justru keadaannya jauh sama sekali dari perintah dan larangan syari’at Ibrahim. Mereka mengabaikan tuntunan-tuntunan tentang akhlak yang mulia. Kedurhakaan mereka tak terhitung banyaknya, dan seiring dengan perjalanan waktu, mereka berubah menjadi para paganis (penyembah berhala), dengan tradisi dan kebiasaan yang menggambarakan berbagai macam khurafat dalam kehidupan agama, kemudian mengimbas kekehidupan social, politik dan agama.

Sedangkan orang-orang Yahudi, berubah menjadi orang-orang yang angkuh dan sombong. Pemimpin-pemimpin mereka menjadi sesembahan selain Allah. Para pemimpin inilah yang membuat hukum ditengah manusia dan menghisab mereka menurut kehendak yang terbetik didalam hati mereka. Ambisi mereka hanya tertuju kepada kekayaan dan kedudukan, sekalipun berakibat musnahnya agama dan menyebarnya kekufuran serta pengabaian terhadap ajaran-ajaran yang telah ditetapkan Allah kepada mereka, dan yang semua orang dianjurkan untuk mensucikannya.

Sedangkan agama Nasrani berubah menjadi agama paganisme yang sulit dipahami dan menimbulkan pencampuradukkan antara Allah dan Manusia. Kalaupun ada bangsa Arab yang memeluk agama ini, maka tidak ada pengaruh yang berarti. Karena ajaran-ajarannya jauh dari model kehidupan yang mereka jalani, dan yang tidak mungkin mereka tinggalkan.

Semua agama dan tradisi Bangsa Arab pada masa itu, keadaan para pemeluk dan masyarakatnya sama dengan keadaan orang-orang Musyrik. Musyrik hati, kepercayaan, tradisi dan kebiasaan mereka hampir serupa.


Jika melihat sinopsis tersebut maka dapat kita ketahui bahwa ternyata agama nenek moyang dari bangsa arab yaitu nabi Ibrahim as masih terjaga ajarannya dan semua bangsa arab masih menjalankannya, lalu apa yang membuat mereka hancur dan kehidupannya layaknya seperti orang jahiliyah? Karena mereka menyerongkan ajaran nabi Ibrahim as. Ajarannya memang tetap terjaga seperti haji.tawaf,qurban tetapi motivasi dan tujuan mereka melakukan hal itu bukan lagi untuk Allah swt tetapi mereka telah mengganti sesembahan mereka dengan berhala-berhala. Dari sekian banyaknya bangsa arab yang berkelakuan jahiliyah tetapi masih ada yang sedikit murni mengikuti agama kakeknya nabi Ibrahim as yaitu tetap menjaga ajarannya mereka ini disebut kaum HANIF.

Sabtu, 01 Mei 2010

FILSAFAT ISLAM

Pengertian Filsafat Islam

Sebelum sampai kepada definisi Filsafat Islam, terlebih dahulu kami akan memberikan makna filsafat yang berkembang di kalangan cendikiawan muslim.

Menurut Mustofa Abdur Razik pemakaian kata filsafat di kalangan umat Islam adalah kata hikmah. Sehingga kata hakim ditempatkan pada kata failusuf atau hukum Al-Islam (hakim-hakim Islam) sama dengan falasifatul Islam (failasuf-failasuf Islam). Hal ini dikuatkan oleh Dr. Faud Al-Ahwani, bahwa kebanyakan pengaran-pengarang Arab menempatkan kalimat hikmah di tempat kalimat filsafat, dan menempatkan kalimat hakim di tempat kalimat failusuf atau sebaliknya. Namun demikian, mereka mengatakan bahwa sebenarnya kata hikmah itu berada di atas kata filsafat.

Al-Farabi berkata: Failusuf adalah orang yang menjadikan seluruh kesungguhan dari kehidupannya dan seluruh maksud dari umurnya mencari hikmah yaitu mema'rifati Allah yang mengandung pengertian mema'rifati kebaikan.

Ibnu Sina mengatakan, hikmah adalah mencari kesempurnaan diri manusia dengan dapat menggambarkan segala urusan dan membenarkan segala hakikat baik yang bersifat teori maupun praktik menurut kadar kemampuan manusia.

Kemudian Ahli tafsir Muhammad Abduh mengatakan bahwa hikmah adalah ilmu yang berhubungan dengan rahasia-rahasia, yang kokoh/rapi, dan bermanfaat dalam menggerakkan amal pekerjaan.

Sementara itu ada yang berpendapat bahwa asal makna hikmah adalah tali kendali untuk kuda dalam mengekang kenakalannya. Dari sini makna diambillah kata hikmah dalam arti pengetahuan atau kebijaksanaan karena hikmah ini menghalang-halangi dari orang yang mempunyai perbuatan rendah. Kemudian hikmah diartikan perkara yang tinggi yang dapat dicapai oleh manusia dengan melalui alat-alatnya yang tertentu yaitu akal dan metode-metode berpikirnya.

Apabila melihat ayat-ayat Al-Qur’an, maka ada beberapa arti yang dikandung dalam
kata hikmah itu, antara lain adalah:
Untuk memperhatikan keadaan dengan seksama untuk memahami rahasia syariat dan maksud-maksudnya.

Kenabian

Dengan demikian hikmah yang diidentikkan dengan filsafat adalah ilmu yang membahas tentang hakikat sesuatu, baik yang bersifat teoritis (etika, estetika maupun metafisika) atau yang bersifat praktis yakni pengetahuan yang harus diwujudkan dengan amal baik.

Sampailah kita pada pengertian Filsafat Islam yang merupakan gabungan dari filsafat dan Islam. Menurut Mustofa Abdur Razik, Filsafat Islam adalah filsafat yang tumbuh di negeri Islam dan di bawah naungan negara Islam, tanpa memandang agama dan bahasa-bahasa pemiliknya. Pengertian ini diperkuat oleh Prof. Tara Chand, bahwa orang-orang Nasrani dan Yahudi yang telah menulis kitab-kitab filsafat yang bersifat kritis atau terpengaruh oleh Islam sebaiknya dimasukkan ke dalam Filsafat Islam.

Dr. Ibrahim Madzkur mengatakan: Filsafat Arab bukanlah berarti bahwa ia adalah produk suatu ras atau umat. Meskipun demikian saya mengutamakan menamakannya filsafat Islam, karena Islam bukan akidah saja, tetapi juga sebagai peradaban. Setiap peradaban mempunyai kehidupannya sendiri dalam aspek moral, material, intelektual dan emosional. Dengan demikian, Filsafat Islam mencakup seluruh studi filosofis yang ditulis di bumi Islam, apakah ia hasil karya orang-orang Islam atau orang-orang Nasrani ataupun orang-orang Yahudi (Fuad Al-Ahwani, Hal. 15).

Drs. Sidi Gazalba memberikan gambaran sebagai berikut: Bahwa Tuhan memberikan akal kepada manusia itu menurunkan nakal (wahyu/sunnah) untuk dia. Dengan akal itu ia membentuk pengetahuan. Apabila pengetahuan manusia itu digerakkan oleh nakal, menjadilah ia filsafat Islam. Wahyu dan Sunnah (terutama mengenai yang ghaib) yang tidak mungkin dibuktikan kebenarannya dengan riset, filsafat Islamlah yang memberikan keterangan, ulasan dan tafsiran sehingga kebenarannya terbuktikan dengan pemikiran budi yang bersistem, radikal dan umum (Drs. Sidi Gazalba, hal. 31).

Dengan uraian di atas maka dapatlah disimpulkan bahwa filsafat Islam adalah suatu ilmu yang dicelup ajaran Islam dalam membahas hakikat kebenaran segala sesuatu.

Banyak di kalangan para ahli berbeda dalam menanamkan filsafat Islam. Apakah ia merupakan filsafat Islam atau filsafat Arab atau ada nama lain dari kedua istilah itu.

Prof. Mu'in, menyatakan apabila filsafat itu disebut dengan Filsafat Arab, berarti mengeluarkan orang Iran, orang Afghanistan, orang Pakistan, dan orang India. Oleh karena itu memilih dengan Filsafat Islam. Demikian pula orientalis Perancis Courbin, seorang Islamolog dan kebudayaan Iran, membela dengan Filsafat Islam. Sebagaimana dikatakannya. Jika kita mengambil nama Filsafat Arab, pengertiannya sempit sekali bahkan keliru.

Berbeda dengan As-Sahrawardi Ar-Razi, beliau lebih suka memilih pendapat yang menamakannya Filsafat di dunia Islam, adapun Mauric de Wild, Emik Brehier dan Lutfi As Sayid menyebutkan dengan Filsafat Arab. Pada umumnya pendapat yang menyebutkan Filsafat Arab beralasan bahwa filsafat itu ditulis dalam bahasa Arab, atau ia diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dengan menambah unsur-unsur baru dalam bahasa Arab.

Sebenarnya perbedaan istilah tersebut hanya perbedaan nama saja, sebab bagaimanapun juga hidup dan suburnya pemikiran filsafat tersebut adalah di bawah naungan Islam dan kebanyakan ditulis dalam bahasa Arab. Kalau yang dimaksud dengan Filsafat Arab ialah bahwa filsafat tersebut adalah hasil orang Arab semata-mata, maka tidak benar. Sebab kenyataan menunjukkan bahwa Islah telah mempersatukan berbagai-bagai umat, dan kesemuanya telah ikut serta dalam memberikan sumbangannya dalam filsafat tersebut. Sebaliknya kalau yang dimaksud dengan filsafat Islam adalah hasil pemikiran kaum muslimin semata-mata, juga berlawanan dengan sejarah, karena mereka pertama-tama berguru pada aliran Nestorius dan Yacobias dari golongan Masehi, Yahudi dan penganut agama Shabi’ah, dan kegiatan mereka dalam berilmu dan filsafat selalu berhubungan dengan orang-orang Masehi dan Yahudi yang ada pada masanya.

Namun pemikiran-pemikiran filsafat pada kaum muslimin lebih tepat disebut filsafat Islam, mengingat bahwa Islam bukan saja sekedar agama, tetapi juga peradaban. Pemikiran filsafat ini sudah barang tentu berpengaruh oleh peradaban Islam tersebut, meskipun pemkiran itu banyak sumbernya dan berbeda-beda jenis orangnya. Corak pemikiran tersebut adalah Islam, baik tentang problem-problemnya, motif pembinaannya maupun tujuannya, karena Islam telah memadu dan menampung aneka peradaban serta pemikiran dalam satu kesatuan. Apabila hal ini ditunjang dengan pemakaian buku-buku yang berasal dari filosuf Islam seperti Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, ataupun Al-Farabi.

Objek Filsafat Islam

Telah disebutkan bahwa objek filsafat adalah menelaah hakikat tentang Tuhan, tentang manusia dan tentang segala realitas yang nampak di hadapan manusia. Ada beberapa persoalan yang biasa dikedepankan dalam mencari objek filsafat meskipun akhirnya tidak akan lepas dari ketiga hal itu, yaitu:
Dari apakah benda-benda dapat berubah menjadi lainnya, seperti perubahan oksigen dan hidrogen menjadi air?

Apakah jaman itu yang menjadi ukuran gerakan dan ukuran wujud semua perkara?

Apakah bedanya makhluk hidup dengan makhluk yang tidak hidup?

Apakah ciri-ciri khas makhluk hidup itu?

Apa jiwa itu? Jika jiwa itu ada, apakah jiwa manusia itu abadi atau musnah?

Dan masih ada lagi pertanyaan-pertanyaan lain.


Persoalan-persoalan tersebut membentuk ilmu fisika dan dari sini kita meningkat kepada ilmu yang lebih umum ialah ilmu metafisika, yang membahas tentang wujud pada umumnya, tentang sebab wujud, tentang sifat zat yang mengadakan. Dari sini kita bisa menjawab pertanyaan: Apakah alam semesta ini wujud dengan sendirinya ataukah ia mempunyai sebab yang tidak nampak?

Kemudian kita dapat membuat obyek pembahasa lagi, yaitu pengetahuan/pengenalan itu sendiri, cara-cara dan syarat-syarat kebenaran atau salahnya, dan dari sini maka keluarlah ilmu logika (ilmu mantiq) yang tidak ada kemiripannya dengan ilmu-ilmu positif. Kemudian kita melihat kepada akhlak dan apa yang seharusnya diperbuat oleh perorangan, keluarga dan masyarakat, yang berbeda dengan ilmu. Sosiologi lebih menekankan kepada pengertian tentang gejala-gejala kemasyarakatan dan hubungannya, tanpa meneliti apa yang seharusnya terjadi.

Dari uraian ini, maka filsafat sebagai ilmu yang mengungkap tentang wujud-wujud melalui sebab-sebab yang jauh, yakni pengetahuan yang yakin yang sampai kepada munculnya suatu sebab. Ilmu terhadap wujud-wujud itu adalah bersifat keseluruhan, bukan terperinci, karena pengetahuan secara terperinci menjadi lapangan ilmu-ilmu khusus. Oleh karena sifatnya keseluruhan, maka filsafat hanya membicarakan benda pada umumnya atau kehidupan pada umumnya.

Dengan demikian filsafat mencakup seluruh benda dan semua yang hidup yakni pengetahuan terhadap sebab-sebab yang jauh yang tidak perlu lagi dicari sesudahnya. Filsafat berusaha untuk menafsirkan hidup itu sendiri yang menjadi sebab pokok bagi partikel-partikel itu beserta fungsi-fungsinya. Cakupan filsafat Islam tidak jauh berbeda dari objek filsafat ini. Hanya dalam proses pencarian itu Filsafat Islam telah diwarnai oleh nilai-nilai yang Islami. Kebebasan pola pikirannya pun digantungkan nilai etis yakni sebuah ketergantungan yang didasarkan pada kebenaran ajaran ialah Islam.

Hubungan Filsafat Islam dengan Ilmu-ilmu Islam

Keunggulan khusus bagi filsafat Islam dalam masalah pembagian cabang-cabangnya adalah mencakup ilmu kedokteran, biologi, kimia, musik ataupun falak yang semuanya menjadi cabang filsafat Islam. Sehingga hal ini menjadi nilai lebih bagi filsafat Islam. Dengan demikian filsafat Islam secara khusus memisahkan diri sebagai ilmu yang mandiri. Walaupun hasil juga ditemukan keidentikan dengan Pemandangan orang Yunani (Aristoteles) dalam masalah teori tentang pembagian filsafat oleh filosuf-filosuf Islam.

Filsafat memasuki lapangan-lapangan ilmu ke-Islaman dan mempengaruhi pembatas-pembatasnya. Penyelidikan terhadap keilmuan meliputi kegiatan filsafat dalam dunia Islam. Dan yang menjadi perluasan ilmu dengan tidak membatasi diri dari hasil-hasil karya filosuf Islam saja, tetapi dengan memperluas pembahasannya. Hasil ini meliputi ilmu kalam, tasawuf, ushul fiqh dan tarikh tasyri’.

Para ulama Islam memikirkan sesuatu dengan jalan filsafat ada yang lebih berani dan lebih bebas daripada pemikiran-pemikiran mereka yang biasa dikenal dengan nama filosuf-filosuf Islam. Di mana perlu diketahui bahwa pembahasan ilmu kalam dan tasawuf banyak terdapat pemikiran dan teori-teori yang tidak kalah teliti daripada filosuf-filosuf Islam.

Pemikiran Islam mempunyai ciri khas tersendiri dibanding dengan filsafat Aristoteles, seperti halnya pemikiran Islam pada ilmu kalam dan tasawuf. Demikian pula pada pokok-pokok hukum Islam (tasyri’) dan Ushul Fiqh juga terdapat beberapa uraian yang logis dan sistematis dan mengandung segi-segi kefilsafatan. Syekh Mustafa Abdur Raziq adalah orang yang pertama mengusulkan ilmu Fiqh menjadi bagian dari filsafat. Berikut ini ada beberapa hubungan filsafat Islam dengan Ilmu Tasawuf, Ilmu Fiqh, dan Ilmu Pengetahuan:

Filsafat Islam dengan Ilmu Kalam
Problem yang ada terhadap filsafat Islam, apakah identik dengan Ilmu Kalam? Ataukah sebagai ilmu yang berdiri sendiri? Apakah ilmu kalam itu sebagai cabang dari filsafat?
Ada beberapa pendapat ahli yang mencoba menjawab pertanyaan di atas antara lain:
Dr. Fuad Al-Ahwani di dalam bukunya Filsafat Islam tidak setuju kalau filsafat sama dengan ilmu kalam. Dengan alasan-alasan sebagai berikut:

Karena ilmu kalam dasarnya adalah keagamaan atau ilmu agama. Sedangkan filsafat merupakan pembuktian intelektual. Obyek pembahasannya bagi ilmu kalam berdasar pada Allah SWT. dan sifat-sifat-Nya serta hubungan-Nya dengan alam dan manusia yang berada di bahwa syariat-Nya. Objek filsafat adalah alam dan manusia serta pemikiran tentang prinsip wujud dan sebab-sebabnya. Seperti filosuf Aristoteles yang dapat membuktikan tentang sebab pertama yaitu Allah. Tetapi ada juga yang mengingkari adanya wujud Allah SWT. sebagaimana aliran materialisme.

Ilmu kalam adalah suatu ilmu Islam asli yang menurut pendapat paling kuat, bahwa ia lahir dari diskusi-diskusi sekitar Al-Qur’an yaitu Kalam Allah, apakah ia Qadim atau makhluk. Perbedaan pendapat terjadi antra Kaum Mu’tazilah, pengikut Ahmad bin Hambal dan pengikut-pengikut Asy’ari. Adapun filsafat adalah istilah Yunani yang masuk ke dalam bahasa Arab sebagai penegasan Al-Farabi bahwa nama filsafat itu berasal dari Yunani dan masuk ke dalam bahasa Arab.

Pada Abad 2 H, telah lahir filsafat Islam, dengan bukti adanya filosuf-filosuf Islam seperti Al-Kindi.

Di samping itu, di kalangan ahli ilmu kalam sudah ada ahli yang terkenal seperti Al-Annazam, Al-Jubbai, Abul-Huzail Al-‘Allaf. Para ahli ilmu kalam ini tidak ada yang menamakan diri sebagai filosuf. Dan ada pertentangan tajam di antara kedua belah pihak. Sebagaimana Al-Ghazali sebagai pengikut aliran Asy’ariyah yang menulis kitab Tahafutul Falasifah. Namun dari kalangan ahli filsafat, Ibnu Rusyd menjawab terhadap tuduhan itu dengan menulis: Tahafutul Al-Tahafuit (Inkosistensinya kitab Tahafut).

Prof. Tara Chana

Dia mengemukakan bahwa istilah filsafat Islam adalah untuk arti dari ilmu kalam. Ia lebih lanjut menyatakan bahwa filsafat itu telah lahir dari kebutuhan Islam dan perdebatan keagamaan dan pada dasarnya mementingkan pengukuhan landasan aqidah atau mencarikan dasar filosofisnya, ataupun untuk membangun pemikiran-pemikiran theologi keagamaan.

Prof. Fuad Al-Ahwani

Ia mengakui, bahwa sekolah pada abad ke-6 H, filsafat telah bercampur dengan ilmu kalam, sampai yang terakhir ini telah menelan filsafat sedemikian rupa dan memasukkannya di dalam kitab-kitabnya. Sehingga kitab-kitab tauhid yang membahas ilmu kalam didahului dengan pendahuluan mengenai logika Aristoteles dengan mengikuti cara para filosuf.

Penciptaan Manusia

Penciptaan manusia adalah hal yang penting untuk kita ketahui, apakah manfaat daari pengetahuan kita mengenai penciptaan diri kita sendiri? Atau apakah ini hanya sebuah ilmu pengetahuan tentang penciptaan dan hanya sekedar ilmu tanpa adanya manfaat untuk diri kita sendiri. Karena pada dasarnya orang yang Allah swt sebut sebagai masyarakat yang jahiliyah pun mengetahui siapa yang menciptakan langit dan bumi

Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?" Tentu mereka akan menjawab: "Allah", maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar). (QS. 29:61)

Karena mengetahui tanpa mengetahui hikmah dari penciptaan adalah kosong untuk jiwa manusia, sedangkan yang Allah swt jelaskan di dalam Al-Quran adalah ilmu yang tidak hanya sebagai informasi agar kita mengetahui tetapi mempunyai banyak hikmah yang terkandung dan banyak manfaat untuk kita ambil pelajaran untuk proses penciptaan tersebut.

Allah menciptakan manusia dengan proses berarti ada proses dalam penciptaan manusia tersebut, yaitu Allah swt menciptakan manusia dari tanah

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah (QS. 23:12)

Tanah adalah unsur yang ada dibawah sedangkan manusia yang Allah ciptakan adalah Allah swt tinggikan derajat manusia lebih dari makhluknya yang lain walaupun manusia hanya tercipta dari sebongkal tanah liat. Tapi itu hanya manusia dari segi materialnya. Di zaman jahiliyah memandang tanah sebagai sesuatu yang hina dan memandang bahwa bagian dahi adalah bagian yang paling terhormat dari manusia maka celaan yang paling hina di zaman itu adalah “semoga dahimu dilumuri oleh tanah” maka dari itulah Allah swt memerintahkan kepada kita untuk sujud diatas tanah agar penghambaan dan ibadah kita kepadanya secara totalitas yaitu tidak menganggap diri kita lagi tapi hanya Allah swt tujuan kita maka dari itu kita harus merendahkan diri kita serendah-rendahnya. Sujud diatas tanah juga mengingatkan kita bahwa betapa rendahnya kita yang hanya diciptakan dari tanah dan agar mengiangatkan kita tentang kematian bahwa kita diciptakan dari tanah dan akan kembali lagi ke tanah maka dari itu dengan sujud diatas tanah kita menutup semua pandangan kita ke dunia luar yang kita lihat hanya tanah tempat dahi kita bersujud maksudnya yang kita lihat hanya kelemahan dan kerendahan diri kita dihadapan Allah swt.

Air juga menjadi unsur dari tanah tersebut seperti firman Allah swt di ayat berikut,

Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa (QS.25:54)

Jika kita melihat fungsi air didalam kehidupan kita sekarang ini maka kita akan mendapatkan bahwa air adalah sebagai sesuatu yang menghidupkan. Bumi dapat hidup makhluk hidup karenaa adanya air yang begitu banyak di bumi dan di planet lain tidak adanya makhluk hidup karena tidak terdapat air didalamnya. Air dalam menciptakan manusia jika dapat kita ambil pelajaran adalah kehidupan dan rahmat Allah swt yang telah Allah swt berikan kepada manusia sehingga manusia dapat mempunyai keturunan dan kekerabatan.

Setelah tanah dan air (ada juga yang berpendapat setelah tanah dan air Allah swt memasukkan unsur debu) maka mementuklah tanah liat sebagai bahan dasar dari penciptaan manusia.

Maka tanyakanlah kepada mereka (musyrik Mekah): "Apakah mereka yang lebih kukuh kejadiannya ataukah apa yang telah Kami ciptakan itu?" Sesungguhnya Kami telah menciptakan mereka dari tanah liat. (QS.37:11)

Tanah liat merupakan sesuatu yang dapat dibentuk maka dari itulah manusia dapat mempunyai bentuk yang sempurna dibanding makhluk lainnya karena tubuh manusia adalah tubuh yang sempurna dan bentuk dari manusia juga adalah sempurna sesuai dengan fungsinya masing-masing.

Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah. (QS.32:7)

Lalu membentuk saripati lalu menjadi pendengaran,penglihatan dan hati Allah menjelaskan,

Kemudian Dia menjadikan keturunannya dari saripati air yang hina. Kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Nya dan Dia menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati; (tetapi) kamu sedikit sekali bersyukur. (QS.32:8-9)

Manusia Allah swt ciptakan dari sesuatu yang hina dan Allah angkat manusia dengan meniupkan roh nya yang membuat manusia memiliki unsur ilahiah yang membuat derajat manusia dan kedudukan manusia lebih tinggi dibanding makhluk Allah swt lainnya. Menurut banyak ulama yang dimaksud dengan pendengaran,penglihatan dan hati adalah “Akal”. Manusia sedikit sekali bersyukur karena sesungguhnya manusia telah diberikan akal tetapi tidak bersyukurnya manusia adalah karena manusia jarang menggunakan akalnya tetapi justru hawa nafsunya yang mengendalikan akalnya. “semua manusia memiliki akal tetapi sedikit sekali manusia yang berakal”

Allah telah menciptakan manusia dari tanah (bumi) maka Allah swt menjadikan manusia sebagai pemakmurnya, seperti yang Allah swt firmankan pada ayat berikut,

Dan kepada Tsamud (Kami utus) saudara mereka Shaleh. Shaleh berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya[726], karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya, Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya)." (QS.11:61)

Jika bumi sekarang telah rusak dan tidak seimbang lagi sebagaimana yang Allah swt ciptakan berarti kerusakannya adalah karena disebabkan oleh perbuatan tangan manusia karena rumah akan rusak jika penghuninya yang tinggal dirumah itu mempunyai sifat merusak begitu juga yang terjadi di bumi Allah swt telah memberi tanggung jawab untuk kita tinggal dan menjadikan manusia sebagai pemakmur bumi

Penciptaan manusia mempunyai banyak hikmah untuk dapat kita ambil pelajaran, karena kita mengetahui manusia adalah mikrokosmos di dalam diri manusia ada dunia yang jika kita ingin menelitinya tidak akan ada habisnya kita temukan sesuatu yang baru. Tubuh manusia yang kecil ini terdiri dari berbagai aspek dan memiliki 2 unsur yaitu material dan spiritual maka dari itu tidak ada seorangpun sampai detik ini menyatakan “aku telah menguasai semua hal yang terdapat pada diri manusia” karena ilmu kedokteran yang mempelajari segi material dari manusia setiap zaman akan mengalami peningkatan dan belom dapat menguasai pengetahuan mengenai manusia dari segi materialnya. Segi spiritual di dalam jiwa manusia jauh lebih besar dari materialnya karena pada hakikatnya manusia adalah jiwa spiritualnya karena tubuh manusia hanya bersifat sementara. Penjelasan Murtadha Muthahhari mengenai nafs

Dan Nafs serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada Nafs itu kefasikan dan ketaqwaannya (QS 91:7-8)

Ruh Ilahi yang merupakan unsur Ketuhanan menarik Nafs kepada ketaqwaan, sebaliknya Jasad yang mewakili unsur materi menariknya kepada kefasikan. Jadi seluruh gerak dan tindak tanduk manusia didorong oleh dua macam kekuatan yang berusaha mempengaruhi Nafs tadi. Nafs yang condong kepada Ruh Ilahi mengarahkan aktivitasnya kepada taqwa, inilah yang disebut Nafs Insani. Adapun Nafs yang ditarik oleh unsur jasadinya kepada kefasikan disebut Nafs Basyari. Nafs Basyari mendorong manusia berbuat dan bertindak berdasarkan kecenderungan jasadinya (fisiknya), seperti makan minum, berhubungan seks dan segala aktivitas yang juga dilakukan oleh hewan. Karena itu Murtadha Muthahhari juga menyebutnya dengan Nafs hewani (diri hewani). Tatkala Iblis membangkang untuk bersujud kepada Adam, ia berkata: “Aku sekali-kali tidak akan sujud kepada manusia (basyar) yang Engkau telah menciptakannya dari tanah liat kering dari lumpur hitam yang diberi bentuk!” (QS 15 : 33). Iblis menggunakan kata basyar mengacu kepada penciptaan jasad manusia. Ia tertipu dan terhijabi oleh kecongkakannya sehingga ia melupakan bahwa manusia telah disempurnakan Allah dengan Ruh-Nya: “Dan telah Kutiupkan ke dalam (jasad)-nya Ruh-Ku”(QS 15:29)

Ada secercah cahaya Ilahi dalam diri manusia. Seluruh manusia termasuk Nabi saww juga sama memiliki kedua macam Nafs ini. Allah SwT memerintahkan kepada Nabi saww untuk mengatakan kepada manusia bahwa dari sisi basyari-nya beliau memang sama seperti manusia lainnya. “Katakanlah: “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia (basyar) seperti kamu” (QS 18:110) Dalam banyak kesempatan Nabi saww berkata kepada khalayak manusia : “Aku ini juga manusia seperti kalian, makan, minum, berkumpul dengan isteri dan berjalan di pasar-pasar”. Namun kita tidak bisa menilai Rasulullah saww hanya dari sisi basyari-nya saja, seperti yang dilakukan oleh kaum Wahabi-Salafi.

Jangan kau seperti Iblis, Hanya melihat air dan lumpur ketika memandang Adam. Lihatlah di balik lumpur, beratus-ratus ribu taman yang indah! (Mawlawi Rumi, Diwan i Syams 18226)

Menilai Nabi saww atau orang-orang suci hanya dari sisi basyariyahnya saja merupakan suatu kesalahan yang besar dan berbahaya. Anda bisa lihat bagaimana Iblis menilai Adam as, bukanlah dia hanya melihat Adam dari sisi tanah-nya dan melupakan sisi Ruh Allah-nya.

Karena bangga diri dan buta hati Seperti Iblis, manusia-manusia ini tak lagi memuliakan orang suci Katanya, “Bagi Tuhan saja, sujud kupersembahkan.” Pada mereka Adam memberikan jawaban: “Sujud kepadaku ini untuk-Nya Kalian melihatnya berupa dua sujud Karena ketersesatan dan keingkaran!” (Mawlawi Rumi, Diwan i Syamsi 9605-9606)

Sesungguhnya kecenderungan Nafs Basyari ini tidak seluruhnya buruk. Maksudnya adalah bahwa selama kecenderungan-kecenderungan ini diletakkan pada proporsi yang semestinya, Allah justru memberi pahala untuknya, tetapi jika kecenderungan ini keluar dari batas-batas yang proporsional maka hal inilah yang dicela agama.

Diriwayatkan oleh Abu Dzar ra bahwa para sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah saww tentang hubungan sebadan antara suami isteri. “Bukankah kita merasakan nikmatnya, ya Rasulullah. Mengapa kita masih mendapat pahala juga?” Beliau menjawab: “Bukankah bila kamu menyalurkannya di jalan yang haram kamu berdosa?” sahabat menjawab, “Ya” Rasul berkata lagi, “Begitu juga kamu akan diberi pahala jika menyalurkannya pada jalan yang halal!”

setiap manusia dalam dirinya telah dikaruniai oleh Tuhan sebuah jiwa (hati). Dengan jiwa tersebut, setiap orang bebas memilih sikap; bereaksi positif atau negative, benar atau salah, berhenti atau melanjutkan, marah atau sabar reaktif atau proaktif, baik atau buruk. Suara hati inilah yang akan membimbing dan menuntun manusia dalam menentukan sebuah pilihannya. Istilah hati dalam bahasa Arab sering disebut Qalb, menurut Jalaluddin Rahmat Qalb mempunyai dua makna: qalbdalam bentuk fisik dan qalb dalam bentuk ruh. Dalam arti fisik, qalb dapat diterjemahkan sebagai “jantung”. Dalam hubungan inilah Nabi SAW. Bersabda, “Di dalam tubuh itu ada Mudhghah, asda suatu daging; yang apabila ia baik, maka baiklah seluruh tubuh dan apabila ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh itu”. Dalam hal ini Mudghah sama dengan qalb.

Dalam satu riwayat Nabi Muhammad SAW, menjelaskan tentang peranan hati dalam ruhani manusia. Rasulullah Saw bersabda:

“Hati itu bagaikan raja, dan hati itu memiliki bala tentara, apabila raja itu baik, maka baiklah seluruh bala tentaranya, dan kalau hati itu rusak maka rusaklah seluruh bala tentaranya”.

Hati ibarat seperti panglima perang yang akan menentukan kalah dan menangnya peperangan, hati juga dapat diibaratkan sebagai jaksa yang memutuskan segala perkara. Apabila hatinya baik akan melahirkan kedamaian dan ketentraman dalam seluruh aspek kehidupan. Tapi, apabila hatinya rusak maka akan melahirkan kerusakan dunia yang merajalela.

Dengan demikian, sangat jelaslah peranan suara hati manusia akan menentukan segalanya. Ketika suara hati mengatakan ilmu pengetahuan harus digunakan bagi kemaslahatan manusia, maka kesejahteraan dan kemakmuran yang akan didapat. Tewtapi, ketika suara hati mengatakan ilmu pengetahuan akan digunakan untuk menindas dan menzolimi manusia, maka kehancuran yang didapat.

Murtadho Muthahhari] menegaskan bahwa, ilmu pengetahuan member penjelasankepada manusia ihwal alam fisik, ilmu pengetahuan juga member keahlian kepada manusia dalam menguasai alam fisik dan berkat ilmulah manusia menundukan alam fisik. Namun Iman (nilai-nilai kebenaran yang tersimpan dalam hati) dapat membuka sebuah pintu yang ilmu sekalipun tidak dapat membukanya

Five-Star Ratings Control

 

Levi Yamani Copyright © 2011 -- Template created by O Pregador -- Powered by Blogger